BAB 15

6.8K 190 3
                                    

“Kapan kalian akan menikah?” tanya Wijaya, membuka pembicaraan setelah mereka selesai makan malam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


“Kapan kalian akan menikah?” tanya Wijaya, membuka pembicaraan setelah mereka selesai makan malam. Semua makanan yang tersaji di atas meja sudah dipindahkan oleh pelayan, menyisakan gelas berisi wine di depan semua orang.

“Secepatnya”

“Mama belum setuju kau menikah dengan Varsha, Bas! Kau tidak bisa memutuskan semuanya tanpa membicarakannya dengan Mama dan Papa” bantah Veni.

Baskara menatap Veni. “Aku akan tetap menikahi Varsha walaupun Mama tidak setuju. Aku sudah bilang kalau aku tidak mau menikah dengan Clara, aku ingin menikah dengan perempuan pilihanku”

Clara, perempuan yang dibicarakan itu sudah pulang terlebih dahulu karena mereka akan membahas masalah keluarga. Jadi, Clara di suruh pulang oleh Wijaya, perempuan itu tidak seharusnya berada di tengah-tengah pembicaraan pernikahan Baskara dengan perempuan lain.

“Kau keras kepala, Bas! Itu hasil didikan kau, Wijaya!” Veni balik menyalahkan Wijaya.

Wijaya menatap Veni tidak terima. “Kenapa aku yang disalahkan?!”

“Jika bukan sifatmu, sifat siapa lagi yang dia tiru?! Dia anakmu!”

“Kau Mamanya, jangan lupakan itu! Kau ikut menyumbang saat proses membuatnya, bahkan dia tumbuh di perutmu, sudah pasti sifatmu juga mengalir di darahnya!”

Veni menatap Wijaya dengan sorot tajam. “Jadi, kau menyalahkanku?!” tanya Veni, tidak terima.

Wijaya menghela napas pasrah. “Iya, semua salahku, yang jelek berasal dariku” Kemudian, Wijaya menatap Varsha yang terdiam sedari tadi. “Kau tidak perlu merasa canggung bergabung dengan keluarga kami, Varsha. Semua orang di rumah ini tidak ada yang benar. Wajar Baskara menyukaimu karena umpatanmu, aku juga menyukai istriku karena kegalakannya”

“Apa katamu?!!” Veni menatap Wijaya melotot, matanya hampir keluar dari rongga matanya.

Wijaya tertawa. “Kau lihat itu, Varsha. Dia gampang sekali tersinggung, tidak mau disalahkan. Jadi, kau tidak perlu merasa takut dengannya. Istriku memang merasa selalu benar”

“Kau ingin tidur di luar Wijaya?!” ancaman maut itu keluar dari mulut Veni. Wijaya menanggapinya dengan tertawa.

Varsha hanya mengangkat kepalanya, tersenyum tipis menanggapi ucapan Wijaya. Dia sudah tidak bersemangat lagi, harga dirinya merasa di injak sampai terbenam, dan Varsha tidak tahu cara mengembalikan harga dirinya.

Baskara melingkarkan tangannya di pinggang Varsha. “Aku akan menikahi Varsha dalam waktu dekat, mau Mama tidak setuju, aku akan tetap melakukannya”

Varsha melepaskan tangan Baskara yang berada di pinggangnya. Baskara menatap Varsha bingung, kemudian dia kembali menormalkan ekspresinya, menatap kedua orang tuanya.

“Biarkan Baskara menikah dengan pilihannya, kau mau melihat dia menikah bukan? Tujuan awalmu itu bukan?” tanya Wijaya kepada Veni.

Veni menatap ke arah Varsha. “Apa kau mencintainya, Bas?”

Baskara mengangguk, kembali melingkarkan tangannya di pinggang Varsha. “Aku mencintainya”

Varsha berdecih, Baskara terlalu mudah mengatakan kata cinta. Sejak kapan mereka saling mencintai? Mereka menikah hanya karena saling menguntungkan saja. Baskara membayar Varsha, dan Varsha membebaskan Baskara dari tuntutan Mamanya untuk menikah dengan Clara. Tidak ada cinta, tidak akan pernah ada cinta.

Veni mengangguk. “Oke. Aku akan menyetujuinya. Tidak penting bagiku kau menikah dengan siapa, yang terpenting kau menikah dan tidak memilih hidup melajang"

Baskara tersenyum.

“Tapi, aku ingin mengenal calon menantuku terlebih dahulu”

Varsha mengangkat kepalanya, menatap Veni yang kini juga menatap ke arahnya. Veni ingin mengenalnya? Untuk apa? Apa Veni ingin menyelidiki diri Varsha yang sebenarnya?

“Kau siap membuktikan cintamu kepada anakku, Varsha? Aku hanya ingin memastikan kau menikah dengannya karena kau juga mencintainya, bukan karena hartanya”

Varsha tersenyum. “Aku tidak pernah melihat harta Baskara”

Dalam hati dia mendengus kasar. Meskipun Baskara memiliki harta yang tidak akan habis tujuh keturunan, Varsha tidak akan mau menikah dengan laki-laki itu. Baskara jelas bukan laki-laki yang bisa menghargai seorang perempuan. Jujur saja, Varsha tersinggung dengan ucapan Baskara yang terdengar menghinanya.

“Kakimu akan sakit jika berjalan secepat itu, Varsha”

Varsha membalikkan badan, menatap Baskara tajam. Mereka sudah keluar dari rumah Baskara, menuju ke mobil. Varsha memilih berjalan mendahului karena masih kesal dengan Baskara. “Apa pedulimu?!” ketusnya.

Varsha kembali melangkahkan kakinya dengan cepat, meskipun sesekali dia tergelincir akibat jalan yang tidak seimbang karena masih menggunakan high heels. Peduli apa dia jika kaki sakit, sungut Varsha dalam hati.

“Kau bisa jatuh..”

Baru saja Baskara mengucapkannya, Varsha sudah jatuh terlebih dahulu. Varsha meringis memegangi pergelangan kakinya, sepertinya dia keseleo. Dengan kesal Varsha melepaskan high heels di kakinya. “Sepatu sialan!” umpatnya, melemparkan high heels itu dengan kesal.

Baskara geleng-geleng kepala melihat tingkah Varsha. Dia berjalan santai menghampiri Varsha yang masih terduduk di lantai. “Bukan sepatunya yang salah. Tapi, kau. Kau yang berjalan cepat padahal tahu kau tidak terbiasa menggunakannya” Baskara berjongkok di depan Varsha, tangannya bergerak memegangi kaki kanan Varsha. “Kau keseleo”

“Aku tahu” jawab Varsha ketus.

Baskara terkekeh. “Kau marah padaku, Varsha?”

Varsha menatap Baskara kesal, laki-laki itu menertawainya? “Untuk apa aku marah padamu? Aku hanya perempuan yang membuatmu bergairah ketika aku mengumpat, dan aku yang menemanimu di ranjang”

“Kau marah karena kata-kataku yang itu?” tanya Baskara. Jadi karena itu Varsha melepaskan tangannya tadi, dan perempuan itu berjalan mendahuluinya.

Varsha mengalihkan pandangannya ke arah lain. “Kau pikir sendiri? Aku tidak masalah kau mengatakan itu padaku, tapi kau mengatakannya pada ayahmu. Kau mempermalukanku di depan kedua orang tuamu, termasuk calon istrimu”

Baskara mengernyit dahinya. “Kau calon istriku, Varsha” Baskara mengurut kaki Varsha yang keseleo.

“Sakit, bangsat!” umpat Varsha, wajahnya meringis ketika Baskara menggerak-gerakkan kakinya.

Baskara tersenyum. “Apa aku boleh mengatakan jika kau membuatku bergairah?”

Varsha melotot. Apa laki-laki itu tidak mengerti maksudnya?

Baskara terkekeh, meletakkan tangannya di belakang leher Varsha, dan tangan satunya lagi di bawah lutut Varsha. Perlahan, Baskara mengangkat tubuh Varsha. “Kau membuatku bergairah, Varsha” bisiknya.

Varsha melotot, tangannya memukul-mukul dada Baskara. “Lepaskan aku!” Varsha menggerak-gerakkan badannya, berusaha melepaskan diri, tapi pergerakan itu membuat kakinya yang keseleo terasa sakit.

“Diam. Aku menggendongmu karena kau tidak akan bisa berjalan sendiri dengan kaki yang sudah kau lukai”

Varsha menyerah, benar kata Baskara, dia tidak akan bisa berjalan dengan kondisi kakinya yang keseleo. Varsha memilih melingkarkan tangannya di leher Baskara, matanya menatap wajah Baskara, hidung laki-laki itu mancung, dan bibirnya mengkilap. Apa Baskara habis mengolesi minyak di bibirnya?

Baskara mendudukkan Varsha di kursi sebelah kemudi, mengucapkan terima kasih kepada Pak Jun, sopir pribadi Veni yang membukakan pintu mobil. Pak Jun baru saja memarkirkan mobil Baskara di depan teras melihat jika Baskara menggendong Varsha, dengan sigap dia membantu membukakan pintu mobil.
“Terima kasih, Pak Jun”

Pak Jun menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum, “Iya, Den” Kemudian, Pak Jun melangkah menjauhi mobil Baskara. Tugasnya sudah selesai hari ini, jadi dia bisa beristirahat.

Baskara membantu memakaikan seatbelt untuk Varsha. Posisi itu membuat Varsha dapat melihat wajah Baskara dengan sangat dekat. Varsha menahan bernapas, takut deru napasnya menyentuh wajah Baskara. Berbeda dengan napasnya yang di tahan, detak jantung Varsha tidak berdetak lebih cepat dari biasanya. Apa karena dia menahan napas makanya jantungnya bekerja lebih ekstra?

“Kau bisa mati jika terus menahan napas” ucap Baskara, menatap wajah Varsha yang memerah, hampir kehabisan napas.

Varsha mengembuskan napasnya, kembali menarik napas dengan normal. Deru napas kasar itu menerpa wajah Baskara, membuat bulu kuduknya meremang. Baskara menatap Varsha lekat, tangannya bergerak menyelipkan helai rambut Varsha ke belakang telinga.

“Kau mau apa?” tanya Varsha, menatap Baskara waspada, tatapan laki-laki itu terlihat mencurigakan.

Baskara berdeham singkat. “Aku hanya membenarkan rambutmu yang berantakan”

Tidak sepenuhnya benar. Baskara memang merapikan rambut Varsha, tapi matanya berfokus ke bibir Varsha, dia ingin menciumnya, tapi Baskara menahan diri. Dia tidak mau takluk hanya karena sebuah bibir, dia bukan laki-laki yang menggilai bibir perempuan.

“Kau masih belum mau beranjak dari posisi ini? Wajahmu begitu dekat” Varsha mencoba menjauhkan wajahnya dengan menempelkan kepalanya ke sandaran kursi, wajah Baskara masih berada di dekatnya. Laki-laki itu terdiam dengan posisi itu.

Baskara menggeram ketika napas panas Varsha menerpa wajahnya lagi. “Aku tidak peduli” gumamnya.

Baskara mendekatkan wajahnya kepada Varsha, menjatuhkan bibirnya tepat di atas bibir Varsha yang begitu menggoda. Baskara tidak bisa membantah lagi, dia memang tergila dengan bibir Varsha, atau bukan hanya bibir, melainkan Varsha yang sudah membuat Baskara gila.

Varsha mencoba melepaskan pagutan bibir mereka, tapi Baskara menahan dagunya, menekan bibirnya, semakin memperdalam ciumannya. Baskara memejamkan matanya, melumat bibir Varsha dengan gerakan lembut. Dia seperti singa kelaparan, melahap bibir Varsha dengan penuh nafsu.

“Jangan menolak. Kau bisa melukai bibirmu” Baskara menatap Varsha, perempuan itu terus memberontak, berusaha menjauhkan kepalanya.

“Kau gila?!” teriak Varsha, menatap Baskara nyalang. “Kau menciumku seenakmu saja!"

“Apa salah aku menciummu?” tanya Baskara. “Bahkan nanti aku bukan hanya mencium, aku akan menyentuh seluruh tubuhmu. Apa menciummu di larang?”

Varsha menelan ludahnya, dia kembali melupakan fakta jika Baskara memiliki dirinya seutuhnya. “Kau menciumku tanpa meminta izin terlebih dahulu. Aku terkejut”

Baskara terkekeh. “Rasanya akan berbeda jika aku meminta izin dulu. Akan memakan waktu juga”

Baskara kembali melakukannya, laki-laki itu kembali menguasai bibir Varsha, melumatnya lebih ganas dari sebelumnya. Varsha hanya bisa diam, membiarkan Baskara. Merasa ciumannya tidak di balas, Baskara menekan bibirnya kuat. Varsha mulai terhanyut dalam ciuman yang Baskara buat, dia mengalungkan tangannya di leher Baskara, membalas ciuman itu dengan gerakan asal.

Baskara mengernyitkan dahinya di tengah pertempuran kedua bibir itu. Ciuman Varsha terasa seperti orang amatir. Apa Varsha jarang berciuman? Perempuan itu tampak tidak memiliki keahlian, dia hanya menggerakkan bibirnya dengan gerakan asal, tanpa teknik.

******

BAYAR DI MUKA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang