16. Misi ke Rumahh Alana

35 12 0
                                    

Dalam pencarian sebuah misi, setiap rintangan adalah peluang

~~~

Di belakang sekolah, suasana terasa tegang dengan hadirnya empat siswi yang berdiri mengelilingi Elena. Mereka beraksi seperti para penguasa kegelapan, memanfaatkan kedekatan mereka untuk menjatuhkan intimidasi pada satu-satunya siswi yang tidak lain adalah Elena.

Meskipun identitasnya sebagai 'culun' telah terkuak, Elena memilih untuk tidak mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya. Biarlah semua tetap seperti ini untuk saat ini.

"Kalian bawa aku ke sini untuk apa?" tanya Elena dengan nada pura-pura ketakutan yang dipaksakan.

Chloe tertawa merasa senang melihat Elena ketakutan. "Itu akibat lo berani sama gue cupu!" Chloe mendorong Elena dengan kasar, seolah-olah Elena adalah benda yang tidak berarti.

"Mana air yang udah lo ambil cepat sini!" Chloe berteriak pada Emil dengan nada perintah yang penuh tekanan.

Emil, yang terlihat kewalahan, membawa sebuah ember penuh air dari kamar mandi dengan susah payah. "Sabar, Chloe. Airnya berat banget."

"Ya ampun, hanya membawa satu ember saja sudah lemah!" Chloe mencibir sambil memandang Sopia. "Lo bantu bawa sini, Sopia! Jangan cuma main ponsel saja!"

"Sorry banget tangan gue gak bisa bawa gituan. Lagian gue kan yang ngerekam. Lo aja kali!" Balas dia dengan berani.

Chloe, yang sudah terbiasa dengan perlawanan Sopia, mengerutkan dahi. "Emil, cepat sini!" dia menyuruh Emil untuk mempercepat langkahnya.

"Ini ... lo kira air ini enteng?" Emil mengeluh ketika sampai.

Chloe sama sekali tidak memperdulikan keluhan Emil dan menatap Elena dengan penuh kebencian sambil mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan. "Culun, tahu nggak ini apa? Ini cairan yang bisa bikin lo gatal-gatal sehabis kena tubuh."

Sopia, sambil merekam kejadian dengan penuh antusiasme, berseru, "Hai, guys! Lihat, ini adalah perempuan culun yang berani menantang Chloe. Karena dia tidak mau mengaku, dia harus menerima hukumannya. Oh, dan karena dia tidak mau jujur, inilah akibatnya."

"Cepat ngaku sama gue! Lo culun atau gak sebenarnya! Dan kenapa bisa El terus deketin lo, hah!" Chloe yang menjambak rambut Elena kasar.

"Argh, lepasin aku! Aku emang seperti ini, dan menurut kamu, apa salahnya dengan penampilanku? Dari dulu begini. Apakah itu berarti culun?" Elena meronta dengan penuh kepedihan.

"Oke, no problem kalo gak mau ngaku." Dia melepaskan jambakannya dan mengambil kaca mata Elena yang kemudian melemparkannya sembarangan arah.

Chloe ingin membuktikan sendiri apakah Elena akan biasa saja atau dia tidak bisa ketika kacamatanya dilepas.

Tawa dari kedua temannya menggema sedangkan Elena sudah mencarinya dengan tangannya meraba ke depan. "Kacamataku ... Chloe dimana kacamataku. Kamu apakan?"

"Chloe, dia beneran gak bisa lihat," ucap Sopia tertipu karena sikap Elena.

"Emang gue peduli?" Chloe dengan tawanya dan dia langsung mencampuri botol air ke ember untuk disiramkan ke tubuh Elena.

Byurrrr!

"Arghtt!!!! Chloe! Kenapa kamu jahat sekali sama aku! Salah aku apa!" Elena menangis dan dia berbicara dengan menatap ke arah lain.

Dengan pura-pura tidak bisa melihat dengan jelas, Elena menjerit, "Chloe! Ambilkan kacamataku!"

"Kenapa aku sangat gatal? Tolong!" Elena menggaruk-garuk tubuhnya yang mulai gatal karena cairan itu.

Bukannya merasa bersalah ketiga perempuan itu malah tertawa lebar merasa puas.

"Itu akibatnya lo berani lawan Chloe, culun!" Emil berkata dengan nada tanpa empati.

"Ayo, kita cabut saja!" Chloe merasa puas dengan aksi mereka dan pergi meninggalkan Elena sendirian.

Melihat mereka telah pergi, Elena juga ikut pergi dengan emosi. Dia tidak bisa terus berlama-lama.

"Sialan! Chloe, lo orang pertama yang bakal gue kasih siksaan!" Dia pergi menunggangi motornya kemudian.

•••••

Saat malam tiba, bintang-bintang bergemerisik menghiasi langit, sementara bulan menerangi jagat raya yang luas. Tiga lelaki yang telah merencanakan segalanya sejak pulang sekolah kini berdiri di bawah pohon besar dengan pagar tembok yang menjulang tinggi.

"Ternyata dia sekaya ini. Padahal bisa dimanfaatkan kalo jadiin pacar," ucap Duke yang baru pertama kali melihat rumah Alana.

Maxwel, dengan tatapan penuh keraguan, bertanya, "Lo yakin ini rumahnya, El?"

"Lo pikir gue bercanda?" Delano paling tidak suka ketika ucapannya dianggap kebohongan.

"Bukan gitu sih." Maxwel menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kita udah kayak mau maling aja." Ia melanjutkan dengan ragu, sambil memanjat pagar tembok.

"Gak usah berisik buruan naik!" Duke yang takut jika ketahuan.

Sementara itu, Delano malah sudah masuk dengan kelihaiannya.

Duke melongo melihat Delano yang memanjat pagar tembok seperti menaiki tangga. "Udah kaya monyet aja tuh anak."

Delano sendiri memastikan apakah ada orang yang melihatnya atau tidak. "Ayo buruan," ucap dia dengan nada rendah.

Mereka berdua kini berhasil memanjat dan turun dengan pantat yang saling bertabrakan dengan rumput.

"Kemana lagi kita El?" Maxwel bertanya dengan mata yang berkeliling, mengamati luasnya rumah. "Jangan tinggalkan gue atau gue bakal kesasar."

Pluk!

Duke menoyor kepala Maxwel sedikit kasar. "Pakai maps bego."

Maxwel membalasnya kesal. "Lo yang bego! Lo kira apa pakai maps. Ini rumah bego!"

"Lo berdua berisik banget. Cepat ikutin gue dan cari tau siapa kembaran Alana." Delano mulai berjalan untuk masuk ke dalam.

Tentunya dia melewati cendela dengan mencongkelnya. Dengan hati-hati dia masuk dan melihat ada yang aneh dengan rumah ini.

Delano yang berhenti tiba-tiba membuat Duke menabrak punggungnya.

Bruk!

Maxwelpun ikut menabrak punggung Duke.

Bruk!

"Ck, kalian bisa jalan pakai mata gak sih! Kalo ketahuan gimana?" Delano yang berbicaranya dengan nada serendah mungkin.

"Lagian ngapain lo berhenti mendadak. Kasih aba-aba harusnya," ucap Duke tidak mau disalahkan. "Lo lagi! Jalan gak pakai mata," ucap dia kepada Maxwel.

"Yaiyalah gak pakai mata. Orang gue jalan pakai kaki."

Gigi Delano saling bergemelatuk ketika mereka terus meributkan hal yang tidak penting. "Kalo terus gini mending kalian pergi aja."

Duke dan Maxwel saling diam ketika Delano sudah bersikap seperti itu.

Delano mendekati sofa yang kini sudah tertutup kain putih dengan rapat. "Kenapa bisa gini? Jelas-jelas kemarin gak ditutup kayak gini."

"Kemarin kapan El, lo lihatnya? Tapi, ini sudah berdebu banget kelihatan udah lama ditinggal." Duke membalas ucapan Delano.

 Delano merasa ada yang tidak beres. Bahkan lampu juga dimatikan padahal waktu dirinya tengah malam datang ke sini semua lampu menyala. Dia bergegas menuju ke kamar perempuan yang dia datangi kemarin. "Ikut gue," katanya sambil berlari menaiki tangga, diikuti Duke dan Maxwel yang tertinggal di belakang.

Delano & ElenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang