After graduation?

92 9 2
                                    

2 hari berlalu sejak dia menjenguk ibu kandungnya di rumah sakit, kondisinya kembali tidak ceria seperti biasa. Seakan raganya berada di DHS, namun pikirannya melayang menjelajahi dunia yang penuh kekosongan.

Pandangan yang tidak fokus itu sangatlah kentara. Evan memang duduk di kursinya. Namun, para sahabatnya seolah tak merasakan kehadiran Evan saat itu juga. Pasalnya, mereka seperti kehilangan jiwa seorang Evan Antonio.

"Van," sebut Sagara.

Yang kemarin sibuk bilang Sagara tidak baik-baik saja adalah Evan. Tetapi, kenapa sekarang Sagara melihat Evan yang tengah kurang baik keadaannya?

"Lo belum sarapan, ya? Keliatannya lemes," ucap Sagara.

Evan terdiam. Tak menyahut atau memberi respons lewat ekspresi wajah. Datar saja pandangannya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Evan memandangi kaca jendela. Entah apa yang hari ini ia tunggu. Rasanya abu-abu. Kenapa masalah kian hari kian berat?

"Evan sakit?" ucap Steven. Sagara menggeleng, "mungkin lagi bete."

"Pasti belum ketemu crushnya," celetuk Steven. Sagara menyikut lengan lelaki itu. "Loh?" sebut Steven. "Sakit tau, Gara!"

"Jangan ngomong asal. Evan kalau denger marah," ucap Sagara. Steven menganggukkan kepalanya. Baiklah, dia tak akan menyebut soal crush-crush itu.

Namun, percayalah kalau Evan sudah mendengar apa yang Steven ucapkan. Apa memang benar dia tak semangat atau juga sakit lantaran tak bertemu crushnya? Memang siapa crushnya? Tidak. Evan sedang tidak baik bukan perkara seseorang yang dia taksir. Melainkan ini lebih berat lantaran pikirannya sibuk karena sebentar lagi orang tuanya akan berpisah.

Di saat dia tengah butuh banyak kasih sayang keluarganya, kenapa justru mereka berdua dengan egonya memilih berpisah? Apakah Evan tak berhak mendapatkan kebahagiaan dari kedua orang tuanya sendiri? Kenapa di setiap hubungan harus ada orang ketiga? Entah di kehidupan pribadinya, juga kedua orang tuanya. Apa sebenarnya yang kurang dan salah?

Dalam diam, tangan di dalam sakunya mengepal kuat. Wajahnya kentara merah menahan amarah yang kapan saja bisa meluap-luap. Lalu, tinggalah perasaan lega ketika sudah diungkapkan. Tapi, sayangnya emosi itu masih tertahan. Evan tak siap melihat sang ibunda semakin terpuruk. Dia tak bisa menyalahkan Elena sepenuhnya. Karena, Elvano di sinilah yang mesti tanggung jawab atas perbuatannya. Kenapa pria itu tega sekali berselingkuh?!

Nichole baru saja tiba. Lelaki itu masuk ke dalam kelas mengenakan kacamata bulat berwarna putih. Dan di belakangnya Jean, Yutha serta Zack masuk ke dalam kelas dengan kompak.

Nichole yang belum mengambil duduk, berdiri di depan papan tulis. Terlalu random dan tak terbaca tingkahnya. Apakah dia ingin mengambil spidol di laci guru? Atau apa?

"Anak-anak silakan duduk dulu, Bapak akan jelaskan pelajaran hari ini!" tiba-tiba dia berdialog seolah menjadi guru di depan kelas. Keenam sahabatnya sontak melihat ke arahnya dengan kompak. Nichole lantas terkekeh geli melihat tingkahnya sendiri.

"Biarin, biarin ajah biarin," kesal Jean. Zack dan Yutha terkekeh geli, lalu duduk di kursi masing-masing.

"Duduk lo! Gak usah sok-sokan mau ngajar!" suruh Jean. Tangannya melambai-lambai. Menyuruh agar Nichole berhenti cosplay jadi guru. Namun, Nichole menggeleng. Lagi-lagi dia bertingkah. Bukannya menyudahi apa yang dilakukannya itu, dia malah dengan tidak malunya meraih penggaris seraya memukul meja beberapa kali. Berkaca pinggang sembari memarahi Jean.

"Duduk kamu, Jean! Kalau tidak, saya akan hakum kamu!"

Jean menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya tadi Nichole salah makan sarapan sehingga dia stres. Alhasil, Jean duduk. Terlalu lelah berdiri memantau kelakuan cowok blasteran tersebut.

I'll be Better with You (Lee Heeseung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang