Di petang hari kesadaran Marissa akhirnya kembali, dia langsung mengajak Faye dan yang lainnya untuk pergi ke pantai bersamanya. Setelah mengetahui bahwa jasad Ice masih belum ditemukan, Dokter muda cantik itu memutuskan untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kekasihnya melalui perantaan laut.
Marissa memandang lekat ke arah laut yang membentang luas di hadapannya, menggenggam erat sepucuk surat dari Ice di kedua tangannya.
"Sampai kapanpun, aku tidak akan bisa menerima kenyataan bahwa kau sudah tidak memijak tanah yang sama dengan ku lagi, sayang," ucap gadis itu dengan lirih.
Dengan cepat, Marissa menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya dengan punggung tangan. Hidungnya yang memerah, matanya yang sembab dan bibirnya yang bergetar menunjukkan betapa besarnya kesedihan yang sedang dia dirasakan.
"Jadi sebagai gantinya, aku akan menganggap bahwa kau sedang pergi berlayar untuk jangka waktu yang sangat sangat panjang. Tanpa tau kapan kau akan kembali kepada ku,"
"Dengan begitu, cinta yang ada di dalam hati ku bisa tetap hidup..."
"... dan menjadi alasan ku untuk menyambut hari yang akan datang,"
"Hingga tiba waktu dimana aku lah yang akan pergi menemui mu, dan kita bisa berjalan berdampingan sekali lagi,"
Marissa menghela napas dalam-dalam. Tubuhnya bergetar menyambut udara yang memasuki rongga paru-parunya dengan perlahan, setiap tarikan napas memberi rasa sakit yang teramat sangat di ulu hatinya yang berdenyut.
"Beristirahatlah dengan tenang kekasih ku. Maafkan aku karena tidak bisa mendekap mu dalam tidurmu yang nyenyak,"
"Sampai jumpa, sayang... tunggulah kepulangan ku dengan sabar, ya?"
"Aku mencintai mu, Ice..."
Marissa berlutut, mengulurkan tangannya untuk menyentuh air laut yang dibawa oleh ujung ombak ke hadapannya. Gadis itu memejamkan mata, merasakan kehangatan air laut menyapa tangannya, seolah-olah Ice sedang membelai lembut tangan itu dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Faye menghampiri Marissa yang masih diam di tempat, menyelimuti Sang Dokter dengan jaketnya agar angin musim gugur yang dingin tidak mengganggu tubuh ramping itu. Dia lalu berjongkok di sebelah gadis itu dan ikut mengulurkan tangannya ke dalam air.
"Dokter..."
"Ayo pulang. Hari sudah semakin gelap," ucap Sang Kapten lembut.
Marissa menoleh ke arah Faye yang memandang dirinya dengan mata berkaca-kaca. Dia bukanlah satu-satunya orang yang merasa sedih saat ini. Ada Faye yang pastinya juga merasa kehilangan atas kepergian Ice.
"Kak Faye..."
"Hmm?"
"Sekarang aku hanya punya Kakak. Jadi, jagalah diri mu baik-baik ya? Aku tidak mau kehilangan mu juga, Kak," ucap Marissa lalu berhambur ke dalam pelukan Sang Kapten.
"Iya, aku berjanji," ucap Faye lirih, mendekap erat tubuh gadis yang lebih muda darinya itu.
Setelah itu mereka pun kembali ke istana. Yoko mengundang Marissa, Lux dan Folk untuk bermalam di tempat tinggalnya itu. Dia berharap agar mereka bisa menyusun strategi berikutnya dengan lebih nyaman di sana.
Makan malam berlalu dengan sangat hening, yang bisa terdengar hanya suara sendok garpu yang bersentuhan dengan piring atau suara helaan napas dari orang-orang yang duduk mengelilingi meja makan.
"Folk, apakah memungkinkan untuk membangun tiga kapal baru dalam waktu tiga hari?" tanya Faye membuka suara.
"Tidak mungkin, Kapten. Bahkan untuk mengumpulkan bahan-bahannya saja membutuhkan waktu lebih dari itu," jawab Folk sambil menggeleng.
![](https://img.wattpad.com/cover/369668821-288-k7896.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Angel
FanfictionOrang gila mana? Orang gila mana yang tau dia mabuk laut tapi jadi Kapten kapal? Faye!!!