BAB 17

6.1K 193 0
                                    


Perpeloncoan dari calon mertuanya sudah di mulai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Perpeloncoan dari calon mertuanya sudah di mulai. Beberapa hari setelah makan malam itu, Veni menghubungi Varsha, menyuruh perempuan itu untuk datang ke rumahnya pukul 7 pagi. Hanya pesan singkat yang Varsha terima dari nomor baru, mengaku sebagai Mama Baskara. Sudah jelas jika itu nomor Veni, dia mendapatkan nomor Varsha dari Baskara.

+628**********
Datang ke rumah besok pagi, pukul 7, teng!
_Mama Baskara_

Begitulah pesan yang Varsha terima tadi malam. Sekarang, Varsha sudah berada di rumah orang tua Baskara, tanpa Baskara tentunya. Varsha sampai di depan rumah pukul 7 lewat 10 menit. Telat? Iya, Varsha tidak bisa menghindari variabel tak terduga seperti jalanan macet, apalagi dirinya ke sana dengan menaiki angkutan umum.

“Ibu sudah menunggu di ruang tamu” ucap salah satu pelayan, mengantarkan Varsha ke ruang tamu di mana Veni berada.

Varsha melihat Veni yang duduk di ruang tamu, sudah berpakaian rapi. Veni menatap ke arah Varsha yang baru datang, kemudian menatap jam tangannya. “Kau telat”

“Maafkan aku, tadi aku ke sini menai..”

“Aku tidak mau mendengarkan alasanmu. Mau kau pergi ke sini naik apa, aku tidak peduli. Yang jelas kau telat, berarti kau bukan orang yang disiplin. Bagaimana kau akan mengurus anakku nanti? Dia butuh istri yang bisa menyiapkan bajunya, dan sarapannya pagi hari sebelum berangkat bekerja”

“Ada pembantu. Uang Baskara banyak, bukan tugasku membuatkan sarapan untuknya”

Veni terdiam mendengar jawaban Varsha, wajahnya berubah merah padam, menahan amarah yang bergejolak di dalam hati. “Kau..” Veni tidak bisa berkata-kata lagi, lancang sekali perempuan pilihan Baskara.

Suara tawa terdengar, Wijaya turun dari tangga dengan kondisi masih memakai baju tidur. “Calon menantu kita tidak salah, Ma. Kau juga tidak pernah menyiapkan makanan untukku, semuanya dilakukan oleh pembantu”

Veni menatap Wijaya memperingati. “Kau diam saja, Wijaya! Biar aku yang menguji calon istri Baskara”

Wijaya berdiri di depan Varsha, mengangkat bahunya. “Dengarkan saja, kau hanya perlu menyiapkan telinga. Jika tidak sanggup, kau bisa menutup telingamu dari pada telingamu berdarah” guraunya.

Varsha tersenyum menanggapi ucapan Wijaya. “Aku sudah menyiapkan telinga, hati dan pikiranku”

“Kau sudah membawa bekal ternyata” Wijaya beralih menduduki sofa di sebelah Veni. “Duduk, Varsha” ajaknya. “Kau jangan berdiri terus, nanti kau bisa kalah di medan perang”

Varsha mengangguk, memilih duduk di sofa yang berseberangan dengan Veni dan Wijaya. Dia tidak tahu untuk apa Veni menyuruhnya datang ke rumah pagi-pagi sekali. Jadi, Varsha tunggu saja apa yang ingin dilakukan oleh calon mertuanya itu. Ralat. Calon mertua pura-pura.

“Kau tidak mau mandi, Wijaya?!” tanya Veni, menatap Wijaya kesal.

Wijaya menyandarkan  punggungnya ke sandaran sofa. “Terlalu pagi. Aku biasanya mandi pukul 10”

“Kau semakin pemalas semenjak membiarkan Baskara memimpin perusahaan! Semakin tua, semakin malas! Kau mau masa tuamu sakit-sakitan?!” Veni menatap Wijaya dengan mata melotot.

Wijaya menutup telinganya dengan kedua tangan. “Kau yang membuat telingaku sakit”

Veni dibuat makin kesal. “Jika kau hanya akan mengacau di sini, sebaiknya kau kembali pergi tidur, Wijaya! Biar aku yang menguji perempuan pilihan Baskara”

“Ssttt. Suaramu keras sekali” Wijaya menghadapkan tubuhnya kepada Veni. “Kau bisa membangunkan orang sekampung dengan suaramu itu”

“Apa katamu?!” Veni semakin melotot, menatap Wijaya marah.

Wijaya tertawa. “Tidak. Aku mengatakan kau cantik, dan aku menyayangimu. Tapi, kalau kau marah terus,..”

“Apa?! Apa rasa sayangmu hilang jika aku marah terus?!”

Wijaya menggeleng. “Kata siapa? Aku malah makin sayang padamu”

Veni sama sekali tidak tersipu malu, dia sudah biasa mendengarnya. “Kau memilih pergi ke atas atau tidur di luar nanti malam?!” ancamnya.

“Aku akan kembali ke kamar” Wijaya bangkit dari duduknya. Sebelum benar-benar pergi, Wijaya menutup wajahnya dengan sebelah tangan di bagian di mana Veni duduk, dia menatap Varsha. “Aku ke atas dulu. Jika kau butuh bantuan berteriak saja” ucapnya menyeringai.

Varsha menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Dirinya tidak takut melawan Veni, tapi dia menghargai perempuan itu sebagai Mama Baskara. Varsha saja pernah melawan preman berbadan besar, jadi dia tidak takut sama sekali.

“Kau bisa memasak?” tanya Veni, menatap Varsha.

“Hanya hidangan sederhana”

Varsha bisa memasak, tapi memasak makanan yang sederhana saja. Dia tidak bisa memasak makanan yang aneh-aneh seperti makanan yang terhidang di meja makan kala itu. Varsha belum pernah memasak hidangan mewah.

“Makanan apa yang sering kau masak?”

“Nasi goreng” jawab Varsha, sedikit menelengkan kepalanya, merasa ragu dengan jawabannya itu. Terlihat jika Veni tidak puas dengan jawaban dari Varsha.

“Kau ingin menghidangkan makanan penuh berminyak itu untuk Baskara?”

Varsha menggeleng. “Tidak. Bukan aku yang memasak nanti”

Veni menghela napas lelah, memijit kepalanya yang mendadak terasa pusing. “Harusnya aku tahu pilihan Baskara belum tentu tepat”

Jadi, perempuan yang tepat untuk menjadi istri Baskara itu perempuan seperti apa? Apa perempuan yang harus jago memasak? Kenapa tidak mencari istri seorang chef saja? Atau perempuan yang tepat menurut Veni itu Clara?

“Mama” teriak Clara, berlari menghampiri Veni. Clara langsung menempatkan dirinya duduk di sebelah Veni, mengecup pipi kanan dan kiri Veni. “Maaf aku telat, tadi di jalan macet”

Baru saja tadi Varsha memikirkan Clara, perempuan itu sudah ada di depannya saja, dia panjang umur.

Veni tersenyum. “Tidak apa-apa. Memang kalau keluar jam segini suka macet”

Varsha memutar bola matanya kesal. Giliran dirinya yang telat di marahi, tapi giliran Clara dimaklumi. Memang tidak ada manusia yang adil di dunia ini, pasti selalu berpihak kepada orang terdekat. “Kau bisa memasak Clara?” tanya Varsha.

Clara yang tadi tersenyum, menatap Varsha dengan wajah ketus, sama sekali tidak bersahabat. “Untuk apa kau menanyakannya padaku?”

“Ah, tidak. Aku hanya penasaran, apakah kau perempuan yang tepat untuk Baskara”

Clara menatap Varsha sinis, melipat kedua tangannya di dada. “Bukan urusanmu, bukan kau yang menentukan siapa perempuan yang tepat untuk Baskara”

Varsha mencibir, kepalanya mengangguk-angguk. Dia yakin Clara juga tidak bisa memasak, perempuan itu pasti tidak pernah ke dapur. Setidaknya, Varsha bukan perempuan yang manja dan suka berleha-leha tanpa tahu arah. Dia bekerja menghidupi dirinya sendiri, dan tidak bergantung dengan orang lain. Tentu, jika Varsha yang menjadi istri Baskara, dia tidak akan menyusahkan laki-laki itu. Kenapa Varsha malah menilai kelayakan dirinya menjadi istri Baskara? Walaupun dia tidak layak, dia tetap akan menikah dengan Baskara karena laki-laki itu sudah membayarnya.

“Ada tas keluaran baru, aku sedang mengincarnya, Ma” ucap Clara, memperlihatkan layar ponselnya kepada Veni.

“Mama juga sedang mengincar tas ini. Kalau nanti Mama di kabarkan barangnya ready, Mama akan membelikanmu satu”

Setidaknya, Varsha tidak akan menghabiskan uang Baskara untuk membeli tas mahal. Varsha lebih unggul lagi, dia lebih hemat, dan uang Baskara tidak akan terbuang untuk barang yang tidak penting.

Varsha tahu apa fungsinya berada di sini, yaitu mendengarkan Veni dan Clara yang mengobrol, dan melihat kedekatan dua orang itu yang sudah seperti ibu dan anak. Veni pasti ingin membuat Varsha menyerah karena Varsha tidak pernah di bawa dalam percakapan kedua orang itu. Varsha hanya duduk dengan bosan, mendengarkan obrolan yang Varsha tidak mengerti.

“Kau mau ikut denganku?” tanya Wijaya, laki-laki itu sudah berganti baju dengan baju santai, dan sepertinya sudah mandi. Wijaya berdiri di dekat Varsha. “Dari pada kau harus berdiam diri mendengarkan dua orang yang mengobrol tanpa mengajakmu”

Varsha menengadahkan kepalanya, menatap Wijaya. Begitu juga Veni dan Clara, mereka menghentikan obrolan mereka. Varsha menganggukkan kepalanya, tidak ada salahnya ikut dengan Wijaya, laki-laki itu lebih menghargai kehadirannya.

“Kau akan membawanya ke mana Wijaya?” tanya Veni, menatap Wijaya yang membawa Varsha bersamanya.

“Kau lanjutkan saja obrolanmu dengan Clara, biar Varsha mengobrol denganku”

Wijaya membawa Varsha untuk duduk di tepi kolam renang, duduk di kursi sambil selonjoran kaki. Di meja yang ada di tengah-tengah mereka sudah terhidang minuman dan beberapa makanan ringan yang di antarkan oleh pelayan. Ternyata, hidup orang kaya seenak ini ya, semuanya di sediakan, hanya perlu bersantai menikmati hidup. Pantas saja orang kaya yang sudah berumur, mereka tetap terlihat bugar dan muda karena mereka tidak memiliki beban, hidup mereka terasa mudah.

“Kau mencintai Baskara?”

Varsha menoleh ke samping, menatap Wijaya yang merebahkan tubuhnya di kursi, pandangannya lurus ke atas. Bagaimana Varsha harus menjawabnya? Apa dia harus berbohong?

“Aku..”

“Kau tidak perlu menjawabnya. Nanti saja saat kau sudah memiliki jawaban yang pasti” potong Wijaya. “Perasaan bisa berubah, hati seseorang mudah sekali berubah. Jawab saja nanti ketika kau sudah yakin jika perasaanmu tidak akan berubah lagi”

Varsha menganggukkan kepalanya. Perasaan dan hati memang mudah berubah. Varsha harap perasaannya tidak akan pernah berubah, karena akan rumit jika itu terjadi. Dia menikah dengan Baskara hanya karena ikatan kontrak, dan Varsha tidak boleh memiliki perasaan lebih jauh kepada Baskara. Dia yang akan dirugikan jika nanti mereka bercerai.

“Baskara, dia begitu mirip denganku”

Varsha menatap Wijaya lagi. Benar, sikap Baskara hampir mirip dengan Wijaya, dan Varsha menyadari itu. Ya, walaupun dia bertemu dengan Wijaya baru dua kali, tapi sifat anak sudah pasti menurun dari orang tuanya.

Wijaya menoleh ke samping. “Dia pemain perempuan” ucapnya sembari tertawa. “Aku harap kau menjadi tempat pelabuhan terakhirnya. Dia sudah cukup lama berlayar dengan bebas di lautan. Sebelum dia terombang-ambing di bawa ombak, aku berharap dia menemukan pelabuhan di mana dirinya bisa berhenti”

Dari sikap Baskara yang kurang ajar, dan selalu mengatakan hal vulgar, Varsha tahu jika laki-laki itu sudah sangat ahli dalam hal mempermainkan perempuan. Hal itu semakin membuat Varsha bertekad untuk menjaga dirinya dari Baskara, dia tidak boleh memiliki perasaan kepada laki-laki seperti Baskara.

“Jika Baskara tahu aku membongkar aibnya, dia akan marah padaku”

Varsha tersenyum. “Aku tidak akan mengadukanmu padanya”

Wijaya menarik tubuhnya untuk duduk, menghadap ke arah Varsha, dan tersenyum. “Aku setuju kau menikah dengan Baskara”

*****

Varsha termenung dengan tangan yang sibuk mengaduk-aduk kopi instan yang baru saja dia seduh. Varsha sudah kembali dari rumah orang tua Baskara tepat pukul 5 sore. Setelah dari sana, Varsha langsung menuju Secret, memang akhir-akhir ini dia selalu menginap di Secret.

Varsha masih memikirkan kata-kata dari Wijaya, laki-laki itu seperti mengetahui sesuatu, tapi apa yang diketahui oleh Wijaya. Apa Wijaya tahu dirinya dan Baskara bukan pasangan sungguhan?

“Sampai kapan kau akan mengaduk kopimu, Varsha?” tanya Lina, menghampiri Varsha yang duduk di meja sambil melamun. Tangan Lina memegangi gelas Varsha. “Kopimu sudah dingin”

Varsha mengalihkan pandangannya ke luar jendela, langit yang tadinya masih terang, kini sudah berubah gelap. Berapa lama dirinya melamun?

“Kau melamun berjam-jam. Apa yang kau pikirkan?” Lina menarik kursi di depan Varsha, duduk di sana.

Varsha menghela napas lelah, mengangkat gelasnya. Benar, kopinya sudah dingin. Varsha tetap meminumnya, sayang jika di buang.

“Apa calon mertuamu begitu kejam sampai kau pulang-pulang langsung melamun”

Varsha menaruh kembali gelasnya di meja, menggelengkan kepalanya. Bukan Veni yang tengah Varsha pikirkan. “Dia memang kejam, aku diabaikan dan dia mengobrol dengan perempuan pilihannya, tapi aku tidak terlalu ambil pusing”

“Lalu, apa yang kau pikirkan?”

Varsha menatap Lina serius. “Coba kau tanyakan padaku, apakah aku mencintai Baskara”

Lina menatap Varsha bingung. “Kau aneh, Varsha. Apa kau demam?” Lina menempelkan punggung tangannya di kening Varsha.

Varsha menepis tangan Lina dengan kesal. “Tanyakan saja, Lina. Aku ingin mengecek sesuatu”

“Baiklah, akan aku tanyakan” Lina mengambil ancang-ancang, menatap Varsha serius. “Apa kau mencintai Baskara?”

Varsha balik menatap Lina serius. “Iya, aku mencintainya”

Lina terdiam, mengangkat alisnya sebelah. “Lalu, apa? Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan, Varsha?”

“Apa aku terlihat tulus saat mengatakan itu”

“Kau mau aku jujur atau tidak?”

Varsha menganggukkan kepalanya. “Jawab jujur”

Lina mengangkat tangannya, ibu jari dan jari telunjuknya di dekatkan, menyisakan rongga yang begitu kecil di sana. “Sedikit kurang tulus. Mulutmu memang mengatakan kau mencintainya, tapi tatapan matamu tidak”

Varsha mendesah kecewa. Harusnya dia tidak menjawab pertanyaan dari Wijaya. Pantas saja laki-laki itu tertawa ketika Varsha mengatakan dia mencintai Baskara. Wijaya pasti sudah tahu jika Varsha berbohong.

Mengenai pertanyaanmu tadi” Varsha menahan langkah kaki Wijaya yang ingin meninggalkan kolam renang.

Wijaya berbalik badan, menatap Varsha dengan kedua alis menyatu.

“Kau bertanya padaku, apakah aku mencintai Baskara”

Wijaya menganggukkan kepalanya. “Iya, aku bilang tidak usah menjawabnya sekarang”

Varsha menggeleng cepat. “Tidak, aku akan menjawabnya sekarang”

Wijaya mengangguk-angguk. “Kau boleh menjawabnya sekarang jika kau sudah yakin”

“Aku mencintai Baskara”

Wijaya tertawa kecil. “Aku bilang jangan terburu-buru untuk menjawabnya”

Varsha sudah salah mengambil langkah, harusnya Varsha tidak memaksakan diri untuk menjawabnya. Dia ingin menjawab karena ingin membuat Wijaya merasa jika Baskara sudah menemukan pelabuhan yang tepat. Varsha mendengus kasar, tindakan yang bodoh. Pasti Wijaya tahu jika dia tidak tulus saat mengatakan itu.

*****

BAYAR DI MUKA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang