Because of bread

117 15 4
                                    

Baru saja tiba dan akan duduk di kursinya, pria itu mengambil sebungkus croissant milik Steven yang entah di mana keberadaannya. Sudut di bibir kirinya terangkat. Dia tak memikirkan apapun kedepannya. Yang terpenting roti tersebut sudah berada di tangan.

Lumayan, rezeki anak sholeh!

Duduk dengan santai seraya menaruh tas di atas meja. Dia baru saja hendak membuka makanan tersebut. Namun, kedatangan Evan, Steven dan Jean ke dalam kelas membuat Nichole buru-buru menyembunyikan roti itu ke dalam kolong meja. Ketiganya memang pergi bersama habis mengantarkan tugas kelas ke ruang Bu Betty. Oke, santai. Nichole mulai berakting. Melambaikan tangan ke atas. Belaga menyapa ketiga sahabatnya. Semuanya berjalan lancar. Tak ada yang terlihat curiga. Bahkan, pemilik roti itu sendiri masih tenang.

"Lah, udah dateng lo?" Jean duduk di samping Nichole. Alis Nichole terangkat, "hm."

Belum sadar. Seseorang belum sadar. Steven duduk di dekat jendela sembari menyilangkan kedua tangan. Posisinya tak jauh dari yang lain. Sementara Evan berada di kursinya.

"Gue ke toilet bentar, ya," alibi Nichole.

"Sendirian lo? Gak mau gue anter?" tawar Jean. Nichole menggeleng, "gak perlu. Makasih tawarannya." Buru-buru, Nichole meraih roti tersebut tanpa ketahuan ketiga sahabatnya.

"Gue boleh ikut?" tanya Steven. Nichole yang sudah berjalan sedikit dari kursi, menoleh.

"E-lo di sini ajah. Sama mereka," ucap Nichole. Nadanya sempat gugup. Asli, dia takut ketahuan. Sepertinya, memang sebentar lagi ketahuan. Dia tetap berusaha mengontrol wajahnya agar tak ada yang semakin aneh.

"Eh, gue kebelet nih. Gue cabut."

Jean dan Steven sama-sama merasa aneh. Makanya, mereka berdua saling beradu pandang. Lain dengan Evan yang hanya berekspresi datar.

Mengibas rambut ke belakang, Steven berjalan duduk ke kursinya. Dan, ya... detik itu juga kesadaran penuh datang padanya.

"Loh?!"

"Kenapa?" ucap Jean, terkejut melihat dan mendengar suara lantang Steven. Evan menolehkan kepalanya, tapi tak bersuara.

"Ada apa?" tanya Jean kembali. "Roti gue, Je, nggak ada!" panik Steven. Kedua tangannya bergegas meraba kolong meja. Tidak ada. Kepalanya ikut menunduk melihat ke arah kolong meja beserta di bawah meja. Atau bisa jadi jatuh di lantai. Namun, memang tidak ada wujud sebungkus roti itu.

"Lo nggak lupa?" Evan bersuara. "Nggak, kok. Emang gue inget banget gue taruh di sini satu dan buru-buru antar tugas tadi," terang Steven.

Sekarang, giliran Evan dan Jean yang saling pandang. Koneksi mereka pun seakan terhubung, juga mendapatkan sinyal. Mereka pun mengetahui sesuatu hal aneh telah terjadi. Jadi, Nichole buru-buru ke toilet karena... karena telah mengambil roti Steven diam-diam.

"Nichole," gumam Evan.

Bangkit dari kursi, menaruh salah satu tangan pada saku celana. Pria berbadan tegap tak mengenakan almamater DHS itu tampak gagah luar biasa. "Gue ke Nichole sebentar," ucap Evan.

"Hm, ya udah. Kelarin masalahnya, bilang balikin roti Steven," ucap Jean. Evan mengangkat kedua alis sebagai jawaban. Lantas pergi seorang diri. Sementara Steven masih sibuk tak mengindahkan kedua sahabatnya yang bercakap.

"Stev," panggil Jean. Masih tak ada respons. "Steven," ulang Jean.
"Apa? Gue lagi cari roti gue. Jangan ganggu!" kesal Steven.

"Stev, dengerin dulu," pinta Jean. "Kenapa?" Steven memandang wajah Jean. Berhenti dari aktivitasnya. Tasnya yang berisi beragam alat tulis itu sudah berantakan di atas meja.

I'll be Better with You (Lee Heeseung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang