***
Lisa tidak ada di rumah ketika Jiyong datang. Gadis itu mengabaikan teleponnya, tidak juga membalas pesannya. Setelah hari jadi sore Jiyong akhirnya berkunjung, sebab ia tidak bisa menghubungi Lisa, Jisoo yang keluar. Ia diberi tahu, kalau Lisa pergi bersama kekasihnya dan menurut Jisoo, Lisa baru akan kembali setelah beberapa hari.
Kembali ke rumah, di lihatnya Leo tengah berdiri di dapur. "Lisa menghubungimu?" pria itu bertanya, sebentar ia berdiri di sebelah meja makan. Menunggu putranya menjawab.
"Sekarang? Tidak," kata pria itu. "Untuk apa dia menghubungiku? Dia pasti sedang bermesraan sekarang," susulnya.
"Kau tahu kemana dia pergi?"
"Seoul-"
"Seoul?!" kaget Jiyong, dengan alis berkerut seolah ia tidak pernah tahu kalau Lisa akan pergi keluar negeri.
Jiyong tahu Lisa punya rencana pergi keluar negeri dengan kekasihnya. Jiyong tahu kalau Lisa sudah beberapa bulan terakhir ini merencanakan perjalanan itu. Ia hanya tidak menyangka, kalau Lisa benar-benar akan berangkat setelah apa yang dilaluinya semalam. Ia pikir, Lisa akan bersedih di kamarnya. Cukup lama hingga ia merasa perlu mengkhawatirkannya.
"Mereka sudah terlanjur membeli tiketnya, tentu saja mereka jadi pergi," kata Leo. "Tapi apa yang terjadi semalam? Aku jadi penasaran karena tahu sedikit-"
"Kapan dia kembali?"
"Minggu depan? Mungkin hari Sabtu atau Minggu, hari Senin aku ujian. Dia berjanji akan mengantarku ke sekolah hari Senin," jawab Leo, yang setelahnya berdecak karena tahu pertanyaannya tidak akan di jawab. Jiyong tidak akan menjawab rasa penasarannya.
"Kau sudah pergi ke sana setiap hari, selama tiga tahun, untuk apa diantar?" heran Jiyong, berdecak lantas meninggalkan Leo di dapur.
"Semua orang diantar orangtuanya di hari pertama ujian kelulusan!" seru Leo, akhirnya mengekor untuk memuaskan rasa penasarannya. "Jadi calon walikota itu benar-benar membunuh orangtuanya Lisa? Kenapa? Lalu apa yang terjadi padanya sekarang? Dia dipenjara? Dia dihukum?" tanyanya, ingin membebaskan diri dari rasa penasarannya.
"Dia bukan orangtuamu. Dewasa lah sedikit. Jangan menghalangi hubungannya dengan dokter itu," kata Jiyong, melangkah naik ke kamarnya.
"Kalau begitu bersikap lah seperti orangtuaku, jadi aku tidak perlu mengganggunya," cibir ketus Leo, lantas setelahnya ia mendesak agar Jiyong menjawab pertanyaannya. Apa yang terjadi pada si calon walikota, Leo penasaran.
Hampir tidak ada yang terjadi selama satu pekan itu. Dunia berputar, sementara Lisa pergi bersenang-senang dengan kekasihnya, menghibur dirinya sendiri. Jiyong pun sibuk bekerja, entah melakukan apa karena ia tidak memberitahu Leo, tidak memberitahu siapa pun akan urusannya.
Alih-alih belajar, Leo justru sibuk dengan latihan fisiknya. Merasa kalau ia tidak perlu khawatir akan kelulusannya. Merasa kalau ia akan lulus, meski tidak masuk peringkat atas. Pada Minggu sore, Jiyong dengar putranya menelepon Lisa. Biasanya ia enggan mengganggu obrolan Leo dengan Lisa, tapi karena satu minggu ini Lisa terus menghindarinya, ia minta Leo untuk memberikan handphonenya.
Jiyong mengulurkan tangannya, kepada Leo yang menelepon di sofa. Tanpa mengatakan apapun, ia minta Leo untuk memberikan handphonenya. Memberinya kesempatan untuk bicara dengan Lisa.
"Aku baru saja sampai di rumah. Apa yang mau kau makan? Ayahmu ada di rumah? Atau dia sudah berangkat ke club?" tanya Lisa, tanpa tahu kalau Jiyong yang sekarang mendengarkannya.
"Aku ada di rumah, kemari lah, kita perlu bicara," kata Jiyong.
"Oh? Aku juga punya sesuatu untuk dibicarakan," jawab Lisa, sempat terkejut. "Aku ke sana satu jam lagi, sekalian makan malam," susulnya, lalu setelahnya ia minta Jiyong untuk mengembalikan handphone itu pada pemiliknya. Ingin kembali mengobrol dengan Leo tentang makan malam mereka.