Bagaimana mungkin? Apakah dia punya kembaran?
Langkah kaki Delano menggema penuh ketidakpedulian. Dia kembali menginjakkan kakinya di rumah yang sama, meskipun setiap kali ke sini, rasa tidak nyaman terus menggerogotinya.
"Ada apa? Kenapa memanggil saya?" Delano bertanya dengan nada malas, seolah menanggapi sebuah rutinitas yang membosankan.
"Saya mau kamu segera membawa berlian merah delima itu! Kalau tidak, ibumu akan saya bunuh!" Pria tua itu mengancam dengan nada dingin yang memancarkan kebencian. Ancaman itu membuat Delano menatap tajam ke arahnya.
Tangannya mengepal penuh amarah. "Apa?! Bunuh! Jangan sekali pun berani kau menyentuhnya, atau sayasendiri yang akan menghabisimu!" Delano berdiri dengan semangat membara. "Saya janji akan mendapatkan berlian itu secepatnya, tapi ingatlah, jika kau berani menyentuhnya sehelai rambut pun, kau akan menyesal!"
Tawa pria tua itu terdengar menyeramkan, namun tidak menggentarkan Delano. "Itu semua tergantung pada usahamu! Jika kali ini kau berhasil, kau dan ibumu boleh pergi. Bagaimana?"
Delano tertawa sinis. "Apa kau yakin akan menepati janjimu kali ini? Jangan-jangan kau akan mengingkarinya seperti sebelumnya?"
"Ternyata kamu sudah tumbuh besar juga. Kali ini aku akan menepati janji, tetapi jika dalam waktu satu minggu kamu tidak bisa mendapatkannya, jangan harap ibumu akan melihat dunia ini lagi!" Pria tua itu tertawa lebar, tanpa menyisakan rasa kemanusiaan.
Delano tidak punya pilihan lain. Melawan berarti mengancam nyawa ibunya. Mengadu kepada polisi pun tidak akan menyelesaikan masalah, malah bisa berbalik menjadi ancaman lebih besar.
Dia segera pergi dari rumah yang suram itu, menuju mobil balapnya. Keberadaan berlian itu masih menjadi misteri, terutama karena pemiliknya sudah tiada.
"Sial! Satu minggu? Bagaimana mungkin?" Delano mengacak rambutnya penuh frustrasi. "Arghhh!"
Dengan tekad membara, Delano memutuskan untuk menyelidiki rumah itu lagi. Kini, dia mengenakan pakaian serba hitam untuk memasuki kembali tempat yang sudah dikenalinya.
Berkat keahlian dan pengalamannya, Delano berhasil masuk ke rumah. Fokus pertamanya adalah ruang kantor pemilik rumah. "Bukannya rumah ini kosong? Kenapa rasanya seperti ada orang yang tinggal di sini?"
Delano sudah sangat memahami mana rumah yang kosong dan mana yang terisi, tetapi dia tidak peduli selama dia tidak ketahuan.
Delano menggeledah seisi ruangan, namun hasilnya nihil. "Apakah dia menyembunyikannya di tempat yang jauh dan bukan di rumah ini?"
Tidak mau menyerah dia kemudian menelusur isi rumah dengan hati-hati. "Sepertinya memang sepi." Dia kemudian memasuki setiap ruangan dan kali ini Delano dapat menebaknya kalo kamar ini milik seorang perempuan. "Kayaknya waktu gue masuk kamarnya bukan kayak gini deh. Kenapa jadi warnanya dark? Apa karena dia udah mati?"
Delano yang tengah berpikir tidak sengaja menjatuhkan bingkai foto dan membuatnya terkejut.
Matanya melebar ketika mengambil bingkai foto yang terjatuh. "Dia ... punya kembaran?" Fakta mengejutkan ini membuatnya terhenyak.
Sejak kapan memangnya perempuan itu mempunyai kembaran? "Bukannya dia anak tunggal?"
Foto itu menunjukkan Alana saat kecil, berusia lima tahun, bersama Elena. Namun, Delano tidak mengenali wajah kembaran Alana. Bahkan dia tidak pernah berpikir tentang perempuan baru di kelasnya.
Delano melanjutkan pencarian dan membuka lemari, tetapi apa yang ditemukannya membuatnya terperangah.
Dari luar memang terlihat seperti pintu lemari. Namun, begitu dibuka ternyata mampu membuat Delano syok.
Bahkan napasnya hampir tercekik. "Apa ini? Kenapa ada foto-foto mereka sama gue?"
Foto-foto itu tertempel di dinding dan ada benang merah yang saling menyambung dengan foto lain. "Tersangka utama?" Delano mengeluarkan suaranya membaca tulisan yang tertera. "Apa ini semua berhubungan sama kematian dia? Kenapa foto Chloe, Emil, sama gue yang disilang? Sementara Sopia, Duke, dan Maxwel tidak?"
Delano segera memotret pemandangan tersebut dan menyimpannya di ponselnya. Alih-alih menemukan berlian, dia malah menemukan petunjuk yang sangat mengejutkan.
Mendengar ada suara kendaraan datang segera dia pergi keluar. Tidak boleh jika dirinya ketahuan. "Gue harus cari tau siapa yang lakuin ini atau dia kembarannya Alana?"
Delano untung saja sudah berada di dalam mobilnya sekarang. Dia bernapas lega karena tidak ketahuan. "Gue harus cari tau nanti." Kemudian dia melajukan mobilnya ke firlop untuk beristirahat.
Di sana Delano mempunyai ruangan tersendiri untuk dia beristirahat dan tidak lupa menelpon kedua temannya untuk datang.
Saat ini Delano sudah berada di dalam ruangan istirahatnya.
"Ada apa lo tengah malam suruh kita datang?" Duke menatapnya penuh tanda tanya dan dia duduk langsung di sofa.
"Sepenting apa sih? Gue sampai lewat cendela buat kabur ke sini." Maxwel sadar kalo orang tuanya sangat ketat.
Delano meneguk satu gelas whisky sebelum berbicara. "Lo berdua bakal gak nyangka apa yang gue temukan sekarang."
"Langsung saja, kami mau tahu," Duke tidak sabar, penasaran.
"Mau ngomong apa lo?" Maxwel ikut bertanya.
"Alana punya kembaran," kata Delano, yang membuat kedua temannya terbahak lebar.
Mereka tampak tidak percaya, seolah apa yang Delano katakan hanyalah lelucon belaka.
"Lo kalo udah ngantuk gak usah jadi penulis yang banyak mengarang. Alana anak tunggal." Maxwel menentang ucapan Delano.
"Kirain penting malah ngelawak lo." Duke mengira kalo Delano hanya bercanda.
Prang!
Delano tidak suka jika dirinya serius malah dianggap bercanda seperti ini. Dia membanting gelas ke lantai untuk memperingatkan mereka. "Masih anggap gue bercanda? Gue serius bilang ke kalian! Lo berdua harus hati-hati aja karena kembaran Alana mungkin akan mencari tahu tentang kematian dia."
Kemudian dia melempar ponsel ke atas meja. "Lihat foto itu."
Duke dan Maxwel saling bertukar tatapan, lalu Duke mengambil ponsel Delano. Mereka terkejut bukan main saat melihatnya. "Lo serius? Dari mana ini?"
Duke mempertanyakannya karena ini membuat hidupnya tidak tenang.
"Lo fotoin ini dimana? Terus dimana kembaran Alana sekarang?" Maxwel bertubi-tubi melemparkan pertanyaan kepada Delano.
Delano juga sedang merasa pusing. "Di rumah Alana. Kayaknya dia tinggal di sana dan sepertinya dia juga tau kalo kita pelaku yang udah buat Alana meninggal"
"Ini gak bisa dipercaya ... kalau gitu kita harus kasih tau Chloe juga. Dia yang rencanain semua ini." Maxwel tidak mau dirinya terseret dalam kematian Alana. Dia sangat ketakutan hingga terus menggigit bibir bawahnya.
Duke juga mengacak rambutnya merasa frustasi. "Arghttt! Kenapa bisa kayak gini? Hidup tenang aja kenapa susah banget astaga!"
Dia kemudian menuangkan botol whisky ke gelas dan meneguknya langsung. "Gak bisa terjadi El. Kita harus ngelakuin sesuatu."
Delano tidak takut dengan kematian Alana karena dia juga tidak ikut dalam rencana itu. Dia hanya berlibur saja ke villa dan semua itu adalah ulah Chloe.
Tapi, dia tentu merasa takut dengan hal lainnya. "Kita harus selidiki siapa kembaran Alana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Delano & Elena
Teen FictionElena Elizabet, gadis yang harus mengungkap banyak rahasia tentang kematian kembarannya dan juga orang tuanya sendiri. Menyamar sebagai gadis culun untuk mencari tau kebenarannya malah membuat dia terjebak dengan cinta seorang yang selamanya tidak b...