1

880 53 6
                                    

***

Musim dingin kali ini, bunga-bunga daisy bermekaran di kota Bellis. Merah, kuning, dan putih, warna-warninya memenuhi taman-taman kota. Menghiasi kota yang penuh dengan hiruk-pikuknya. Sebuah rumah dua lantai berdiri beberapa kilometer dari pusat kotanya. Dalam sebuah kompleks perumahan, diatas bukit Bellis, dinding abu-abunya berdiri kokoh.

Rumahnya dibangun dengan dinding-dinding batu yang kokoh. Tingginya dua lantai dengan selusin ruangan di dalamnya. Halamannya luas, lengkap dengan kolam renang kecil di pekarangan belakang. Kamar tidurnya pun luas, ditambah balkon dengan kursi dan meja minum tehnya. Bagi Lisa, tempat ini lebih pantas disebut villa, daripada sebuah rumah tinggal.

Ini tahun kedua Yoo Lisa tinggal di rumah besarnya. Tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, tidak pernah ia duga sebelumnya, kematian kedua orangtuanya yang tiba-tiba membawanya dalam kemewahan itu. Membawa juga gadis itu pada kenyataan-kenyataan yang tidak ingin diterimanya. Membawanya meninggalkan hidupnya yang tenang dan penuh tawa.

Malam ini peringatan satu tahun hubungannya. Karena bekerja dua teman serumahnya tidak akan pulang malam ini, jadi Lisa memutuskan untuk merayakan hari jadinya di rumah. Sedari pagi ia bersihkan rumahnya. Ia hias kamarnya, ia buat makanan kesukaan kekasihnya.

Butuh sepanjang hari untuknya menyiapkan segalanya— makan malam romantis dengan lilin, wine dan semua bunganya. Malam ini harus jadi spesial, Yoo Lisa berusaha. Ia rias wajahnya, dipakainya lipstik paling cantik miliknya, lalu ia balut tubuh indahnya dengan gaun hitam seksi miliknya. Ia berusaha untuk terlihat sempurna, agar bisa ia kabulkan keinginan mendiang ibunya— pernikahan.

Sebelum kematiannya, Hani, nama ibunya, sangat berharap ia akan menikah. "Lisa, sampai kapan kau akan terus begitu? Kapan kau akan menikah? Berhentilah bersikap kekanakan, kau sudah dewasa, sudah waktunya untuk menikah," Lisa tidak pernah peduli akan omelan sang ibu sebelumnya. Ia tidak akan menikah, ia akan terus jadi anak manis kesayangan ayah dan ibunya. Ia akan terus bersikap kekanakan, terus menempel pada ayah dan ibunya, waktu itu begitu rencananya. Namun Tuhan menggagalkan rencananya, Ia jemput kedua orangtuanya dengan begitu cepat, begitu menyakitkan, hingga Lisa merasa ia tidak akan bisa berdiri lagi.

Sekarang, karena tidak ada lagi rencana yang bisa ia wujudkan, maka akan Lisa kabulkan permintaan ibunya— meski terlambat. Bel pintu ditekan ketika Lisa masih bercermin, "dia sudah datang, kalau dia melamarku hari ini, kalau aku menikah, berjanjilah kalian akan datang ke mimpiku," katanya, bicara pada foto kedua orangtuanya di meja rias.

Sekali lagi bel pintunya di tekan. Kini, Lisa angkat tubuhnya. Ia bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke pintu depan. Ia buka pintunya dan kembali ke dapur. Akan ia hangatkan steak daging sapi yang sudah disiapkannya. Di dengarnya pintu depan terbuka, lalu suara langkah kaki yang memasuki rumahnya.

"Lisa, dimana kau- apa ini?" suara seorang pria mengudara.

Kwon Jiyong yang baru saja masuk. Setelah melepaskan sepatunya di pintu masuk lalu mengganti alas kakinya dengan sandal bulu merah muda, pria itu berhenti di meja makan. Dahinya berkerut, menatap heran pada semua makanan, juga bunga dan lilin di meja makan.

"Akan ada tamu?" tanyanya kemudian, sementara Lisa mematikan lagi kompornya, batal menghangatkan dagingnya karena Kwon Jiyong bukan lah pria yang ia tunggu.

"Kenapa oppa ke sini? Malam-malam begini?" tanya Lisa, menatap curiga pada pria berjas di depannya.

"Kekasihmu? Pria mana lagi? Ah, sudah... aku tidak ingin tahu... Kau masih butuh roommate?" tanya Jiyong kemudian, lepas ia mengangkat bahunya, enggan mendengar cerita Lisa dan pria-pria di sekitarnya.

"Masih ada dua kamar kosong di atas, kenapa? Kau tidak akan bilang mau tinggal di sini kan?" tanya Lisa, menghampiri Jiyong, menggiringnya untuk bicara di ruang tamu. Hanya beberapa langkah dari meja makan.

Pria itu sekarang berjalan ke jendela depan. Ia buka sedikit tirainya, lalu menunjukan mobilnya yang masih menyala di luar. Lisa ikut melihatnya, memperhatikan mobil sedan hitam di depan rumahnya dan menemukan seorang perempuan di sana.

"Siapa itu? Kekasihmu?" tanya Lisa, melihat seorang gadis pirang di kursi penumpang bagian belakang.

"Kau tidak mengenalnya?"

"Aku harus mengenalnya?" tanya Lisa, masih berdiri di sebelah Jiyong, mengintip dari jendela depan ke arah mobil pria itu.

"Seseorang memberikannya padaku," kata Jiyong, menatap pada Lisa kemudian berpaling lagi. Mereka berdiri terlalu dekat sekarang, ia bisa melihat segalanya dari tempatnya berada sekarang— begitu yang Jiyong rasakan, karenanya pria itu berpaling dan bergerak menjauhinya. "Dia tidak bisa membayar hutangnya padaku, lalu dia berikan keponakannya-"

"Aku sudah bilang aku tidak mau terlibat," potong Lisa. "Apapun bisnis yang orangtuaku lakukan bersamamu, aku tidak mau terlibat. Night club, pinjaman, judi, pelacuran, semua yang kau dan orang-orangmu lakukan, aku tidak mau terlibat. Aku tinggal di sini, hanya karena makam orangtuaku ada di sini," tolaknya kemudian.

"Karena itu, biarkan dia tinggal di sini," pinta Jiyong, sukses mengerutkan dahi lawan bicaranya. "Pamannya memberikannya padaku, katanya perempuan itu bisa jadi bayaran untuk hutang-hutangnya, untuk sementara biarkan dia tinggal di sini," ulang Jiyong sekali lagi, dan kali ini Lisa mendongak, menatapnya.

"Kwon Jiyong... Apa kau-"

"Aku baik-baik saja, kau hanya perlu membiarkannya memakai satu kamarmu," potong Jiyong lalu Lisa menganggukan kepalanya.

"Akan aku batalkan rencanaku malam ini, suruh dia masuk, aku akan menghiburnya," kata Lisa, lantas bergerak untuk masuk ke kamarnya. Mengatakan kalau ia akan mengganti pakaiannya lebih dulu.

"Jangan mengatakan apapun tentangku."

"Hm... Aku akan menghiburnya dengan ceritaku sendiri, suruh saja dia masuk," angguk Lisa, di susul suara pintu kamar yang tertutup.

Kwon Jiyong pergi dengan mobil dan supirnya setelah ia menurunkan si pirang. Ia suruh gadis pirang itu untuk mengetuk sendiri pintu rumahnya, kemudian masuk dan menemui temannya. "Aku sudah memberitahunya, masuk saja," begitu katanya, setelah ia suruh gadis pirang tadi keluar dari mobilnya.

"Rose?" untuk kesekian kalinya, malam ini Lisa mengerutkan lagi dahinya. Dilihatnya gadis yang Jiyong tinggalkan, diperhatikannya dari ujung rambut sampai ke kakinya, ia mengenali gadis itu.

"Kau mengenalku?"

"Tentu saja, masuk lah," angguk Lisa, lalu mempersilahkan tamunya untuk masuk. "Kita bekerja di industri yang sama," susulnya kemudian mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya. "Namaku Lisa, yang tadi itu kakakku, ada dua perempuan lain yang tinggal di sini, tapi mereka masih bekerja sekarang. Kau bisa menginap beberapa hari di sini, tapi kalau mau tinggal lebih lama, kita bisa membagi tagihannya."

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang