***
Baru lima tahun lalu Kwon Jiyong mengetahuinya, kalau ia punya seorang anak laki-laki yang sudah besar. Seorang anak laki-laki mendatanginya di night club, berkata kalau ia adalah putra bos besar di sana. Tentu awalnya Leo diusir, ia hanya seorang bocah yang baru lulus sekolah dasar, tidak seorang pun mempercayainya. Tapi bocah itu terus datang. Terus berteriak ingin bertemu dengan Jiyong, dengan ayahnya.
Ketika itu, petugas kemanan di club melaporkannya. Leo diantar ke kantor polisi, lalu walinya dihubungi— kakek dan neneknya. Leo kena marah, dibentak karena menemukan ayah kandungnya. Ia dimarahi karena hidupnya akan jadi semakin berantakan kalau bertemu dengan ayah kandungnya.
Ibunya baru saja meninggal, Leo yang sedari lahir tinggal di Seattle, Washington, tidak bisa menyesuaikan dirinya di Bellis. Sekolahnya mengerikan, masalah bahasa membuatnya dirundung, ditambah kakeknya yang selalu marah. Leo yang tidak bisa menyesuaikan diri berusaha keras untuk menemui ayah kandungnya. Berusaha keras untuk melepaskan diri dari rantai kekang kakeknya. Baru setelah satu tahun penuh ia berusaha, Jiyong membawanya pulang. Mengizinkannya tinggal, melepaskan ia dari radar kakeknya— meski tuntutan sang kakek tidak benar-benar hilang.
Setelah mendengarkan ceramah panjang tentang ujian masuk universitas, secara bergantian wali murid yang datang akan diberi kesempatan untuk konsultasi. Awalnya tentu mereka berdebat, siapa yang boleh masuk ke ruang konsultasinya. Tapi karena waktunya terbatas, Lisa bersikeras kalau mereka berdua harus sama-sama masuk ke sana.
"Tuan Wilson, aku datang ke sini karena diminta ayahnya. Kau tidak akan memberitahu ayahnya detail pembicaraan hari ini kan? Karena itu, biarkan aku masuk dan memberitahunya sendiri nanti," desak Lisa, tidak mau disuruh pergi dari sana.
Di dalam ruang konselingnya, Lisa tidak banyak bicara. Leo pun sama, duduk di tengah, diantara kakek dan teman ayahnya, Leo hanya menundukan kepalanya. Ia diam, hampir tidak berkomentar. Hanya ia gerakan kepalanya, ketika seseorang bertanya— mengangguk, atau menggeleng. Terang-terangan menunjukan ketidakinginannya berada di sana.
"Leo siswa yang pintar," begitu kata guru di sekolahnya. "Tapi dengan nilainya sekarang, fakultas kedokteran atau hukum BNU rasanya masih sulit. Kalau ingin kuliah di sana, Leo perlu ikut ujian masuknya, nilai-nilainya saja belum cukup untuk masuk ke sana. Mungkin kalau Leo ikut bimbel sekarang, dia bisa mengejar ujian itu," susulnya, di depan Lisa juga kakeknya Leo.
"Kau mau jadi dokter atau pengacara?" tanya Lisa, setelah mendengar pendapat guru bocah itu. Menyela ocehan sang kakek yang keheranan karena Leo tidak pergi bimbel. Kesal karena ayah kandung bocah itu tidak mengirim cucunya ke tempat bimbel.
"Tidak," jawab Leo, akhirnya bersuara, hanya karena Lisa yang bertanya.
"Lalu apa yang-" Lisa akan bertanya, apa yang ingin Leo lakukan untuk karirnya nanti. Tapi pembicaraan itu berhenti, di sela oleh suara sang kakek yang tidak mau menerima jawaban Leo.
Apapun yang ingin Leo lakukan nanti, anak laki-laki itu harus masuk fakultas kedokteran atau hukum. Nanti begitu ia lulus dari universitas nomor satu di sana, lulus sebagai sarjana kedokteran atau sarjana hukum, Leo akan bisa bekerja di mana saja. Leo akan bisa melakukan apa saja, nanti setelah ia menyelesaikan kuliahnya.
Karena tidak diberi kesempatan, Lisa dan Leo sama-sama diam. Keduanya bersandar ke kursi mereka, mendengarkan sang kakek bercerita, mengoceh tentang masa depan yang ia inginkan untuk cucunya. Sampai akhirnya konseling itu selesai dan mereka dipersilahkan keluar dari sana.
"Pulang lah ke rumahku setelah sekolah," kata sang kakek, memberi perintah pada cucunya yang baru saja menghela nafasnya. "Ayahmu tidak berguna, dia hanya akan menghancurkan masa depanmu seperti dia menghancurkan masa depan putriku," marah pria paruh baya itu.
Sekarang mata sang kakek melihat ke arah Lisa. Memperhatikannya dari atas kebawah, menilai Lisa lewat kacamatanya. "Bagaimana bisa dia mengirim salah satu pelacurnya ke sini? Memalukan," cibir kakek itu, membulatkan mata Lisa. Membuat gadis itu hampir saja lepas kendali dan memukulnya.
"Kakek!" Leo akan menggantikan Lisa memarahi kakeknya. Akan ia protes komentar kasar kakeknya itu, tapi Lisa sudah lebih dulu menahannya. Lisa ulurkan tangannya, memberikan kartu namanya pada pria paruh baya tadi.
"Tuan Wilson, sepertinya kau salah paham. Aku bukan pelacur, dan aku tidak kesini untuk mendengar hinaanmu," tenang Lisa. "Selain itu, Leo tidak akan jadi dokter atau pengacara sukses. Ayah ibunya bukan dokter atau pengacara, kakek neneknya pun bukan. Jadi jangan berharap banyak," susulnya, tetap santai meski ia telah mengejutkan Leo, terlebih kakeknya. "Leo baru akan sukses kalau dia melakukan apa yang dia mau," katanya, lantas menoleh pada Leo untuk bertanya apa yang bocah itu inginkan.
Selesai dengan urusannya di sekolah, Lisa kembali ke rumah. Kali ini ia hentikan mobilnya di atas bukit, tepat di depan rumah Jiyong. Dengan kunci miliknya, ia buka gerbang otomatis rumah itu, ditunggunya beberapa menit baru ia masukan mobilnya. Memarkir mobilnya di sebelah dua mobil lainnya.
Lisa masih duduk di mobilnya, masih mengecek handphonenya ketika seorang perempuan keluar dari rumah itu. Ia tidak mengenal perempuan itu, seorang dengan rok pendek dan kaus yang di tutupi cardigan putih. Rambut perempuan itu panjang, tapi sedikit berantakan seperti seorang yang baru saja bangun tidur.
Sebentar mereka berpapasan di pekarangan. Gadis tadi keluar dari rumah bersamaan dengan taksinya yang baru saja datang. Pergi meninggalkan rumah Jiyong tanpa mengatakan apapun. Lisa mendorong pintu depan sekarang, menoleh ke sekeliling, lalu menemukan Jiyong di dapur, bertelanjang dada, hanya dengan celana tidurnya.
"Pacarmu?" tanya Lisa, tentu membicarakan gadis asing yang baru saja dilihatnya tadi.
"Bukan."
"Pelacur?"
"Bukan. Ini hari Rabu," jawab Jiyong. "Jadi, bagaimana sekolah Leo hari ini?"
"Apa hubungannya perempuan tadi dengan hari Rabu? Oppa punya jadwal untuk membawa seseorang pulang di hari Rabu?" Lisa berkomentar, lantas ia beritahu Jiyong tengang apa-apa saja yang di dengarnya hari ini.
Sekolah Leo baik-baik saja. Anak laki-laki itu pintar, meski tidak ikut bimbel. Nilai-nilainya di sekolah bagus, masuk sepuluh besar dari tiga puluh anak di kelasnya. Leo juga masuk ke daftar lima puluh anak paling pintar di angkatannya— dari seratus lima puluh anak. Kemampuan olahraga dan jiwa seninya juga terhitung bagus.
"Gurunya bilang, Leo bisa melakukan apapun, dia serba bisa," kata Lisa.
"Kalau begitu tidak ada masalah, kan?" santai Jiyong, yang saat ini justru sibuk menyiapkan makanannya. Bisa dianggap sarapan yang terlambat, sebab jam sudah menunjuk tengah hari. Hampir masuk waktunya makan siang.
"Tidak ada masalah? Oppa tidak mendengarkanku, iya kan?" heran Lisa. "Leo tidak pergi bimbel, yang itu bukan jadwal bimbelnya," susulnya, menunjuk ke pintu lemari es. Menunjuk selembar jadwal yang Leo letakan di sana, dengan magnet bertuliskan Tokyo. Baru saja, Lisa mengingkari janjinya pada Leo.
***