***
Malam ini Lisa tahu, alasan kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan itu.
Sang calon walikota memprovokasi ayahnya. Laki-laki cabul itu memprovokasi Teo dengan semua ocehannya. Aku pejabat pemerintahan, kau hanya gangster rendahan yang kebetulan punya uang. Aku terhormat, sementara kau dan keluargamu, kalian semua penjahat, pelacur, orang-orang bodoh yang hanya tahu caranya memukul dan menggoda— begitu perasaan sang calon walikota, terhadap Teo, istrinya bahkan Jiyong dan Lisa sekarang. Ia tidak pernah belajar dari kesalahannya di masa lalu, bahkan di depan Jiyong, untuk kedua kalinya ia menghina Teo, menghina Hani, menghina keluarganya.
"Waktu itu, orangtuamu ingin membunuhnya," begitu yang Jiyong katakan. "Mereka marah dan ingin membunuhnya, tapi mereka berusaha menahannya. Mereka menahan keinginan itu karenamu, karena khawatir kau akan mengetahuinya," sekali lagi Jiyong mengatakannya, kali ini di restoran, di depan pria cabul yang tetap berlutut, hampir bersujud di depan kaki Jiyong.
"Lalu pengecut ini mengetahuinya... Jadi, sebelum dia dibunuh, dia melakukannya lebih dulu. Orangtuamu bukan korban pertamanya, dia sudah berkali-kali melakukannya, pada siapapun yang mengancamnya," susul Jiyong, sengaja berjongkok, ingin melihat lebih dekat tikus penakut di depannya. "Harusnya kau membunuhku juga waktu itu, jadi aku tidak akan mengetahui rencanamu," kata Jiyong, sekali lagi memukul kepala sang calon walikota dengan mangkuk batunya.
Lisa tetap diam. Duduk menahan gemetar di kursinya. Marah dan takut bercampur jadi satu, saling mendominasi hingga ia tidak mampu menunjukan reaksinya. Semua bergerak cepat di depannya. Tidak lagi ia pahami ucapan Jiyong. Bak rekaman dalam kaset dvd yang dipercepat, semuanya bergerak, suara berdenging, sukses membuat jantungnya bekerja jauh lebih keras dari biasanya.
Dilihatnya dua pria datang dengan tas jinjing mereka. Awalnya Lisa pikir tas itu berisi uang, tapi ketika seorang pria menegur Jiyong, membuka tas itu tepat di sebelah Jiyong, bisa Lisa lihat beberapa senjata di sana. Melihat isi tasnya, yang ternyata bukan uang, sang calon walikota merangkak menjauhi Jiyong. Ingin ia melarikan diri, tapi kepalanya justru bertemu dengan kaki meja, kemudian dilihatnya kaki Lisa di bawah sana.
Lisa menjerit, bergerak mundur menjauhi meja itu ketika merasakan kakinya di sentuh. Bak baru saja menginjak kotoran, gadis itu mengumpat, menggerak-gerakkan kakinya menghentak lantai, berusaha menghilangkan jejak dari tangan seorang laki-laki kotor yang baru saja menyentuhnya, memohon belas kasihannya.
Jiyong melihatnya. Ia perhatikan Lisa yang hampir menangis karena jijik, juga takut. Ia berdiri sekarang, tidak lagi memegang mangkuk batunya tadi. Jiyong mengambil selembar tisu di atas meja, sempat bertukar tatap dengan Lisa, kemudian membiarkan gadis itu berbalik, melangkah keluar meninggalkan restoran.
"Lanjutkan seperti rencana," Jiyong berucap, bicara pada pria-pria yang tadi masuk membawakan tasnya.
"Kau sudah selesai, bos?" seorang anak buahnya bersuara, tapi Jiyong hanya menggumam untuk mengiyakannya. Pria itu berjalan keluar sekarang, mencari Lisa yang tengah berjongkok di dekat gorong-gorong.
Jiyong menghampiri Lisa, melihat gadis itu baru saja memuntahkan semua isi perutnya. Ia ikut berjongkok di sebelahnya, menepuk-nepuk punggung Lisa, kemudian mengulurkan sebotol air yang ia dapatkan dari pesuruhnya. Malam ini luar biasa gelap, hampir tidak ada cahaya selain dalam restoran tempat penganiyaan itu terjadi.
"Aku mau pulang," pelan Lisa, hanya meremas botol air yang Jiyong berikan padanya. Masih terlalu mual untuk menenggaknya.
"Hm... Akan aku minta seseorang mengantarmu pulang," tenang Jiyong, tidak lagi terdengar mengerikan seperti sebelumnya. Tidak lagi terlihat bengis seperti tadi.
"Kau tidak akan pulang bersamaku?"
"Masih ada yang harus aku selesaikan di sini," jawabnya. "Aku akan langsung menemuimu setelah selesai, kau pulang lah lebih dulu," susulnya.
Lisa sempat ragu. Tentu ia penasaran kenapa Jiyong masih perlu berada di sana, meski dalam lubuk hatinya ia bisa menebak alasan pria itu harus berada di sana. Malam ini gadis itu merasa luar biasa sakit, kepalanya berdenyut lebih menyakitkan daripada yang biasa ia rasakan. Jantungnya berdegup sangat cepat, melukai dadanya. Ingin cepat-cepat melarikan diri dari sana, seakan ia akan pingsan kalau tetap berada di sana.
Jiyong meminta seorang pesuruhnya mengantar Lisa pulang. Meminta anak buahnya itu memastikan Lisa benar-benar sampai di rumah, dengan aman, tanpa terluka, tanpa berhenti lebih dulu di tempat lain. "Telepon aku kalau sudah sampai," pesan pria itu, sekali ia usap rambut Lisa sebelum menutup pintu mobilnya.
Lisa tidak berkomentar, tidak juga mengangguk. Gadis itu tetap diam, sampai pintu mobil ditutup dan mobil melaju pergi dari sana. Malam itu Lisa bisa pulang ke rumah dengan selamat, ia telepon Jiyong seperti yang pria itu minta, kemudian memaksakan dirinya untuk terlelap. Ia berbaring menunggu kantuk datang. Ia masuk ke selimutnya, menunggu jantungnya jadi lebih tenang.
Kantuk tidak datang, degup jantungnya pun tidak mereda. Ke kamar mandi gadis itu pergi, duduk di sudut, bersandar ke dinding dinginnya. Tidak ada air yang dinyalakan, bahkan lampu pun tidak ia nyalakan. Lama ia duduk di sana, dengan mata terpejam sampai kemudian pintu kamar mandi di buka, lampunya menyala dan jerit kaget seorang perempuan terdengar.
"Astaga!" Rose yang membuka pintunya, langsung terkejut melihat Lisa duduk menyendiri di sana. "Apa yang kau lakukan di sini?! Augh! Mengagetkan saja!" susulnya.
"Berusaha untuk tidur," pelan Lisa.
"Tidur lah di kamarmu!"
"Terlalu nyaman."
"Memang begitu seharusnya," heran Rose, tetap berdiri di ambang pintu, mencari-cari celah untuk mengusir Lisa dari sana, agar ia bisa memakai kamar mandinya.
"Tadi malam aku melihat Jiyong oppa berubah jadi monster," pelan Lisa, masih menyandarkan kepalanya ke dinding kamar mandi. "Aku tidak bisa melupakannya," susulnya.
"Kenapa? Kalian bertengkar?" Rose bertanya, lantas ia melangkahkan kakinya, mendekati Lisa setelah sebelumnya ia tutup dan kunci pintu kamar mandinya lebih dulu. "Kali ini karena apa? Karena Leo berulah lagi?" tanyanya, ikut duduk di depan Lisa. Di lantai kamar mandi yang masih kering.
Lisa menggeleng, lalu diakuinya kalau orangtuanya meninggal bukan karena kecelakaan. "Aku tidak punya bukti apapun tentang kematian orangtuaku. Supir yang menabrak mereka ada di penjara sekarang. Tapi rasanya aku bisa mempercayainya, aku ingin mempercayainya, orangtuaku tidak mungkin mati hanya karena seorang pengemudi mabuk. Maksudku, sangat mungkin seseorang meninggal karena pengemudi mabuk, ada banyak orang yang meninggal karena itu, tapi orangtuaku? Ayahku masih pulang dan bermain bersamaku bahkan setelah berkelahi dengan geng lain. Ibuku masih tertawa menonton TV setelah diganggu sekelompok karyawan mabuk di bar, bagaimana bisa mereka meninggal di kecelakaan? Mereka pasti dibunuh, aku yakin mereka dibunuh."
***
Ternyata lupa publish 😭