Keheningan mengisi meja makan di sebuah restoran yang ada di hotel di mana Baskara dan Varsha akan menyelenggarakan pernikahan. Empat orang yang berada di meja itu sedang menyantap makan malam masing-masing, belum membuka suara sedari mereka bertatap muka. Varsha melirik ke arah kedua orang tua Baskara yang duduk di kursi di hadapannya. Ya, kini Varsha sedang makan malam bersama keluarga Baskara lagi, bedanya mereka makan di restoran yang ada di hotel.
Wijaya menatap ke arah Veni, sedikit menyikut tangan istrinya itu. Veni yang di sikut seperti itu menatap Wijaya tajam. “Kau jangan gengsi” bisik Wijaya di telinga Veni.
Baskara menaruh kedua sendoknya di atas piring dengan posisi menyilang, pertanda dirinya sudah selesai makan. Tangan Baskara beralih mengambil tisu, mengelap sudut bibirnya. “Kau sudah selesai, Varsha?” tanyanya, melirik Varsha yang makan dengan wajah di tundukkan.
Varsha mengangkat kepalanya, menatap Baskara. “Aku sudah selesai”
Baskara mengernyitkan dahinya, melirik makanan di piring Varsha yang masih sangat banyak. Baskara yakin jika Varsha baru memakan makanannya beberapa suap saja. “Kau sudah kenyang?”
Varsha menganggukkan kepalanya, lebih tepatnya dia merasa canggung jika harus makan semeja dengan Veni. Pertemuan terakhir mereka sedikit tidak mengenakkan karena Varsha menampar Baskara di depan Veni.
Baskara mengangguk. “Ya sudah, kita bisa balik ke kamar”
“Aku ingin meminta maaf padamu, Varsha” ucap Veni cepat, menatap ke arah Varsha dan Baskara yang sudah berdiri dari kursinya.
Sedari tadi Wijaya menyikut Veni adalah untuk menyuruhnya mengatakan permintaan maaf kepada Varsha. Veni merasa bersalah karena sudah bersikap tidak sepatutnya kepada calon menantunya, perempuan yang di pilih oleh Baskara untuk dijadikan istri. Veni juga sudah meminta maaf kepada Baskara dengan cara baik, dan dia menyetujui pernikahan Baskara dan Varsha.
Varsha balik menatap Veni, menarik bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. “Kau tidak perlu meminta maaf. Aku tidak masalah dengan semuanya, kau hanya menguji kelayakanku menjadi istri Baskara. Aku tahu kalau aku masih kurang dari kata layak, aku tidak bisa membuat kue kesukaan Baskara, dan aku lemah dari berbagai aspek”
Veni menggelengkan kepalanya. “Tidak masalah, semuanya bisa dikerjakan oleh pembantu. Uang Baskara banyak, dan kau bisa menyewa pembantu untuk mengurus rumah”
Varsha tersenyum, Veni masih mengingat ucapannya waktu itu. Padahal dia mengatakan itu dengan maksud ingin melawan Veni, memperlihatkan ketidaksopanannya kepada Veni. “Aku akan belajar nantinya”
“Kau ingin duduk dulu di sini?” tanya Baskara. Sepertinya ada yang perlu di perbincangkan lebih lanjut oleh Varsha dan Mamanya.
“Apa kau sudah selesai berbicara, Ma?” tanya Wijaya.
Veni menganggukkan kepalanya. “Kau pasti lelah, kau butuh istirahat. Kegiatanmu besok akan sangat padat. Aku hanya ingin meminta maaf perihal di kantor Baskara dengan Clara”
“Itu bukan salahmu, itu salah Baskara. Dia yang masih belum bisa menahan nafsu bejatnya” sambar Wijaya, menatap Baskara tidak suka. Kemudian, Wijaya beralih menatap Varsha. “Jika kau ingin membatalkan pernikahan ini, kau masih bisa melakukannya sebelum terikat dengan laki-laki brengsek seperti Baskara. Walaupun dia anakku, aku tidak setuju kau menikah dengan laki-laki yang suka menerobos gawang semua perempuan”
“Pa, kau jangan menghasut Varsha untuk membatalkan pernikahanku” Baskara tampak tidak terima. “Aku tahu aku salah, aku sudah meminta maaf”
“Kau yakin sudah meminta maaf dengan benar?” tanya Wijaya.
Baskara terdiam. Dia belum meminta maaf, tidak ada kata maaf yang dia lontarkan kepada Varsha.
Wijaya mencibir. “Aku tahu kau belum melakukannya dengan benar. Aku sudah angkat tangan dengan sikapmu, Bas. Ini juga salahku juga karena sudah membebaskanmu, sampai-sampai kau begitu bebas, dan liar sampai aku tidak bisa mengontrolmu lagi” Wijaya kembali menatap Varsha. “Kau yakin ingin menikah dengan laki-laki yang sudah menjamah banyak gua perempuan?” tanyanya, memastikan kembali.
Varsha tersenyum. Begitu banyak istilah yang Wijaya pakai untuk mendeskripsikan kenakalan Baskara, mulai dari gawang sampai gua. “Aku yang akan mengubah Baskara. Dia tidak akan sempat memikirkan perempuan lain, dia akan sibuk memikirkanku”
Baskara menarik matanya menatap Varsha, perempuan itu begitu yakin dengan ucapannya. Memangnya Varsha siapa bisa mengubah dirinya? Perempuan itu tidak berarti apa-apa bagi Baskara, Varsha hanya perempuan pada umumnya yang akan Baskara sentuh sekali saja.
“Aku cukup jago di ranjang, aku akan membuatnya tergila-gila padaku” gurau Varsha, mengedipkan sebelah matanya kepada Wijaya.
Wijaya tertawa. “Kau selalu bisa mengambil hatiku, Varsha. Aku sangat menyesal karena kau harus bersama dengan anakku yang sudah gagal aku didik”
“Kau mengatakan anakmu produk yang gagal?” tanya Veni, tidak terima jika Baskara dikatakan anak yang gagal. Dia mendidik Baskara dengan sepenuh hati.
“Kita tidak pernah memproduksi produk yang gagal, sayang. Kau jangan tersinggung, kau juga tahu kan jika Baskara sudah terpapar radiasi dari luar, makanya dia hanya memikirkan selangkangan saja”
Baskara mendengus, kedua orang tuanya sama saja, terutama Papanya, secara terang-terangan dia menjelek-jelekkan Baskara di depan Varsha. “Sudah puas Papa mencemarkan nama baikku?”
“Memangnya namamu masih baik?” tanya Wijaya balik.
Baskara hendak menjawab lagi, tapi Varsha menahannya. Varsha melingkarkan tangannya pada lengan Baskara. “Aku akan berusaha memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan oleh Baskara”
Baskara menunduk, menatap tangan Varsha yang melingkari tangannya. Baskara menarik bibirnya membentuk senyuman, tangannya dengan berani memeluk Varsha dari belakang, menarik pinggang perempuan itu agar tubuh mereka saling berdekatan. “Kau dengar itu, Pa? Calon istriku tidak masalah dengan segala keburukan yang aku punya”
Wijaya mengangkat alisnya sebelah, menggerakkan kepalanya miring sejenak. “Tuhan begitu baik padamu, Bas”
“Kau bawa Varsha ke atas, Bas. Dia pasti butuh istirahat” ucap Veni, menyelesaikan pembicaraan itu.
Baskara mengangguk, menghela tubuh Varsha untuk berjalan berdampingan dengannya. Saat mereka sudah berada di lift, Varsha mencoba melepaskan dirinya dari Baskara, tapi tangan Baskara tetap melingkari pinggangnya, tidak berniat melepaskan.
“Kau bisa melepaskanku, Bas! Sudah tidak ada orang tuamu”
Baskara menatap Varsha. “Aku memeluk pinggangmu bukan karena ada orang tuaku, tapi karena memang aku ingin. Lagi pula kau terlebih memancingku”
Varsha tampak tidak terima mendengar penuturan Baskara. “Kapan aku memancingmu?!”
“Kau yang terlebih dahulu memeluk tanganku tadi Varsha”
Varsha mendengus, Baskara terlalu percaya diri. “Aku melakukannya karena aku ingin beristirahat dan tidak mau mendengarkan perdebatan antara kau dan Papamu”
“Kau ingin segera ke kamar bersamaku rupanya” Baskara tersenyum menggoda, menaik-naikkan alisnya.
“Enyahlah kau bajingan!” Varsha menarik tubuhnya menjauh dari Baskara, menatap laki-laki itu kesal.
“Kau membuatku bergairah, Varsha”
Varsha mendengus kasar. “Kau pikir aku mau sekamar denganmu?!”
Baskara melangkah mendekat, sementara Varsha berjalan mundur sampai punggungnya menabrak dinding lift. Varsha semakin panik ketika tidak ada ruang lagi baginya untuk menjauh. Baskara tersenyum penuh kemenangan, menatap Varsha yang panik. Saat Varsha mencoba berpindah ke samping, segera Baskara menempelkan kedua tangannya ke dinding, mengurung tubuh Varsha.
Baskara menatap wajah Varsha. “Besok kau sudah menjadi istriku, Varsha. Kau tidak perlu jual mahal lagi. Kita bisa melakukannya malam ini juga. Aku ingin tahu seberapa jago dirimu di ranjang” Baskara tersenyum nakal, mempersempit jarak di antara mereka.
Varsha merutuki dirinya. Kenapa mulutnya sampai mengatakan hal itu? Tanpa sadar dia mengaku jago di atas ranjang, padahal aslinya dia tidak memiliki pengalaman. Dia hanya memikirkan cara itu untuk menjawab ucapan Wijaya.
“Bas, kita sedang di lift” cicit Varsha, menahan dada Baskara dengan tangannya.
“Kau ingin kita melakukannya di kamar?” tanya Baskara, menatap Varsha dengan sorot mata menggelap, dia bergairah, tentu saja.
Varsha memejamkan matanya sejenak, kemudian menatap mata Baskara. “Aku belum ingin bercinta denganmu”
“Jadi, kau menolakku?”
Varsha memutar otaknya, memikirkan alasan, dia belum siap jika Baskara berniat bercinta dengannya. Varsha meneguk ludahnya susah payah. Ayo, Varsha, berpikir.
Baskara terkekeh geli melihat wajah gelisah Varsha, membuat Varsha menarik matanya untuk menatap Baskara dengan wajah bingung. “Kita akan tetap sekamar karena aku hanya memesan dua kamar, satu untuk orang tuaku, dan satu untuk kita”
Varsha hendak membuka mulutnya untuk membantah, tapi ucapan Baskara selanjutnya membuatnya mengurungkan niat.
“Atau kau mau sekamar dengan Mamaku?”
Varsha terdiam. Lebih baik sekamar dengan Baskara dari pada dengan Veni. Hubungannya dengan Veni tidak sedekat itu, walaupun Veni sudah meminta maaf tetap saja akan terasa canggung. “Aku akan sekamar denganmu”
Baskara tersenyum licik. “Bagus. Jika kau sekamar dengan Mamaku, maka orang tuaku akan curiga. Kita sepasang kekasih, dan pasangan kekasih mana yang tidur pisah kamar? Lagi pula, besok kau sudah menjadi istriku”
Memikirkan hari besok membuat Varsha mendadak pusing. Besok dia akan menikah dengan Baskara. Astaga, Varsha ingin muntah saat ini juga, perutnya terasa di aduk-aduk.
“Aku ingin menciummu, Varsha”
Baskara langsung meraup bibir Varsha yang sedari tadi menjadi fokusnya. Baskara tidak tahan melihat bibir berkilap basah itu bergerak-gerak. Baskara memberikan lumatan-lumatan lembut, mencicipi rasa dari bibir Varsha yang sudah menjadi bibir favoritnya. Meskipun sudah pernah mencium Varsha, dia kembali ingin mencium perempuan itu setiap kali mereka berdekatan, terutama saat napas panas Varsha menerpa wajahnya.
Baskara menggigit kecil bibir Varsha karena perempuan itu tak kunjung membuka mulut. Baskara ingin menciumnya lebih dalam. Tanpa menyiakan kesempatan, lidah Baskara menerobos masuk, membelit lidah Varsha. Ah, Varsha membuatnya gila. Hanya dengan sebuah ciuman, Baskara sudah begitu sangat menginginkan Varsha. Jika tidak mengingat posisi mereka yang masih berada di dalam lift, Baskara sudah menelanjangi Varsha saat ini juga.
Varsha mencoba mendorong dada Baskara agar tautan bibir mereka terlepas saat dering ponselnya mengembalikan kesadarannya. Varsha sempat terhanyut dalam ciuman Baskara, dan lupa jika mereka masih berada di lift. Varsha menggigit bibir Baskara, dan cara itu berhasil, Baskara melepaskan ciumannya.
“Kau sengaja menggigit bibirku?!” Baskara meringis, tangannya mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
“Kau yang menciumku begitu saja!”
“Aku sudah meminta izin padamu!”
Varsha berpikir sejenak. Kapan laki-laki itu meminta izin padanya? Aku ingin menciummu, Varsha. Varsha mendengus mengingat kata-kata Baskara sebelum menciumnya. “Aku belum mengizinkan dan kau sudah langsung menciumku”
Baskara berdecih. “Kau juga menikmati ciumannya, kau memejamkan mata selama kita berciuman”
Varsha membuang muka, pipinya memerah menahan malu. Sial, matanya tidak bisa bekerja sama. Varsha mengaku jika dia menikmati ciuman Baskara, dia selalu menunggu tiap kali bibir Baskara mendekatinya. “Aku refleks menutup mata karena wajahmu terlalu dekat”
Baskara tersenyum mengejek. “Alasanmu saja”
Varsha tidak lagi menjawab, dia beralih merogoh saku celananya. Ponselnya kembali berdering setelah panggilan sebelumnya belum sempat di angkat. Varsha langsung menekan tombol hijau saat nama Lina tertera di layar ponselnya.
“Halo, Varsha. Kau ke mana saja? Aku sudah di depan hotel”
“Aku akan ke bawah, tunggu aku”
Varsha memutuskan sambungan telepon. Sebelumnya dia mengabari Lina, meminta bantuan kepada sahabatnya itu untuk membawakan barangnya yang tidak sempat dia bawa karena Baskara menculiknya.
“Siapa?” tanya Baskara penasaran.
Varsha menoleh. “Lina. Kau kembali di kamar terlebih dahulu, aku ingin bertemu Lina di bawah”
“Kau tidak berniat kabur bukan?”
Varsha mendengus saat melihat tatapan penuh curiga dari Baskara. “Jika aku ingin kabur, aku akan melakukannya sebelum kau membawaku ke sini”
Apa tampang Varsha tampak seperti orang yang sering lari dari tanggung jawab? Tidak rentenir, tidak Baskara, mereka sama-sama menuduh Varsha ingin kabur.
Baskara menganggukkan kepalanya. “Oke. Aku akan berusaha mempercayaimu”
Varsha mendengus kasar. Baskara tidak perlu mengatakan percaya dengannya jika laki-laki itu masih menatapnya curiga, dia tahu Baskara tidak percaya sepenuhnya.
Varsha menekan tombol lift untuk menuju ke lantai dasar. Sedari mereka masuk ke dalam lift, belum ada satu pun nomor lantai yang di tekan oleh Baskara, pantas saja lift tidak berhenti di lantai di mana kamar mereka berada. Pantas saja Baskara merasa begitu tenang menciumnya, padahal Varsha merasa khawatir dengan pintu lift yang terbuka. Untung juga tidak ada orang lain yang masuk saat mereka berciuman.
Pintu lift terbuka saat sudah berada di lantai dasar, Varsha melangkahkan kakinya untuk keluar lift, tapi suara dari Baskara menghentikan langkahnya. Varsha membalikkan badannya menatap Baskara yang berada di dalam lift.
“Aku ingin meminta maaf padamu, Varsha”
Varsha menatap Baskara dengan alis yang bertaut. Minta maaf untuk apa? Apa karena sudah menciumnya tadi?
Baskara menatap Varsha dengan wajah serius. “Aku ingin meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat dengan Clara, padahal kita sedang merencanakan pernikahan. Aku ingat jika aku belum meminta maaf padamu”
Varsha menganggukkan kepalanya. “Tidak masalah. Bukan urusanku juga”
Baskara ikut mengangguk, setidaknya dia sudah meminta maaf. Baskara sudah mengatakan kata maaf kepada Varsha, terserah pada perempuan itu mau dia menerima permintaan maafnya atau tidak. Walaupun Baskara merasa kecewa ketika Varsha mengatakan kata tidak masalah, dia lebih suka jika Varsha merasa itu adalah masalah yang besar. Lagi pula, apa yang Baskara harapkan? Bukankah ini lebih baik?
Varsha tersenyum ketika pintu lift tertutup, dia merasakan perasaan lega sekaligus senang. Pertama kali dia mendengar kata maaf dari laki-laki yang angkuh dan egois itu. Ternyata begini rasanya mendengar kata maaf yang keluar dari mulut Baskara. Biasanya hanya perkataan kotor dan vulgar yang dia dengar dari mulut laki-laki itu.
Varsha menarik kakinya untuk keluar dari lobi hotel, menghampiri Lina yang katanya sedang menunggu di depan hotel. Mata Varsha melihat keberadaan Lina yang sedang duduk di kursi tunggu. Varsha semakin mempercepat langkah kakinya.
“Kau sudah menunggu lama?” tanya Varsha, berdiri di dekat Lina duduk.
Lina bangkit dari duduknya, menyodorkan tas berukuran kecil kepada Varsha. “Aku sudah memasukkan beberapa baju milikmu yang sekiranya kau butuhkan”
Varsha mengangguk sambil tersenyum, mengambil alih tas dari tangan Lina. Dia memang meminta Lina untuk membawakan baju ganti, dan juga pakaian dalam untuknya. Dia membutuhkan itu, walaupun gaun pernikahan sudah disiapkan oleh Baskara, tetap saja dia harus memakai dalaman. Tidak mungkin Baskara menyiapkan dalaman untuknya juga.
“Kau membawanya juga?” tanya Varsha.
Lina mengangguk, memberikan kantong plastik yang berada di tangannya kepada Varsha. “Aku tadi mampir ke apotek, hanya ada obat yang biasa aku minum. Aku sudah bertanya, obatnya bisa kau minum sebelum berhubungan atau satu jam setelah berhubungan”
Varsha mengambil kantong itu, melihat isi kantong yang terdapat botol obat berisi pil KB, permintaannya. “Kau yakin ini ampuh? Aku takut hamil. Baskara sama sekali tidak mau menggunakan pengaman”
Varsha khawatir dirinya hamil. Dia sudah berusaha membujuk Baskara mengenakan pengaman dengan menakut-nakuti dirinya bisa menyebarkan penyakit seksual pada laki-laki itu, tapi Baskara tetap kekeh dengan isi kontrak yang dia tulis. Untuk itu Varsha meminta Lina membelikannya pil KB, dia tidak akan sempat membelinya sendiri. Setelah acara pernikahan mereka di gelar, Baskara pasti akan menerkamnya. Sekarang saja, laki-laki itu selalu menatapnya seperti mangsa yang siap di terkam.
Lina menganggukkan kepalanya. “Aman. Aku sering meminumnya, dan aku tidak hamil. Kekasihku juga tidak ingin memakai pengaman”
Wajar jika kekasih Lina tidak ingin memakai pengaman, karena mereka sepasang kekasih, melakukannya karena saling menginginkan. Tapi, Varsha, kondisinya berbeda, dia menikah dengan Baskara karena kontrak, dan Varsha tidak menginginkannya. Apa Varsha yakin dia tidak menginginkan Baskara? Varsha menikmati ciuman laki-laki itu. Mungkin itu hanya efek karena Varsha tidak pernah menerima sentuhan dari laki-laki.
Varsha menatap ke arah Lina, dia begitu bersyukur karena Lina selalu membantunya dalam keadaan seperti ini. “Maafkan aku karena sudah merepotkanmu”
Lina tersenyum. “Kau tidak pernah merepotkanku, Varsha. Kau bisa menghubungiku saat butuh bantuan, aku sahabatmu”
“Aku tidak bisa mengundangmu menyaksikan pernikahanku, Lina. Pernikahanku hanya di hadiri oleh kerabat terdekat dan beberapa kolega dari orang tua Baskara”
“Tidak apa-apa. Lagi pula ini hanya pernikahan pura-puramu dengan pelangganmu, Varsha. Aku bisa datang di pernikahanmu yang sungguhan” Lina tersenyum, mengedipkan sebelah matanya kepada Varsha.
Varsha ikut tersenyum. Jujur saja, mendengar kata pernikahan pura-pura sedikit melukai hati Varsha. Dia sedikit kecewa mengetahui kenyataan jika pernikahan yang akan dia lakukan besok hanya sandiwara. Bukan pernikahan sungguhan yang dilakukan atas dasar cinta, mereka menikah karena kontrak kerja sama antara pembayar dengan orang yang di bayar. Varsha hanya akan menjadi istri bayaran Baskara.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYAR DI MUKA (TAMAT)
Roman d'amour(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK!) WARNING!! (21+) Hutang sebesar 200 juta yang di tinggalkan oleh ayah Varsha, membuat Varsha harus membanting tulang untuk mencari uang. Segala pekerjaan dia lakukan, tapi hanya cu...