Divorce

94 6 2
                                    

Sebagai manusia, ada kalanya kita tidak dapat mencegah hal-hal dalam hidup. Terlebih lagi kalau itu hal buruk. Bagaimanapun kita menjauh dan menghindar, masalah akan datang dengan sendirinya. Seberusaha apapun kita untuk tetap menjaga hidup agar baik-baik saja. Nyatanya, kehidupan ini tetaplah misteri.

Dan ini juga terjadi pada kehidupan seorang pria yang katanya hidupnya sudah begitu 'sempurna'. Dia tidak tahu-menahu bahwa sedetik kemudian atau dalam beberapa waktu ke depan akan berada di rumah sakit untuk menjenguk sang mama. Meskipun tidak ingin berada di sana, tetapi ada setitik rindu yang tidak bohong dari mata pria itu. Wajahnya memang tampak tak berekspresi apa-apa. Tak terbaca. Namun, dalam hatinya, jika saja pria itu berani menyuarakan isi hatinya. Pasti yang akan keluar dari bibirnya adalah rindu.

Bagaimanapun keduanya berjauhan, perlu digaris bawahi kalau mereka tetaplah memiliki ikatan kuat antara ibu dan anak.

"Evan...," suara lirih itu terdengar.

Lelaki pemilik hidung mancung itu menegakkan tubuhnya. "Ka-kamu datang?"

Dengan perlahan, matanya mengerjap dan terbuka. Pandangannya terlihat layu. Wajahnya kentara pucat pasi. Entah kenapa lelaki itu merasakan hatinya perih.

Evan tak menyahut apa-apa. Tangan kanan Elena bergerak hendak menyentuh tangan sang putra. Meski tampak tidak suka, Evan membiarkan mamanya menyentuh bahkan menggenggam tangannya saat itu.

"Ma-ma senang kamu datang," suaranya terdengar parau.

Elena baru saja membuka mata setelah istirahat sejenak menunggu Evan hadir di rumah sakit. Tak bohong kalau wanita itu begitu gembira kehadiran putra satu-satunya.

Meski Evan tak memberikan respons, Elena tak menyerah. Elena tahu kalau sang anak hanya tengah menutupi dirinya untuk tetap terlihat angkuh. Elena tetaplah ibu kandung Evan yang mengetahui bagaimana sisi baik-buruk putranya meski mereka jarang sekali komunikasi.

"Maafin Mama...," lirih Elena. Suaranya terdengar begitu tulus. Wanita dengan seragam pasien tersebut berusaha mengubah posisinya untuk bangkit. Refleks Evan bersuara. "Ma," sebutnya dengan nada suara pelan, tangannya yang sempat digenggam oleh Elena pun terlepas lantaran Evan sibuk membantu Elena untuk mencari posisi nyaman untuk duduk.

"Terima kasih," kata Elena. Terjadi keheningan. Evan memilih menatap ke arah lain.

"Van," sebut Elena. "Sudah berapa lama kita gak bicara seperti ini?" kata Elena.

Uhuk! Uhuk!

Elena terbatuk-batuk. Salah satu tangannya refleks menutup mulut. Dan tangan yang lainnya menyentuh dadanya yang terasa nyeri.

"Mama sakit apa?"

Akhirnya, sedari tadi diam dan menahan ego, Evan bersuara juga. Hati kecilnya juga menginginkan itu sejak tadi.

Elena tersenyum samar, "Mama hanya kelelahan. Kamu tahu sendiri pekerjaan Mama bagaimana," tuturnya.

Ya. Namun, terkadang meski tahu dia juga ingin diberi penjelasan yang pasti.

"Van, Mama suruh kamu ke sini karena ada banyak hal yang ingin uhuk-" Elena kembali terbatuk. Dia menjeda ucapannya.

Dia tak berbohong tentang dia yang tengah sakit. Dia tidak sedang mencari perhatian Evan dengan mengada-ngada. Dia benar-benar butuh Evan di sisinya karena memang dia sangat butuh.

Untuk saat ini, Evan berusaha keras menyentil egonya jauh-jauh. Melihat Elena yang sakit seperti itu Evan tampak gundah.

"Maafin Mama karena gak bisa lagi jaga rumah tangga ini. Maafin Mama, sayang...," saat itu juga air mata Elena terjatuh. Dengan tangannya yang terlihat gemetar, Evan yang kini meraih tangan Elena seraya mengusapnya lembut-lembut.

I'll be Better with You (Lee Heeseung)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang