BAB 3

7.8K 206 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Suara ketukan pintu terdengar, Baskara yang tengah sibuk berkutat dengan berkas di meja kerjanya mengalihkan pandangan ke arah pintu. Terlihat Dinda, sekretaris Baskara memasuki ruangan dengan bunyi hak sepatu setipis pensil itu mengiringi langkah kakinya. Dinda melangkah dengan penuh percaya diri, tubuhnya tegap, sama sekali tidak menundukkan kepalanya ketika bertatap mata dengan Baskara.

Baskara menatap penampilan sekretarisnya yang cukup berani memakai rok di atas lutut dengan sedikit belahan di sisi kiri dan kanan. Satu kancing baju yang Dinda kenakan juga terbuka di bagian atasnya, sengaja memperlihatkan belahan dadanya. Baskara mendengus di dalam hati, sepertinya kejadian semalam membuat kepercayaan diri sekretarisnya itu meningkat drastis.

“Selamat siang, Pak” sapa Dinda, tersenyum manis.

Baskara menganggukkan kepalanya, tidak membalas sapaan dari Dinda. “Ada apa, Dinda?”

Dinda menaruh berkas yang berada di pangkuannya ke atas meja Baskara, senyuman di bibirnya selalu dia perlihatkan. “Ada berkas yang belum Bapak bubuhi tanda tangan, Pak. Ini laporan dari tim pemasaran yang kemarin Saya terima, dan belum sempat Bapak tanda tangan karena kejadian semalam” Pipi Dinda bersemu merah saat mengatakan kejadian semalam.

Baskara mengambil berkas itu, membukanya untuk mengecek isi dari berkas yang harus dia tanda tangan. Baskara memperhatikan berkas itu dengan saksama, pandangannya bergerak atas bawah mengikuti tulisan yang dia baca. Setelah di rasa sesuai, dan tidak ada kesalahan, Baskara membubuhi tanda tangannya di bagian depan berkas.

“Saya harap kau tidak mengungkit kejadian semalam” Baskara mengembalikan laporan itu kepada Dinda. “Sebelum melakukannya, Saya sudah mengingatkanmu untuk tidak bawa perasaan karena Saya melakukannya bukan karena menyukaimu. Saya hanya butuh seseorang untuk menemani Saya tidur”

Dinda menganggukkan kepalanya. Semalam, dirinya menemani Baskara tidur, bukan hanya tidur biasa, mereka berhubungan seksual. Hubungan yang tidak seharusnya dilakukan oleh atasan dengan sekretarisnya. Dinda yang menginginkannya, dia sudah menaruh rasa kepada atasannya itu sejak lama. Ketika melihat kesempatan, Dinda tentu tidak menyia-nyiakannya, dia menyerahkan tubuhnya kepada Baskara, memuaskan nafsu atasannya itu.

Tidak ada paksaan, Dinda yang mengajak Baskara melakukannya. Baskara yang hanya laki-laki normal, tentu menerima ajakan Dinda dengan mudah, tapi Baskara mengingatkan jika dirinya melakukan ini bukan karena dia menyukai Dinda. Baskara juga menekankan jika dia tidak akan melakukannya jika Dinda menaruh rasa padanya.

“Saya tidak akan mengungkitnya, Pak. Saya melakukannya karena memang Saya mau. Kalau Bapak butuh teman tidur, Bapak bisa menemui Saya kapan saja” ucap Dinda. Kemudian, melangkahkan kakinya keluar ruangan Baskara.

Baskara berdecih. Dia tidak akan mau memakai Dinda lagi, cukup sekali. Dia tidak mau berhubungan dengan perempuan yang sama berulang kali. Baskara tahu jika Dinda menyukainya, tapi dia berpura-pura tidak tahu karena tidak ingin membuat Dinda semakin berharap. Tapi, yang mereka lakukan semalam sudah membuat Dinda merasa menerima lampu hijau dari Baskara. Terbukti dengan Dinda yang tampak lebih percaya diri hari ini.

Baskara kembali berkutat dengan berkas yang tadi dia tinggalkan. Belum lama Baskara mempelajari berkasnya, fokusnya kembali terganggu oleh suara dering ponselnya yang berada di atas meja, di dekatnya. Baskara melirik ponsel yang menyala itu, mendapati nama Clara di sana.

Sampai dering telepon berakhir, Baskara masih tidak berniat mengangkatnya. Baskara kembali memfokuskan dirinya ke berkas di tangannya. Selang beberapa detik, ponselnya kembali berbunyi, membuat Baskara berdecak sebal. Tangan Baskara bergerak mengangkat telepon dari Clara.

“Apa maumu?” tanya Baskara langsung ketika sambungan telepon terhubung.

Clara tertawa di balik telepon. “Kau tidak boleh memarahi wanita yang akan menjadi calon istrimu”

Baskara mendengus. “Aku tidak pernah setuju untuk dinikahkan denganmu, Clara. Kau tahu aku tidak menyukaimu”

“Aku tahu, Bas. Aku tidak peduli mau kau menyukaiku atau tidak, yang terpenting kau menjadi suamiku”

“Sampai kapan pun aku tidak akan mau menikah denganmu!”

Suara tawa Clara terdengar lagi, bahkan suara tawanya terdengar semakin dekat. Baskara mengernyitkan dahinya, menatap layar ponselnya bingung karena di balik telepon, dia mendengar Clara berbicara dengan Dinda. Tidak berapa lama, sambungan telepon terputus, dan pintu ruangan Baskara terbuka.

Di depan pintu, Clara menggoyang-goyangkan ponselnya, menyeringai ke arah Baskara yang menatapnya kesal. “Apa itu sambutan untuk calon tunanganmu?” tanyanya, mendekati meja kerja Baskara.

Baskara melemparkan ponselnya ke meja dengan kesal, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Aku sedang bekerja. Kau tidak bisa mengunjungiku seenakmu saja”

Clara mengangguk kecil, menjatuhkan bokongnya bersandar ke meja di dekat kursi kerja Baskara. Kini, posisi mereka sangat dekat, Clara menatap Baskara. Laki-laki yang menolaknya mentah-mentah. “Aku mendengar kau membuat keributan, menolak keinginan orang tua kita untuk menikahkan kita”

Baskara tersenyum. “Aku memang tidak ingin menikah denganmu”

Clara melipat kedua tangannya di dada. “Jelaskan padaku. Jelaskan, kenapa kau tidak ingin menikah denganku? Aku cantik, badanku juga bagus, dan keluargaku juga kaya. Bahkan, aku jago bermain di ranjang”

Baskara berdecih. Dia akui, Clara memang cantik dengan bibir tipis, kulit putih bersih, dan hidung yang mancung. Badan perempuan itu juga bagus, laki-laki pasti tergiur melihat Clara, tapi tidak dengan Baskara. “Kita sudah berteman dari lama. Aku tidak mau menganggapmu lebih dari sekedar teman”

“Kita masih bisa berteman, Bas. Jadi teman tidur”

Baskara tertawa, memandang Clara remeh. “Aku tidak perlu menikah untuk mendapatkan teman tidur”

Clara menatap Baskara serius. “Aku mencintaimu. Kau tahu kan bagaimana perasaanku”

Baskara mengangguk. “Aku tahu, tapi aku tidak mencintaimu”

Meskipun kecewa dengan jawaban Baskara, Clara tetap santai, tidak menunjukkan perasaan kecewanya. “Lalu, kau tidak akan menikah selamanya? Kau yakin orang tuamu akan membiarkan anak satu-satunya melajang seumur hidup?” Clara menggelengkan kepalanya. “Tidak. Kau akan tetap di paksa untuk menikah. Tentu saja orang tuamu akan menikahkanmu denganku, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Kita akan tetap menikah”

Baskara tertawa. “Kau begitu percaya diri. Aku akan menikah, tapi tidak denganmu”

Clara tersenyum miring. “Bagaimana kau akan menikah jika kau saja tidak punya kekasih. Aku tahu kalau kau hanya menikmati malammu bersama wanita-wanita tidak jelas, dan tidak pernah menjalin hubungan yang serius. Dari pada kau membuang uangmu, lebih baik kau menikah denganku dan aku akan memuaskanmu setiap malam”

Clara menekan harga dirinya sampai ke bagian terdalam. Dia sudah seperti perempuan yang tidak punya harga diri, memohon kepada Baskara untuk menikahinya. Clara begitu mencintai Baskara, teman masa kecilnya itu. Sudah lama Clara memendam perasaan kepada Baskara, dan tidak jarang Clara mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan. Tapi, tidak sekalipun Baskara menerimanya, laki-laki itu selalu menolaknya mentah-mentah.

Baskara menggelengkan kepalanya. “Sayangnya aku tidak tertarik untuk bercinta dengan orang yang sama. Jika kau menikah denganku, kau hanya akan aku pakai sekali saja. Kau akan sangat kesepian karena aku hanya akan membiarkanmu begitu saja setelahnya”

“Tidak masalah. Bisa menjadi istrimu saja sudah membuatku bahagia”

Baskara tidak akan bisa menghentikan ambisi Clara yang begitu ingin memilikinya. Baskara harus menemukan cara untuk membuat orang tuanya membatalkan rencana untuk menikahkan mereka. Baskara tidak berminat untuk memakai perempuan yang sama berulang kali, bahkan jika Clara menjadi istrinya sekali pun.

“Aku tetap tidak mau menikah denganmu” Penolakan ke sekian kali yang Baskara berikan kepada Clara.

******

Suara dentuman musik yang kencang memenuhi ruangan temaram itu, lampu kelap-kelip menjadi satu-satunya pencahayaan. Banyak muda mudi yang berjoget ria di bawah gemerlap lampu disko. Baskara menepikan dirinya ke meja dekat bartender, memesan sebotol wine kepada bartender langganannya.

“Seperti biasa” ucap Baskara kepada bartender, duduk di salah satu kursi tinggi di sana.

Dari tempat duduk Baskara sekarang, suara musik terdengar samar. Tempat ini sangat cocok bagi orang yang ingin menikmati wine tanpa terganggu dengan suara musik keras itu. Baskara memang suka ke bar, tapi dia tidak suka berjoget tidak jelas seperti orang-orang gila di sana. Salah satu dari orang gila itu adalah Delvin, sahabat karib Baskara.

Delvin keluar dari kerumunan orang-orang yang sibuk berjoget, sesekali dengan sengaja dirinya menggesekkan bagian depannya ke belakang tubuh wanita seksi di sana. Baskara hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Delvin.

“Aku mencarimu” ucap Delvin, duduk di sebelah Baskara.

Baskara menuangkan wine yang sudah di taruh oleh bartender di depannya. “Aku tidak suka bersentuhan dengan jalang di sana”

Delvin tertawa, ikut menuangkan wine ke dalam gelasnya. “Kau tidak suka bersentuhan dengan mereka, tapi kau sering membayar jalang untuk melayanimu”

Baskara menyesap wine dengan perlahan, menikmati cita rasa pahit bercampur manis yang menyalurkan rasa panas di tenggorokannya. “Apa kau pernah melihatku bermain dengan sembarang jalang?”

Delvin mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kau cukup selektif dalam memilih wanita yang akan menemanimu”

Baskara menggoyang-goyangkan gelasnya yang berisi setengah, tampak sedang memikirkan sesuatu. “Apa kau punya kenalan wanita?”

Delvin menatap Baskara dengan kedua alis bertaut. “Kau ingin di temani malam ini?”

Baskara menggelengkan kepalanya, menoleh kepada Delvin. “Tidak. Aku tidak membicarakan mengenai wanita jalang. Aku sedang kalut, dan sedang tidak berhasrat”

“Lalu, untuk apa kau menanyakan wanita kepadaku?”

Baskara terdiam beberapa detik, kemudian angkat suara. “Clara masih ingin menikah denganku, walaupun aku sudah menolaknya berkali-kali”

“Kenapa kau tidak menerimanya saja. Dengan begitu kau tidak perlu menyewa jalang lagi, kau bisa meminta Clara untuk memuaskanmu”

Baskara tersenyum miring. “Kau sama saja dengan Clara”

“Tidak ada yang salah bukan dengan ucapanku?” tanya Delvin. Menurutnya, Baskara tidak perlu merasa bingung, tinggal terima saja Clara, dan masalah selesai. Baskara jadi memiliki istri yang bisa melayaninya setiap dia sedang berhasrat.

Baskara menggeleng. “Ucapanmu tidak salah. Satu-satunya letak kesalahanmu adalah menyuruh laki-laki seperti aku untuk menikah. Kau tahu betul jika aku sudah mencicipi satu wanita, maka aku tidak akan berminat untuk mencicipinya lagi”

Delvin tahu betul dengan Baskara yang suka icip-icip. Semua perempuan yang pernah tidur dengannya hanya dia pakai sekali, dan tidak pernah memesan perempuan yang sama. Baskara juga selektif dalam memilih perempuan yang akan menemaninya. Ada standar tertentu yang harus di penuhi untuk melayani Baskara, entah standar apa yang di tetapkan oleh laki-laki itu.

“Aku ingin mencari perempuan yang bisa aku jadikan istri sementara, sampai keluargaku tidak lagi menyuruhku untuk menikah dengan Clara”

Delvin menatap Baskara. “Maksudmu, kau ingin membayar seseorang untuk kau jadikan istri”

Baskara mengangguk, menyesap minumannya sejenak. “Ya, bisa di katakan seperti itu. Aku hanya butuh dia menikah denganku, setelahnya kami bisa bercerai”

Delvin tampak berpikir, tangannya bergerak merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet. “Sepertinya aku pernah mendapatkan kartu nama seseorang yang menyediakan jasa seperti yang kau cari. Sebentar, aku mencarinya dulu” Delvin mencari-cari kartu nama yang mungkin saja terselip di dompetnya. “Ah, ini dia. Untung belum aku buang” Delvin menyerahkan kartu nama itu kepada Baskara.

Baskara mengambil kartu nama itu, kartu nama berwarna hitam dengan tulisan berwarna emas. Terlihat di tengah-tengah kartu itu tertulis kata Secret dengan huruf besar, di bawahnya ada tulisan kecil Kau akan mendapatkan pasangan jika kau punya uang. Di bagian bawahnya lagi tertulis kontak agen yang bisa dihubungi bernama Lina Marlina.

Baskara berdecih. Ada saja ide yang terpikirkan oleh orang ini, dia menjual diri dengan cara yang lebih berkelas. “Apa di sini banyak jalang berkelas?”

Delvin mengangkat bahunya. “Sepertinya bukan. Kenalanku pernah memakai jasa dari sana, dan dia cukup puas. Dia bisa mendapatkan warisannya setelah menyewa perempuan dari sana untuk menjadi istri bayarannya. Mereka bercerai setelah satu bulan menikah, dan perempuan itu tidak menuntut apa pun. Dia hanya perlu membayar sesuai harga yang mereka sepakati dari awal ketika mereka sudah bercerai”

“Sama dengan jalang bukan? Kita membayar ketika mereka sudah memuaskan kita. Bedanya, mereka melakukannya dengan dalih menjadi istri bayaran”

“Kau bisa mencobanya bukan? Jika memang kau begitu tidak ingin menikah dengan Clara”

Baskara mengangguk, memasukkan kartu nama itu ke saku jasnya. “Aku akan memikirkannya lagi”

****

BAYAR DI MUKA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang