With ex-lover

55 7 2
                                    


"Evan."

Seseorang memanggil seraya melambaikan tangan. Mendengar hal tersebut Evan langsung mencari ke arah sumber suara. Di sana, seseorang di kursi pojok di dekat kaca jendela besar sudah menunggunya.

"Nunggu lama?" tanya pria itu. Seorang gadis di depannya menggeleng. "Enggak, kok. Duduk."

"Makasih ya, udah mau datang ke sini."

Evan mengangguk kecil sebagai jawaban. Melihat gadis itu duduk di depannya seakan membuat kenangan manis yang telah pudar kembali bermunculan. Dahulu, meski bukan di tempat yang sama seperti sekarang mereka huni, setiap kali mereka pulang sekolah duduk berdua di kafetaria. Sementara, keenam sahabatnya berada di tempat lain.

Evan yang sering kali menyibukkan diri membuat lirik lagu dan Violet yang senang memantau aktivitas pria jenius itu.

"Aku jadi ingat momen kita dulu di kafetaria dekat sekolah. Pasti kamu suka banget coret-coret kertas buat bikin lirik lagu," ungkap Violet.

Tak mendengar respons dari lawan bicaranya, Violet kembali membuka suara. "Maaf kalau perkataanku buat kamu jadi gak nyaman," Violet hanya sedang mengutarakan memori yang terlintas. Dia sedikit cemas kalau Evan akan risih padanya. Tetapi, mendengar respons Evan selanjutnya, Violet seketika tersenyum dan merasa begitu lega.

"Nggak masalah."

Sungguh? Ini benar Evan?

"Tapi, beneran aku minta maaf. Aku nggak ada maksud buat bikin kamu ingat-ingat yang dulu. Aku tahu kamu pasti akan sakit hati nantinya."

"Aku ajak kamu ke sini cuma mau traktir makan kamu ajah."

Evan menghela, "sejak kapan gue biarin lo bayar?"

Deg.

Seketika hati Violet melemah. Bagaimana bisa dia tidak jatuh hati kepada pria itu lagi? Karena, dari cara bicara, tatapan matanya, wajahnya yang selalu membekas itu selalu membuat dia kegirangan. Lantas perkataan tadi membuat Violet semakin ingin tenggelam lebih jauh lagi bersama mantan kekasihnya. Akan tetapi, Violet harus sadar diri. Bahwa saat ini keberadaan Evan bukan untuk dimanfaatkan.

"Enggak, kali ini biarin aku traktir kamu karena kamu udah mau dateng ke tempat kerjaku."

"Gue yang bayar atau gue pulang?" sarkas Evan.




***

Brak!

Suara keras itu berasal Jean yang kesal sampai menggebrak meja. Bukan tanpa alasan dia melakukan itu. Semua yang ada di hadapannya itu tahu kenapa Jean marah sekali seperti sekarang.

"Jean!" Yutha berteriak. "Lo bisa kendaliin emosi lo dulu nggak, sih?"

Napas Jean memburu. Dia tak memedulikan sekitar. Ya, dia jelas marah kepada sahabatnya, Evan.

"Gimana gue bisa tahan emosi gue? Gimana gue harus diam kayak kalian semua? Kita sibuk peduliin Evan, tapi apa?! Hm... apa? Evan... Evan malah ninggalin si Alea gitu ajah. Bahkan, udah seperti gak menganggap kita sebagai sahabat!"

"Arrgh!"

Rahangnya terlihat mengeras sampai-sampai urat lehernya pun menonjol. "Gue gak habis pikir sama jalan pikirannya. Dia masih anggap kita sebagai sahabat nggak, sih?!"

"Heran!" sebal, Jean menghela napas kasar.

"Apa dia gak bilang sesuatu sama lo, Zack?" ucap Jean. Zack menggeleng, "gak ada." Katanya tanpa berpandangan dengan yang bertanya.

"Lo jangan bohong! Evan pasti cerita sesuatu kan?"

"Gue bilang nggak ada."

"Biasanya dia cerita sama lo!"

I'll be Better with You (Lee Heeseung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang