“Aku minta di bayar di muka” ucap Varsha, menatap Baskara. Tidak ada ekspresi terkejut sama sekali di wajah Baskara, laki-laki itu tampak santai. Varsha mengalihkan pandangannya dari Baskara ketika tatapan mereka bertemu.
Bersamaan dengan itu, pelayan kafe datang membawakan kopi pesanan Baskara. “Terima kasih” ucap Baskara kepada pelayan.Baskara langsung meneguk kopinya. Saat kopi itu mengalir di perutnya, lambungnya terasa perih. Wajar saja, dia belum makan sama sekali, dan malah meminum kopi pahit.
Varsha memperhatikan mimik wajah Baskara yang tampak biasa saja meminum kopi sepahit itu. “Lambungmu baik-baik saja di isi kopi saat kosong?” tanyanya penasaran.
Baskara menaruh gelasnya di meja, menganggukkan kepala. “Aku sudah biasa meminumnya. Semuanya hanya perlu terbiasa, jika sudah terbiasa, kau akan merasa biasa saja. Kau hanya seperti melakukan rutinitas sehari-hari, seperti aku yang harus minum kopi setiap hari”
Baskara tidak perlu menjelaskan sedetail itu kepada Varsha yang notabene-nya orang yang baru dia kenal. “Kau mendengar yang aku ucapkan tadi?” Tanya Varsha.
Baskara tampak berpikir sejenak. “Masalah kopi dan lambung?” tanyanya, mengangkat alis sebelah.
Varsha mendengus kesal. Baru beberapa menit yang lalu dia mengatakannya dan Baskara tidak ingat. Apa laki-laki itu tidak fokus dengan pembicaraan di antara mereka?
Baskara tersenyum kecil melihat wajah kesal Varsha. “Aku mendengarnya. Kau ingin aku membayarmu di muka. Lina juga sudah menjelaskannya padaku”
Varsha mengangguk. “Bagus. Aku tidak perlu menjelaskan ulang”
“Iya, sudah cukup jelas. Lina juga memberikan data dirimu padaku”
Setelah pertemuan dengan Lina terakhir kali, Lina mengirimkan data diri singkat tentang Varsha kepadanya. Hanya data umum yang tidak terlalu rahasia, seperti tanggal lahir, nama lengkap, tinggi dan berat badan yang menurut Baskara dia tidak perlu tahu itu.
“Kapan kau bisa membayarku?” tanya Varsha. Sedikit mendesak memang, tapi tenggat waktu membayar hutangnya tinggal seminggu lagi. Varsha butuh uangnya cepat.
“Aku bisa saja membayarmu sekarang juga, tapi” Baskara menggantung ucapannya, menatap Varsha menyelidik. Matanya sangat ingin menembus ke balik baju yang dikenakan oleh Varsha, penasaran dengan isi di dalamnya.
Varsha yang mengerti tatapan Baskara, menutupi bagian dadanya dengan tangan. “Kau jangan kurang ajar padaku! Aku tahu isi otak kotormu itu!”
Baskara terkekeh. “Aku tidak bermaksud kurang ajar. Aku hanya sedikit penasaran”
Varsha menatap Baskara melotot, kakinya siap menendang jika saja Baskara berniat macam-macam dengannya.
Baskara tertawa. “Baiklah, aku hanya bercanda. Kali ini aku akan berusaha serius” Baskara menatap Varsha serius. “Aku tidak bisa membayarmu semudah itu sebelum ada tanda tangan kontrak di antara kita”
“Aku akan menandatanganinya jika kau ingin ada kontrak sebelum membayar”
“Sayangnya, aku belum membuat kontraknya. Aku harus melihat dulu seperti apa perempuan yang akan aku jadikan istri”
“Istri bayaran” koreksi Varsha. Tidak suka dengan kata istri saja, dia bukan perempuan yang akan menjadi istri sungguhan Baskara.
Baskara mengangguk. “Iya, seperti itu yang kalian katakan. Aku akan menghubungimu jika kontraknya sudah aku siapkan”
“Kira-kira kapan kau bisa menyiapkan kontraknya? Aku butuh uang secepatnya”
Baskara mengernyit. “Untuk apa kau butuh uang cepat dengan nominal sebanyak itu? Apa kau berhutang?” tebakan yang benar.
Varsha menatap Baskara tidak suka. “Bukan urusanmu. Mau buat apa uang bayaranku, bukan urusanmu nantinya”
Baskara mangut-mangut. “Iya, bukan urusanku. Apa kau punya syarat yang kau inginkan dariku?” Varsha mengernyit bingung. “Di dalam kontraknya tentu ada beberapa syarat yang harus di cantumkan, aku akan mencantumkan syarat yang aku inginkan. Dan kau” Baskara menatap Varsha. “Jika kau memiliki syarat tertentu, kau bisa mengatakannya padaku biar aku cantumkan di dalam kontrak kita”
Varsha menggelengkan kepalanya. “Aku tidak punya syarat, kau cantumkan saja syarat yang kau inginkan, aku akan menandatanganinya”
“Baiklah, kalau memang begitu”
“Jadi, kapan kontraknya harus aku tanda tangan?” tanya Varsha lagi. Baskara belum menjawab pertanyaannya sebelumnya.
Baskara tampak berpikir. “Paling lambat dua minggu lagi”
“Apa tidak bisa minggu depan saja? Atau lebih cepat. Tiga hari lagi?”
Baskara menggeleng. “Aku memiliki urusan lain, ada pekerjaan yang harus aku urus”
“Minggu depan saja, ya? Aku benar-benar tidak punya waktu” Varsha sedikit memohon. Jika dua minggu lagi, rentenir itu pasti akan menemuinya dan menuntut untuk segera di bayar hutang. Bisa-bisa Varsha akan diseret untuk dijadikan pelacur jika tak kunjung membayar juga.
“Baiklah, minggu depan kita bertemu di sini lagi, di jam yang sama”
*********
Baskara menatap layar komputernya, mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda sebelumnya. Baskara hanya bisa berfokus selama beberapa menit, kemudian fokusnya teralihkan ketika bayangan wajah Varsha melintas begitu saja di benaknya. Pertemuan mereka beberapa hari yang lalu membuat Baskara tidak bisa melupakan wajah Varsha, sesekali tanpa di suruh Baskara terbayang wajahnya. Bahkan tidak jarang Baskara di buat bergairah ketika wajah itu melintas tanpa di minta.
Ada apa sebenarnya dengan Baskara? Kenapa dia seperti laki-laki yang menginginkan Varsha? Ingat, dia hanya akan dijadikan istri bayaran dan Baskara tidak akan menyentuhnya. Mungkin Baskara bisa berpikiran seperti itu, tapi tidak dengan tubuhnya. Baskara melonggarkan dasi yang melingkar di lehernya, lehernya terasa di cekik ketika rasa panas menyeruak. Tubuh Baskara mendadak panas membayangkan jika saja Varsha menjerit di bawahnya.
Tidak ada yang istimewa dari Varsha, tubuhnya tidak sebagus itu, masih banyak perempuan lain yang memiliki tubuh lebih seksi. Tidak ada yang akan membuat Baskara tertarik dengannya. Tidak. Baskara tidak tertarik, lebih tepatnya dia hanya penasaran. Rasa penasaran ini akan hilang secara perlahan, dan Baskara tidak perlu ambil pusing.
Baskara mengalihkan pandangannya ke arah pintu ruangannya yang di ketuk, dan pintu terbuka. Dinda masuk ke dalam ruangan Baskara dengan membawa segelas kopi. Hari ini, Baskara belum meminum kopi. Ah, iya pasti ini penyebab dirinya gagal fokus. Dia sedang butuh kafein, dengan begitu fokusnya tidak akan terpecahkan oleh hal lain lagi.
“Kau sangat tahu kalau aku sedang butuh kopi” ucap Baskara, mengangkat gelas kopi yang di buatkan oleh Dinda. Baskara langsung meminumnya, merasa sedikit lebih lega ketika minuman berkafein tinggi itu masuk ke dalam tenggorokannya dan mengalir di perut. Otaknya langsung merasa segar, siap bekerja.
Dinda tersenyum, perlahan langkah kakinya mendekati kursi Baskara. Dengan berani, Dinda meraih dasi Baskara yang berantakan, membantu merapikannya. “Kau harus selalu rapi ketika berada di kantor. Bagaimana kalau ada karyawan lain yang melihatmu berantakan seperti ini? Cukup aku saja yang melihat wajah berantakanmu yang menggoda itu”
Setelah merapikan dasi Baskara, Dinda masih belum menjauhkan diri, tangannya malah turun ke bawah, bergerak pelan menuju dada Baskara, menggoda atasannya itu. “Kau ingin aku menemanimu malam nanti?” tanyanya dengan nada sensual.
Baskara menatap tangan Dinda yang bergerak nakal di dadanya. Dinda semakin berani semenjak mereka menghabiskan malam bersama waktu itu. Bukan hanya dari segi pakaian, melainkan juga dari tingkahnya. Baskara menahan tangan Dinda yang bergerak menuju selangkangannya. “Aku tidak suka kau menyentuhku terlebih dahulu”
Dinda tersenyum nakal. “Di bawah sana sudah tegang. Aku tahu kau menginginkanku lagi, Pak”
Baskara berdecih, menggelengkan kepalanya. “Tidak. Aku tidak terangsang karenamu. Ada hal lain yang aku pikirkan”
Lebih tepatnya Varsha, perempuan itu yang membuat gairah Baskara naik tanpa sebab. Baskara sepertinya sudah gila, mana mungkin perempuan yang baru bertemu dengannya pertama kali itu berhasil membuatnya terangsang, hanya dengan membayangkan wajahnya saja.
Suara deheman keras terdengar. Dinda menjauhkan badannya dari Baskara ketika menyadari ada Wijaya, laki-laki itu baru masuk ke ruangan kerja Baskara, menemukan anak dan sekretarisnya yang begitu dekat. Sepertinya ada hubungan antara keduanya.
“Saya permisi terlebih dahulu, Pak” pamit Dinda, membungkukkan badannya kepada Baskara. Kemudian, Dinda melangkah keluar ruangan. Saat berpapasan dengan Wijaya, dia juga menyapanya, membungkukkan badan sejenak.
Wijaya memilih duduk di sofa, menatap ke arah Baskara. Wijaya menggerakkan dagunya, menyuruh Baskara untuk duduk bersamanya di sofa. “Aku terlalu lepas tangan sampai kau hidup terlalu bebas, Bas”
Baskara duduk di sofa yang berseberangan dengan Wijaya. “Kenapa Papa ke sini? Apa karena suruhan Mama?”
Memang, Wijaya ke sini karena suruhan istrinya yang mengomelinya sepanjang waktu, menyuruhnya untuk mengunjungi Baskara, dan membujuk anaknya itu untuk segera menikah. Tentu bukan itu yang akan Wijaya sampaikan, dia tidak akan mendesak Baskara, dia akan memberikan anak itu kebebasan. Saat melihat yang terjadi barusan, Wijaya bisa menyimpulkan anaknya sudah ke lewat bebas.
“Bukan hanya bermain dengan perempuan malam, kau juga tidur dengan sekretarismu? Atasan macam apa kau ini?” hardik Wijaya.
Baskara menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, menatap lelah ke arah Wijaya. “Dia yang menyerahkan dirinya padaku”
“Lalu, kau menidurinya karena dia menyerahkan dirinya?! Kau pikir perusahaan yang aku bangun ini bisa kau jadikan tempat untuk bermaksiat”
“Aku tidak pernah bermaksiat di sini” Baskara tidak terima di katakan berbuat maksiat di kantor. Dia tidak pernah mengundang perempuan untuk memuaskannya ke kantor, dia selalu melakukannya di hotel.
“Lalu, apa yang berdiri di balik celanamu itu?! Apa itu ular?!” sindir Wijaya, melirik celana Baskara yang membengkak. “Jika aku tidak datang, mungkin kau sudah menelanjangi sekretarismu, dan melemparkannya ke meja”
Baskara mendengus. “Pikiranmu terlalu jauh, Pa. Aku tidak akan melakukan itu di sini”
“Aku setuju dengan ide Mamamu yang menyuruhmu untuk segera menikah. Awalnya aku masih membelamu di depannya, sekarang aku berubah pikiran. Jika tetap di biarkan, kau akan semakin liar dan tidak terkendali. Menikah, dan jalani kehidupan normal bersama istrimu. Dia bisa kau gempur sesuka hatimu”
Baskara menatap Wijaya tidak suka. Lama-lama Wijaya mirip dengan Veni, selalu memaksa Baskara untuk menikah. “Kau tahu aku tidak suka menyentuh perempuan lebih dari sekali”
“Keburukan yang satu itu sepertinya bukan turunan dariku, bahkan aku lebih baik darimu di masa lalu. Aku memang bergonta-ganti pasangan, tapi aku menjadikan mereka kekasihku, bukan pelacur yang sekali aku pakai”
Baskara mendengus, memang Wijaya pernah menceritakan tentang masa lalunya. Bukan menceritakan, lebih tepatnya Baskara tahu masa lalu Wijaya karena sering di ungkit oleh Veni, bahkan di depan Baskara langsung. “Untuk itu, aku memilih tidak menikah”
“Dan kau selamanya akan hidup dengan jalang?!”
“Aku hidup melajang” koreksi Baskara.
“Sama saja artinya kau akan menghabiskan malammu dengan jalang seumur hidupmu! Aku tidak setuju dengan idemu itu! Menikah dengan perempuan pilihanmu, atau terima nasib aku paksa kau menikah dengan pilihan Mamamu”
“Aku tidak mau menikah dengan Clara” protes Baskara. Pilihan Mamanya sudah pasti Clara.
Wijaya mengangguk. “Baik, kalau begitu bawa perempuan yang ingin kau nikahi. Aku dengar dari Mamamu, kau akan menikah dengan perempuan yang kau pilih. Aku harap perempuan itu bukan sekretarismu”
Baskara menatap Wijaya lelah, Papanya sama saja dengan Clara. “Bukan dia”
******
KAMU SEDANG MEMBACA
BAYAR DI MUKA (TAMAT)
Romance(FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA UNTUK MEMBUKA BAB YANG DI PRIVATE ACAK!) WARNING!! (21+) Hutang sebesar 200 juta yang di tinggalkan oleh ayah Varsha, membuat Varsha harus membanting tulang untuk mencari uang. Segala pekerjaan dia lakukan, tapi hanya cu...