Baskara memfokuskan dirinya dengan berkas yang berada di atas meja, tidak memedulikan kehadiran Veni, Mamanya dan Clara yang sudah berada di ruangan Baskara sejak setengah jam yang lalu. Kedua perempuan itu duduk di sofa yang berada di dalam ruangan dengan dua gelas minuman yang di suguhkan oleh Dinda sebelumnya.
“Kau akan tetap bekerja dan tidak peduli dengan kehadiranku, Bas?” tanya Veni, mulai geram dengan tingkah anaknya yang terus sibuk dengan pekerjaannya. Tidak berniat menyapanya sama sekali.
Baskara masih tidak menghiraukan Veni, dia tetap memfokuskan dirinya dengan berkas di tangannya. Dia tahu jika maksud kedatangan Veni ke sini hanya untuk membujuknya menerima perjodohan dengan Clara. Dan Baskara sudah muak mendengar segala bujukan Veni.
“Baskara!” tegur Veni, menatap Baskara kesal.
Baskara menarik matanya menatap Veni. “Aku akan mengunjungimu, Ma. Kau tidak perlu datang ke kantorku dan membuat keributan”
“Kau bilang aku membuat keributan?! Kau mengatakan itu kepada Mamamu?”
Baskara berdecih. Veni tampak begitu dramatis. Jika tidak keributan yang di perbuat oleh Veni, lalu ini apa? Veni datang ke kantornya, mengganggu pekerjaannya.
“Mama, tenang” Clara menenangkan Veni, mengusap punggung Veni.
“Mama tidak tahu jika anak Mama satu-satunya lebih peduli dengan pekerjaannya dari pada perempuan yang sudah melahirkannya” Veni memasang wajah sedih.
Baskara mendengus. Dengan malas dirinya bangkit dari kursi, mendekati sofa, duduk di single sofa. Baskara menatap malas ke arah Veni. “Apa yang ingin Mama katakan?”
Veni tersenyum dalam hati, menatap ke arah Baskara. Mau bagaimana pun, Baskara tidak akan tega melihat ibunya bersedih. “Aku hanya ingin kau menikah, Bas. Umurmu sudah 30 tahun, dan kau masih belum berniat menikah”
Benar saja. Veni hanya terus membicarakan pernikahan dengannya. Apa setiap orang harus menikah? Tidak, menikah itu tidak wajib, Baskara tidak harus menikah. “Aku akan menikah”
Veni tersenyum, begitu juga dengan Clara. Kedua perempuan itu terlihat begitu senang mendengar keputusan Baskara.
“Akhirnya kau setuju juga, Bas” ucap Clara, tersenyum senang.
Veni menatap Clara yang duduk di sampingnya. “Bilang pada orang tuamu, suruh mereka ke rumah agar kita bisa membicarakan tentang pernikahan kalian”
Clara menganggukkan kepalanya dengan penuh semangat.
Baskara tersenyum miring. “Kata siapa aku akan menikah dengan Clara?”
Perlahan senyum di bibir Veni dan Clara luntur. Veni menatap Baskara dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu, Bas?”
“Aku memang akan menikah, tapi bukan dengan Clara”
Jawaban dari Baskara semakin menambah kerutan di dahi Veni. “Kalau bukan dengan Clara, dengan siapa kau akan menikah, Bas? Kau tidak berpikiran untuk menikah dengan perempuan jalang yang biasa menemanimu, bukan?”
Veni tahu kebiasaan buruk Baskara, dia tahu anaknya itu sering bermain dengan pelacur di luaran sana, bersenang-senang dengan perempuan tidak jelas, melampiaskan nafsunya. Selama ini Veni diam saja, bukan berarti dia tidak tahu apa yang dilakukan oleh Baskara. Hal itu juga yang mendorong Veni untuk menyuruh Baskara segera menikah, dengan begitu, Veni berharap Baskara tidak lagi berhubungan dengan perempuan tidak jelas.
“Kau tidak mungkin menikahi sekretarismu, bukan?” tanya Clara. Dia tahu jika ada yang berbeda dengan sekretaris Baskara, sekretarisnya itu tampil lebih seksi dari pada sebelumnya. Dan Clara tahu jika Baskara tidur dengan sekretarisnya.
Baskara tersenyum sinis. “Tidak. Aku akan menikah dengan perempuan pilihanku”
Perempuan pilihan, perempuan yang akan dia bayar untuk dijadikan istri selama beberapa saat. Setelahnya, dia bisa menceraikan perempuan itu, dan hidup bebas. Baskara hanya ingin kebebasan, tanpa perlu terikat dengan perempuan mana pun.
“Siapa, Bas? Apa aku kenal dengannya?” tanya Clara.
Baskara menggeleng. “Tidak. Kau tidak kenal”
“Jika memang kau mempunyai perempuan pilihan, bawa dia ke rumah, kenalkan kepadaku. Tapi, kalau kau tidak mengenalkannya, maka kau harus menerima perjodohan dengan Clara” ucap Veni.
“Tenang saja, Ma. Aku akan mengenalkannya padamu nanti”
*******
Veni dan Clara berjalan keluar dari kantor Baskara, masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah terbuka. Sementara Clara, perempuan itu masuk ke sisi mobil yang satu lagi.
“Kita langsung pulang, Bu?” tanya sopir pribadi Veni.
Veni menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
“Bagaimana kalau Baskara benar-benar membawa perempuan untuk dikenalkan kepada Mama?” tanya Clara. Dia mulai khawatir, Baskara tampak serius dengan ucapannya tadi. Bisa saja Baskara mengenal seorang perempuan tanpa sepengetahuan Clara, karena tidak semua tentang kehidupan Baskara yang dapat Clara ketahui.
“Kau tenang saja. Mama tidak akan dengan mudah bisa dikelabui oleh Baskara. Mama akan menyelidiki perempuan yang dia bawa. Mama jauh lebih setuju jika Baskara menikah denganmu”
Clara tersenyum mendengarnya, Veni berpihak kepadanya. Veni menyukai Clara untuk menjadi menantunya. “Aku sudah lama menunggu Baskara, Ma. Aku harap Mama mau membantuku untuk mendapatkan Baskara”
Veni mengangguk. “Tentu saja. Hanya saja, kau harus bersabar, Clara. Dari kecil Baskara memang tidak suka di kekang. Apalagi sekarang dia sudah dewasa, dia tidak akan mau jika terus di paksa. Untuk itu Mama membiarkannya membawa perempuan pilihannya. Mama yang akan membuat perempuan itu mundur, dan menjauh dari kehidupan Baskara. Kita tidak bisa mendesak Baskara, kita ikuti kemauannya, setelah itu baru dia yang akan mengikuti kemauan kita”
Mobil yang membawa Veni dan Clara memasuki rumah besar dengan pagar tinggi menjulang. Rumah bercat cream itu merupakan kediaman keluarga Wicaksono. Di sana, hanya tinggal Nyonya dan Tuan Wicaksono, beserta beberapa orang pembantu.
Veni keluar dari dalam mobil ketika sopirnya sudah membukakan pintu. Veni membalikkan badannya menatap Clara yang masih diam di dalam mobil. “Maaf, Mama tidak bisa mengantarmu, Clara. Ada yang ingin Mama bicarakan dengan Papa Baskara. Kau akan di antar pulang oleh Pak Jun”
Clara menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak apa-apa, Ma”
Veni beralih menatap Pak Jun, sopir pribadinya yang berdiri di dekatnya. “Tolong antarkan Clara dengan selamat”
“Baik, Bu” Pak Jun menutup kembali pintu mobil, mengitari mobil untuk masuk ke kursi kemudi, menjalankan perintah majikannya untuk mengantarkan Clara.
Veni melangkahkan kakinya memasuki rumah, sudah ada dua orang pelayan yang mengenakan pakaian maid menunggu kedatangannya. Satu orang membantu membawakan tas Veni, sementara yang satu lagi berjalan mengekor di belakang Veni.
“Suami Saya ada di mana?” tanya Veni kepada pelayan yang berada di belakangnya.
“Tuan sedang berada di kolam berenang, Bu. Tadi beliau meminta Saya untuk menyiapkan minuman dan suruh di bawakan ke kolam berenang”
Veni mengangguk. “Oke. Pastikan tidak ada pelayan yang datang ke kolam berenang”
Pelayan itu berhenti melangkah, tidak lagi mengikuti Veni yang bergerak menuju kolam berenang. Veni menemukan Wijaya, suaminya sedang berbaring di kursi yang ada di tepi kolam dengan memakai jubah mandi, matanya di tutup oleh kaca mata hitam. Veni mendengus melihat tingkah tua bangka yang menikmati masa tuanya dengan bersantai-santai.
Veni ikut duduk di kursi yang ada di sebelah Wijaya, menatap wajah Wijaya yang masih terlihat bugar meskipun sudah tua. “Kau akan terus bersantai dan membiarkan anakmu mengikuti jejakmu?” sindirnya.
“Kau baru pulang dari kantor?” tanya Wijaya balik. Terakhir dia mendapat informasi dari pelayan jika istrinya itu mengunjungi Baskara ke kantor.
“Jawab pertanyaanku, Wijaya! Kau akan tetap membiarkan Baskara seenaknya saja!”
Wijaya terkekeh, membuka kaca mata hitamnya. “Kau jangan terlalu memaksa Baskara. Dia tidak akan mengikuti kemauanmu jika kau terus mendatanginya ke kantor. Biarkan dia menjalankan perusahaan dengan baik” Wijaya meraih minuman di meja, orange jus dengan potongan buah jeruk di sisi gelasnya, hanya sebagai hiasan saja.
“Dia benar-benar mengikuti jejakmu” Veni memasang wajah kesal.
Wijaya yang baru menyeruput minumannya di buat tertawa melihat wajah sang istri. “Tentu saja dia mengikuti jejakku, dia anakku. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Jangan lupakan pepatah itu” Wijaya kembali menaruh gelas di atas meja.
Wajah Veni semakin kesal. “Itu tabiat burukmu yang tidak aku suka. Kau suka bermain perempuan sampai anakmu juga melakukan hal yang sama!”
“Itu masa laluku, Sayang. Kau jangan mengungkit masa lalu. Sekarang aku sudah berubah, kau satu-satunya perempuan di hatiku”
Dulunya, Wijaya adalah pemain wanita, dia sering bergonta-ganti pasangan. Sampai akhirnya dia dijodohkan dengan Veni, dan akhirnya Wijaya berubah. Dia jatuh cinta dengan istrinya, sampai mereka mempunyai anak, yaitu Baskara.
Veni sama sekali tidak tersipu malu mendengar rayuan Wijaya, dia sudah biasa mendengar rayuan dari mulut manis suaminya itu. “Masa lalumu itu berdampak bagi anak kita, Wijaya. Dia tidak mau menikah dengan perempuan pilihanku”
“Kalau masalah itu, dia mengikutimu. Kau yang dulu menolak dijodohkan denganku, kalau aku terima-terima saja”
Veni mendelik kesal. “Kau jangan mengaitkannya dengan diriku!”
Wijaya tertawa lagi. “Kau sering mengaitkan semua yang Baskara lakukan dengan masa laluku, tapi giliran aku membahas masa lalumu, kau malah marah. Sepertinya semua kesalahan milikku, dan kebenaran milikmu”
“Jangan membahas yang tidak berhubungan dengan awal pembicaraan, Wijaya. Kau mau aku suruh tidur di luar malam ini?!” Veni sudah sangat kesal, kini matanya menatap Wijaya melotot.
Wijaya tidak bisa apa-apa. Dari awal menikah dengan Veni, sampai pernikahan mereka sudah 32 tahun, ancaman tidur di luar yang selalu Veni layangkan untuk membungkamnya. “Baiklah, aku mengalah”
“Anakmu itu, dia menolak aku jodohkan dengan Clara..”
“Sudah aku bilang, dia tidak akan mau kau jodohkan, kau saja yang ingin sekali menjodohkannya”
“Jangan memotong pembicaraanku! dengarkan aku sampai selesai!” Veni melotot lagi.
Wijaya menyerah, mengangkat tangannya ke atas. “Oke, lanjutkan. Aku akan mendengarkan cerita dari istriku tercinta”
“Kau tahu apa yang baru saja dia katakan padaku?”
Wijaya diam saja.
Veni menjadi jengkel sendiri. “Kenapa kau diam saja?!”
“Kau tadi menyuruhku untuk mendengarkanmu sampai selesai”
Wijaya tidak salah bukan? Veni melarangnya untuk memotong pembicaraan, dan di suruh untuk mendengarkannya saja.
Veni menarik napas pelan, kemudian menghembuskannya. Sabar. Suaminya memang menyebalkan. “Kali ini aku tidak akan marah padamu, Wijaya. Aku sedang tidak ingin marah-marah”
“Kau baru saja ma...” Wijaya menggantung ucapannya ketika mata Veni melotot. “Oke. Aku juga tidak ingin kau marah. Aku tidak ingin tidur di luar”
Perlahan Veni tersenyum, suami yang penurut. “Tadi Baskara mengatakan padaku jika dia akan menikah”
“Iya” Wijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, menyimak dengan baik cerita Veni.
“Tapi, dia tidak mau menikah dengan Clara. Dia mau menikah dengan perempuan pilihannya”
“Apa aku sudah boleh bicara?” tanya Wijaya.
Veni mengangguk.
Wijaya membenarkan posisi rebahannya, berubah menjadi duduk, menatap ke arah Veni. “Aku katakan padamu baik-baik, ya. Dia anak kita, mengikuti sifat dari orang tuanya..”
“Stt” Wijaya menahan Veni yang membuka mulut hendak membantah. “Kali ini dengarkan aku” Setelah Veni bisa mendengarkannya, Wijaya kembali lanjut berbicara. “Kalau kau ingin melihat Baskara bahagia, biarkan dia memutuskan bagaimana hidup yang dia pilih”
“Kau akan membiarkannya melajang sampai mati!”
Wijaya geleng-geleng kepalanya, telunjuknya bergerak di depan dadanya. “Itu yang tidak kau mengerti. Maksudku bukan membiarkannya hidup melajang. Biarkan dia menentukan perempuan pilihannya, jangan kau paksa menikah dengan perempuan pilihanmu. Dia suka kebebasan, maka biarkan dia bebas memilih. Percaya saja padaku, dia akan menikah dengan perempuan yang tepat. Seperti aku yang akhirnya menikah denganmu, terlepas bagaimana aku dulunya”
“Jika perempuan pilihannya perempuan tidak jelas, kau akan membiarkannya?”
Wijaya kembali merebahkan badannya ke kursi, menaruh kedua tangannya di atas kepalanya. “Dia anakku, dia tidak akan memilih sembarang perempuan. Dia memiliki standar, seperti aku”
******
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYAR DI MUKA (TAMAT)
عاطفية(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK!) WARNING!! (21+) Hutang sebesar 200 juta yang di tinggalkan oleh ayah Varsha, membuat Varsha harus membanting tulang untuk mencari uang. Segala pekerjaan dia lakukan, tapi hanya cu...