***
Malam ini Lisa berjalan sendirian di lorong rumah sakit. Gadis itu mengelilingi rumah sakit, hanya untuk menghapus rasa sepi yang ia rasakan di kamar rawatnya. Lama berjalan, gadis itu akhirnya tiba di UGD. Ia tidak masuk ke ruangan besar itu. Hanya berdiri di sebelah pintunya, menghela nafasnya sebab ia mengingat kematian orangtuanya di sana.
Ayahnya penuh luka malam itu. Darah ada dimana-mana, sementara ibunya kelihatan baik. Ibunya kelihatan baik-baik saja, hanya terlelap, tanpa luka. Hanya ada beberapa luka lecet, tapi wanita itu tidak pernah lagi membuka matanya. Lisa memanggilnya, ia bangunkan ibunya, ia bentak mereka, menyuruh keduanya untuk kembali hidup. Namun sayang, tidak satupun mendengarkannya. Teo terlalu mencintai istrinya, tahu kalau Hani tewas meski ia sudah berusaha melindunginya, pria itu pun ikut pergi bersama kekasihnya.
Lisa tidak menyadarinya, kalau dirinya sudah berjongkok di sebelah pintu UGD, menahan sakit karena kehilangannya. Ia menekan dadanya kuat-kuat di lantai rumah sakit itu, berusaha mengatur nafasnya yang kini berantakan. Ingin mengisi banyak udara di dadanya, berharap semua oksigen itu bisa memenuhi dirinya yang terasa kosong. Ia hampir menangis di sana, hampir jatuh air matanya, tapi seseorang sudah lebih dulu merangkulnya.
Dokter Mino yang merangkulnya. Pria itu mengusap lengannya, lantas menenangkannya. Mino tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak tahu alasan Lisa duduk di depan UGD. Ia tidak tahu alasan gadis itu sesak nafas di sana. Tapi tetap ia tenangkan gadis itu, tetap ia ajak Lisa bicara, merangkulnya lalu membantunya untuk bangkit.
Di menit selanjutnya, tanpa tahu apa saja yang sudah terjadi, Lisa mulai menyadari kalau ia tidak lagi berada di UGD. Gadis itu berada di lorong sepi, di depan pintu menuju ruang operasi. Ia melihat ke sekeliling tempat itu, tidak ada siapapun di sana. Namun di ujung lorongnya, Mino berdiri, bergerak mengambil minuman dari mesin otomatis yang ada di sana.
Pria itu mengulurkan sebotol teh dingin ketika ia kembali. Ia bukakan tutup botolnya, lantas bergerak memberi petunjuk agar Lisa meraih botolnya dan menenggak teh yang dingin itu. "Aku kira, aku tidak boleh minum ini?" kata Lisa, hanya menerima teh yang Mino ulurkan.
"Kau mau aku mencarikanmu minuman lain? Tidak ada air mineral di sana, belum diisi ulang," katanya dan Lisa menggeleng.
"Karena dokter yang memberiku minumannya, aku akan meminumnya," kata Lisa, lantas menenggak sedikit air dari botol itu.
"Kalau kau sangat mendengarkan doktermu, kenapa masih berkeliaran tengah malam begini? Bukankah aku sudah menyuruhmu tidur?" tanya Mino, sekarang duduk di sebelah gadis itu. Bersandar pada sandaran bangkunya, sembari menatap dinding kosong yang ada di depan mereka.
"Aku sudah tidur," jawab Lisa. "Harusnya kau bilang sampai jam berapa aku harus tidur," susulnya, membuat Mino berdecak kemudian terkekeh sambil mengakui kesalahannya. Ia bersalah karena tidak memberi Lisa perintah yang benar, tidur sampai pagi.
Lisa ikut terkekeh. Tidak lama, sebab setelahnya mereka kembali diam. Lorong itu jadi terasa sepi sekarang. Begitu sunyi hingga rasanya Lisa bisa mendengar hembusan nafas Mino di sebelahnya. Suara hembusan itu terdengar semakin keras seiring berjalannya waktu, lalu berubah jadi senandung kecil yang menenangkan.
"Di sini dingin," kata Lisa, menghentikan senandung yang sudah ia dengar setidaknya dua puluh menit.
"Hm... Kalau kau ingin jawaban serius, itu karena AC dari ruang operasi yang lebih dingin," balas Mino menanggapinya.
"Jawaban tidak seriusnya?"
"Di sini tempat orang-orang menangis, dindingnya menyerap tangisan orang-orang," jawab Mino. "Sebelum di operasi, pasien dan keluarganya berpisah di sini, biasanya sambil menangis. Orang-orang yang menunggu keluarga mereka dioperasi menangis dan berdoa di sini. Begitu operasinya selesai, apapun hasilnya mereka juga akan menangis di sini. Daripada UGD, daripada kamar rawat, daripada kamar mayat, ada lebih banyak tangisan di sini," ceritanya.
"Aku juga menangis di sini," pelan Lisa dan Mino tidak menanggapinya. Pria itu diam, menunggu Lisa melanjutkan ceritanya. "Ayah dan ibuku meninggal di sini. Kecelakaan, dua tahun yang lalu. Kami tinggal di Los Angeles, tapi hari itu kami datang ke sini untuk liburan. Ada konser yang ingin aku tonton, orangtuaku juga ingin mengunjungi lagi tempat mereka biasa berkencan, nostalgia. Aku juga punya keponakan yang ingin kami temui. Hanya liburan keluarga biasa," cerita Lisa, setelah berbulan-bulan tidak ia bicarakan lagi kematian orangtuanya. Pada Jiyong, juga teman-temannya.
"Malam itu aku pergi ke club. Seorang temanku mengundangku ke pestanya. Aku pergi sendirian, lalu orangtuaku pergi berdua, aku tidak tahu kemana mereka akan pergi. Mungkin ke restoran favorit mereka, atau menemui teman mereka di bar, kemana pun tujuannya, mereka tidak pernah sampai ke sana. Di persimpangan, mobilnya ditabrak truk, dari sisi kanan. Ayahku yang menyetir, melepaskan pegangannya. Ia tahu dia tidak akan selamat, jadi dia memeluk ibuku, melindunginya. Tulangnya remuk, tengkoraknya hancur. Ada banyak sekali darah keluar dari tubuhnya. Ibuku kelihatan baik-baik saja, hanya ada beberapa lecet di tubuhnya, tapi dia meninggal lebih dulu. Pendarahan di dalam katanya. Mereka berdua sempat di operasi, tapi ibuku menolak untuk bangun. Pendarahannya terlalu parah. Ayahku sempat mendengar kalau ibuku meninggal, dia sempat sadar setelah di operasi, lalu pergi menyusul ibuku."
Mino tidak berkomentar. Lagi-lagi pria itu diam, tapi kali ini ia ulurkan tangannya. Ia rangkul bahu gadis di sebelahnya, sesekali mengusapnya. Ingin menenangkannya, terlebih saat bahu itu mulai bergetar. Saat Lisa mulai menangis karena merindukan orangtuanya. Sambil kembali bersenandung, dengan sangat pelan dan lembut, Mino menemani Lisa menangisi kehilangannya.
***