***
Leo pulang ke rumahnya keesokan harinya. Jennie yang mengantarnya, bersama setelah shift kerja gadis itu selesai. Sebelum menurunkan Leo di rumahnya, Jennie juga membawa Leo ke restoran, memberinya makan sebelum ia kembalikan bocah itu pada ayahnya.
Mobil Jennie berhenti di depan rumah Leo, bersama dengan sebuah mobil lainnya. Di depan mobil Jennie, sebuah sedan hitam berhenti. Lantas keluar lah seorang pria yang familiar untuk Jennie, seorang yang sudah beberapa kali ia lihat bersama Jisoo.
"Siapa orang itu?" tanya Jennie, dengan suaranya, menahan Leo yang akan keluar dari mobilnya.
"Siapa?" kata Leo, balas bertanya. "Oh? Dia asisten ayahku, Lee Soohyuk," jawab bocah itu, setelah ia lihat kemana tangan Jennie menunjuk.
"Ah... Pantas saja aku sering melihatnya di sekitar sini," komentar Jennie, lantas ia menoleh pada Leo. "Pergi lah, aku harus pulang sekarang," susulnya, menyuruh Leo untuk segera menutup pintu mobilnya, agar ia juga bisa segera pulang.
Tiba di depan rumahnya, Leo menarik dalam-dalam nafasnya. Bibirnya terluka, di pelipis mata dan pipinya terdapat memar keunguan, lalu sekarang ayahnya masih ada di rumah. Leo sempat berfikir, mencari jalan untuk mengendap-endap. Menerka, haruskah ia memanjat dinding langsung ke kamarnya? Atau ia pergi saja?
Dicoretnya rencana untuk memanjat dinding, tangan dan kakinya terlalu sakit untuk melakukan itu. Lalu ia timbang rencana melarikan diri dari rumah, tapi akhirnya tetap dicoretnya rencana itu. Karena masih bertengkar dengan Lisa, ia tidak bisa melarikan diri, bersembunyi di rumahnya. Ia tidak punya satupun tempat tujuan sekarang.
Akhirnya Leo memberanikan dirinya untuk melangkah masuk ke rumah. Setelah ia tahan rasa takutnya, dilihatnya asisten sang ayah duduk di ruang tamu. Awalnya pria itu tertunduk, menatap ke layar handphonenya. Tapi Lee Soohyuk mengangkat kepalanya saat didengarnya pintu depan terbuka. Sebentar mereka bertukar tatap, Leo merasa luar biasa canggung karena Soohyuk memandanginya, tapi di detik selanjutnya pria itu bergegas masuk ke kamarnya, setengah berlari karena enggan menjawab semua pertanyaan Soohyuk yang belum sempat pria itu lontarkan.
Soohyuk berdiri, sebab keheranan melihat Leo terluka. Akan ia tanya alasan Leo terluka, tapi bocah itu sudah lebih dulu berpapasan dengan ayahnya di tangga. Sekarang, Leo berdiri tepat di depan ayahnya. Hampir menabrak Jiyong karena ia hanya fokus melarikan diri dari Soohyuk.
Tatap Jiyong jauh lebih menusuk daripada milik Soohyuk. Dilihatnya luka memar di wajah Leo, lalu menurunkan pandangannya sampai ke kaki bocah itu. Tanpa mengatakan apapun, membuat Leo merasa tengah ditelanjangi oleh tatapan ayahnya sendiri.
"Kau sudah mengobatinya?" tanya Jiyong, lebih dulu bersuara. Meski tidak bermaksud begitu, tapi suaranya kini menjadi tanda kalau Leo harus melanjutkan perjalanannya ke kamar. Berlaga angkuh, Leo menabrak bahu Jiyong, lalu melewatinya. Akan meninggalkan pria itu untuk langsung masuk ke kamarnya. "Mulai besok berlatih lah dengan Soohyuk," susul Jiyong, tetap tenang, sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap angkuh putranya.
"Kau benar-benar ayahku?" Leo yang sebelumnya akan meninggalkan Jiyong di tangga, sekarang berbalik. Ia hentikan lagi langkah Jiyong yang belum seberapa jauh dari posisinya tadi.
Ditanya begitu, Jiyong terdiam. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu? Dulu, Leo lah yang pertama kali datang pada Jiyong, mengakui dirinya sebagai anak dari laki-laki itu. Ketika itu Jiyong tidak mempercayainya. Bukan hanya karena ia tidak mengenal Leo, tapi ia pun tidak ingat siapa wanita yang jadi ibunya. Jiyong hampir tidak punya ingatan apapun tentang ibu kandung Leo.
Sepintas mereka terlihat mirip, tapi ada banyak orang yang juga kelihatan sama namun tidak berkeluarga. Mengingat bagaimana hidupnya, bagaimana keadaan ibunya, awalnya Jiyong mengira kalau Leo adalah adiknya. Leo mungkin adiknya, anak laki-laki itu mungkin lahir dari ibu yang sama sepertinya, karenanya mereka terlihat mirip. Tapi Leo bersikeras kalau ia putranya, bocah itu terus datang, meminta ia merawatnya, meminta ia menjaganya.
Lee Soohyuk yang waktu itu menyarankannya— cobalah melakukan tes DNA untuk membuktikannya— dan setelah melakukannya, orang dari laboratorium menulis di selembar kertas kalau mereka memang ayah dan anak. Ketika itu Jiyong tidak punya pilihan lain selain percaya. Leo putranya, yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya. Lalu masalah selesai— bagi Leo, yang ketika itu luar biasa senang karena bisa kabur dari rumah kakeknya.
Bocah kecil itu melakukan segalanya untuk bisa keluar dari kekang kakeknya. Awalnya Leo bersyukur, awalnya Leo berterimakasih, sebab Jiyong mau menampungnya. Karena Jiyong telah membebaskannya dari penjara buatan kakeknya. Tapi kini, anak itu menginginkan hal lainnya. Leo ingin lebih, dari sekedar diberi izin tinggal.
"Gangster sialan, kau harusnya tetap di penjara, hidupku tidak akan jadi begini kalau bukan karenamu," kesal Leo, sebab Jiyong tidak juga menjawab pertanyaannya.
Suara pintu kamar yang dibanting kemudian terdengar. Sangat keras hingga Jiyong merasakan telinganya berdengung. Lagi-lagi Leo menguji kesabarannya. Lagi-lagi Leo membuatnya kesal. Bocah itu beruntung, sebab sekarang Jiyong tidak melampiaskan emosinya itu kepadanya. Alih-alih menghampiri Leo ke kamarnya, memaki bocah yang lebih dulu merusak kebebasannya, Jiyong pergi dari rumah itu.
"Menurutmu, apa yang akan Teo lakukan kalau dia ada di posisiku sekarang?" tanya Jiyong, lepas ia dudukan tubuhnya di dalam mobil, bersama Soohyuk juga supir yang sudah sedari tadi menunggu.
"Pergi menemui istrinya?"
"Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu, yang lain."
"Menemui putrinya?"
"Lisa? Dimana dia sekarang?"
Soohyuk mengeluarkan handphonenya sekarang, sementara mobil sudah melaju meninggalkan rumah. Dilihatnya beberapa foto yang pernah Lisa posting, "foto terakhir yang diunggahnya, foto di rumah sakit dengan leher berdarah-darah," lapor Soohyuk, lantas mengatakan kalau ia akan menelepon Lisa untuk tahu dimana keberadaan gadis itu.
"Nona, Tuan Jiyong ingin bertemu denganmu, kemana kami harus pergi untuk menemuimu?" tanya Soohyuk, tidak lama setelah Lisa menjawab teleponnya.
"Dari skala satu sampai sepuluh, seberapa penting pertemuannya? Aku baru menemuinya tadi malam."
"Sebelas," kata Soohyuk, melihat bagaimana merahnya wajah Jiyong sekarang. Pria itu sedang berusaha sangat keras untuk menahan emosinya.
"Kalau begitu, antarkan dia ke studioku, tapi hanya dia yang boleh masuk. Kau menunggu saja di mobil, atau pergi sarapan ke minimarket," jawab Lisa.
Sekarang Soohyuk mengakhiri panggilan itu, ia suruh supir mereka untuk putar balik, sebab studio yang Lisa bicarakan ada di rumah gadis itu. Jiyong tidak berkomentar, tidak juga bertanya, ia hanya diam, dengan tangannya yang terkepal kuat. Pada menit selanjutnya, mereka berhenti di depan rumah Lisa.
"Dia ada di studionya, tapi aku dilarang masuk," kata Soohyuk, dan sekali lagi, Jiyong tidak mengatakan apapun.
Pria itu keluar dari mobilnya, di waktu yang sama pintu gerbang rumah itu pun terbuka. Lisa yang membukakan pintunya, dengan tangan yang kotor karena cat. Sebuah kuas pun masih ia pegang, lalu tanpa bertanya gadis itu persilahkan Jiyong untuk masuk ke rumahnya.
Di dalam, Jisoo tengah duduk menghabiskan sarapannya di meja makan. Mengira kalau Jiyong hanya satu dari sekian banyak rekan kerja Lisa, Jisoo hanya menggerakan kepalanya untuk menyapa. Ia biarkan Jiyong juga Lisa melangkah naik ke lantai dua. Masuk ke dalam studio kerja gadis itu, di sebelah kamarnya.
"Oppa, kau tahu? Sepertinya asistenmu berkencan dengan teman serumahku," kata Lisa, begitu ia menutup pintu studionya.
***