Menggunakan penyamaran dalam misi adalah seni menyembunyikan niat sambil menyusun langkah-langkah yang cermat untuk mencapai kemenangan yang tidak tampak.
~~~
Elena baru saja terbangun dari tidur panjangnya, dan aroma menggugah selera dari dapur menyentuh indera penciumannya, membuat perutnya berdesir penuh keinginan. "Bu Dela? Sedang apa di dapur?"
Dia mendapati Dela sibuk menari-nari di dapur, tangan-tangannya cekatan mengolah bahan masakan. "Ngapain ibu masak?" tanya Elena lagi dengan penasaran.
"Kamu sudah bangun? Aku hanya ingin memasakkan sesuatu untukmu sebagai ungkapan terima kasih karena aku tinggal di rumahmu. Ini satu-satunya cara aku membalas kebaikanmu." Dela tersenyum lembut, menyerahkan sepiring nasi goreng yang masih mengeluarkan asap. "Ini untukmu."
Elena menatap sepiring nasi goreng yang tampak seperti hidangan istimewa dan menerimanya dengan senyuman. "Lalu, untuk ibu?"
"Jangan khawatir, masih banyak yang tersisa di atas wajan. Kamu fokus saja pada makananmu." Dela menyentuh lembut kepala Elena, matanya memancarkan kasih sayang. "Makanlah dengan lahap, biar kamu tidak merasakan penderitaan yang sama seperti aku."
Dela ingin Elena merasa nyaman dan tidak merasakan penderitaan seperti yang pernah dialaminya.
Elena membalas senyuman itu dengan tatapan yang datar, menyadari bahwa meskipun Dela tampaknya tidak gila, kata-katanya masih agak janggal. "Ibu tidak perlu repot-repot memasak. Aku bisa mengurusnya sendiri."
"Ini akan menjadi kebiasaanku. Aku akan terus memasak untukmu," jawab Dela dengan tekad yang seakan mengakar.
Membuat Elena mengerutkan keningnya. "Ibu akan tinggal di sini lagi memangnya?" Dia pikir hanya satu hari saja.
"Tentu, aku tidak mau dibawa sama mereka dan disiksa lagi karena di sana menakutkan." Dela mengungkapkan ketakutannya dengan mata yang berbinar penuh kecemasan.
Elena berpikir bahwa membawa Dela ke psikolog mungkin langkah terbaik untuk membantunya. Namun, untuk saat ini, dia hanya bisa mengiyakan. "Iya."
Setelah selesai makan Elena langsung mandi untuk bersiap ke sekolahnya. Untung saja motornya telah dikirim tadi malam dan dia bisa mengendarai motor barunya hari ini. "Bu, aku harus pergi sekolah. Apa ibu sendirian di sini tidak apa?"
"Sendirian?" Dela menggenggam tangan Elena dengan penuh ketakutan, matanya seperti anak kecil yang terpisah dari ibunya. "Jangan pergi! Mereka pasti akan membawaku lagi!"
"Tenang saja, bu. Di sini aman. Aku akan mengunci rumah dari luar, dan ketika aku pulang, ibu bisa membuka kunci untukku." Elena mencoba meyakinkan Dela dengan lembut, seolah-olah berbicara pada seorang anak kecil.
"Enggak, aku takut ...." Dela terdengar seperti seorang yang terjaga dari mimpi buruk.
Elena menghela napas panjang. "Oke, kalo gitu biar aku kunci dari luar aja deh dan gak akan ada orang yang bisa masuk rumah ini. Nanti aku pasti pulang kok, bu."
"Tenang saja, ibu tidak perlu khawatir." Elena berbicara dengan lembut, berharap Dela bisa merasa lebih aman.
Seulas senyum terukir dari wajahnya.
•••••
Hari terus berlanjut dan thread yang dibuat Elena ternyata semakin ramai. Banyak siswa SMA sembilan enam yang akhirnya memilih untuk terus terang mengatai Chloe di depannya.
"Orang kayak dia emang gak punya hati!"
"Perundung!"
"Lebih baik dikeluarin aja ngerusak citra sekolah!"
"Mana ada sih orang jahat kayak dia!"
"Orang tuanya pasti malu."
Chloe yang baru saja turun dari mobilnya merasakan panasnya kemarahan yang membara dengan tangan mengepal. Bisa-bisanya mereka berani mengatainya dengan jelas. Semua ini pasti salah satu alasan karena dirinya tidak lagi menjadi kekasih Delano. Memang peran Delano sangat besar di sekolah ini.
"Siapa yang berani ngomongin gue! Sini maju!" Chloe sama sekali tidak takut dan menantang mereka. "Cepat maju! Lo? Lo? Atau lo?" Dia menuding orang-orang yang mengatainya.
Namun, orang-orang itu mundur dengan ketakutan saat Chloe melangkah mendekat. "Kenapa diam semua? Takut? Dasar kalian semua pengecut!"
Chloe kemudian melihat Elena yang baru saja berangkat. "Cupu!"
Elena berpura-pura tidak mendengar dan melangkah dengan tenang.
Tawa sinis dari Chloe terdengar. "Kurangajar, berani banget dia pura-pura tidak mendengarnya."
Chloe melangkahkan kakinya dengan panjang dan dia menarik rambut Elena dengan kasar. "Cupu! Sialan budek lo?"
"Arghtt," ringis Elena dan menghentikan langkah kakinya. "Maaf, aku gak dengar."
Chloe melepaskan tarikannya dan langsung meraih kertas yang tergeletak di kaki Elena, kemudian menyumpal kertas tersebut ke mulutnya. "Ini akibatnya karena lo pura-pura tidak dengar, cupu!" Chloe melemparkan tas ranselnya ke wajah Elena. "Bawa tas gue!"
Semua yang melihatnya hanya menjadi penonton dari apa yang dilakukan oleh Chloe.
"Jangan!" Teriakan seorang laki-laki memecah keramaian, menarik perhatian semua orang—Delano.
Delano merebut ransel dari wajah Elena dengan kasar, seolah-olah ingin menghancurkan kesombongan Chloe. "Gue sudah bilang jangan ganggu dia."
"Ish," Chloe mendengus penuh frustrasi.
Rumor tentang putusnya hubungan mereka ternyata benar. Banyak yang merasa senang melihat Chloe terpuruk.
"Apa sih yang lo lihat dari perempuan cupu ini? Lo sengaja lakuin ini supaya gue cemburu, kan, El?" Chloe menatap Delano dengan kemarahan yang meledak-ledak, padahal di luar dia jalan dengan laki-laki lain, bahkan dengan orang-orang yang jauh lebih tua.
"Cemburu? Bahkan gue cinta sama lo lagi juga nggak." Delano mengatakannya di depan semua orang. "Lo punya kaki sama tangan jadi kalo sekali lagi lo berani suruh-suruh dia. Lo bakal berurusan sama gue," ucapnya serius.
Chloe memasang wajah sinis. Bisa-bisanya dia kalah dengan perempuan cupu.
"Ayo pergi!" Delano menarik tangan Elena dari hadapan mereka semua, membawanya menjauh dari kerumunan.
Elena bingung melihat Delano, yang tampaknya menolongnya tapi juga bisa jadi ancaman.
Brak!
Delano mendorong tubuh Elena ke dalam gudang dengan kasar, membuat Elena terjatuh seperti boneka. "Lo berani lawan gue ternyata! Kemarin gue sudah bilang lo harus ke Firlop!" Delano ingin bersenang-senang dengan menakut-nakuti Elena.
Elena mengepalkan tangannya. Kenapa dia sangat lemah? Persetan dengan penyamarannya. Elena sangat tidak tahan dengan semua ini padahal baru dua hari ini.
"Lo pulang sekolah harus ikut gue! Kalau lo berani kabur lagi, gue akan siksa lo sampai lo lulus dari sekolah ini!" Delano mengancam dengan wajah dingin, seolah membekukan suasana di sekelilingnya.
Elena terdiam, merasa terjepit dalam kesulitan tanpa jalan keluar. Air mata mulai mengalir, meresap ke dalam wajahnya yang penuh kesedihan. "Tolong ... jangan seperti ini. Aku tidak tahu apa maksudmu. Kenapa kamu menyiksaku? Aku tidak pernah cari masalah sama kamu."
Air mata Elena membasahi wajahnya, melengkapi aktingnya yang memukau.
Delano menghempaskan wajahnya, merasa bingung dan tertekan. "Sial! Perempuan ini benar-benar pandai berakting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delano & Elena
Teen FictionElena Elizabet, gadis yang harus mengungkap banyak rahasia tentang kematian kembarannya dan juga orang tuanya sendiri. Menyamar sebagai gadis culun untuk mencari tau kebenarannya malah membuat dia terjebak dengan cinta seorang yang selamanya tidak b...