16

152 30 2
                                    

***

Leo memunggunginya. Anak laki-laki itu berbaring di atas ranjang UGD sekarang, menutup wajahnya dengan lengan panjangnya, menghindar dari Lisa yang sekarang berdiri di belakangnya. Gadis itu melipat tangannya di depan perutnya, "ini bukan yang pertama kalinya?" tanya gadis itu, setelah ia menanyakan banyak pertanyaan sebelumnya.

Siapa mereka? Kenapa mereka memukulimu? Kenapa kau diam saja? Ini pertama kalinya mereka melakukan itu padamu?

Lisa sudah banyak bertanya sebelumnya, tapi tidak satu pun pertanyaan itu di jawab. Leo hanya diam, menghindari tatapannya, menutup rapat mulutnya. Enggan menjawab satu pun pertanyaan Lisa.

Ia masih menunggu Leo menjawab pertanyaannya, tapi bocah itu terus bungkam. Mino kembali setelah beberapa menit lalu ia beri Lisa waktu untuk bicara berdua dengan keponakannya. "Biarkan dia beristirahat dulu," kata Mino, meraih lengan Lisa, dengan hati-hati mengajaknya keluar, menjauh dari Leo.

"Ini bukan yang pertama kalinya," kata Mino, mengatakan kalau ia menemukan luka-luka lain di tubuh Leo saat memeriksanya tadi. Luka dari beberapa hari, mungkin juga beberapa minggu yang lalu. Perut bocah itu penuh memar, dan memarnya bukan hanya memar baru— kata Mino.

Lisa menghela nafasnya. Deru nafas itu kedengaran berat dan menuntut sekarang. Dadanya terasa sesak, Lisa tidak bisa menerima informasi itu. Membayangkan bagaimana selama ini Leo terluka dan menyembunyikan lukanya membuat gadis itu sesak nafas.

"Beri dia waktu," pinta Mino, ia tenangkan kekasihnya. Berjanji kalau dirinya juga akan membantu Leo, setidaknya membuat bocah itu bicara.

Begitu pemeriksaan dan pengobatannya selesai, Leo diizinkan untuk pulang. Anak itu bersikeras untuk pergi dari sana, mengatakan ayahnya akan marah kalau ia tidak pulang ke rumah malam ini. Mino dan Lisa pun tahu kalau anak laki-laki itu hanya beralasan, beruntungnya tidak ada luka yang mengancam jiwa, jadi Leo diizinkan pulang.

Jennie membawa mobilnya ke depan pintu UGD. Ia tidak bisa berlama-lama di sana, tapi Leo tidak mau masuk ke mobil meski Lisa memaksanya. "Kalau kau tidak masuk, akan aku beritahu ayahmu," ancam Lisa, tidak lagi bisa menahan dirinya. Emosi dalam dirinya, kemarahannya, tidak lagi bisa ditahan.

"Apa hakmu melakukannya?! Kau bukan ibuku! Berhenti bersikap seolah kau ibuku! Kau hanya perempuan bodoh yang dibawa pulang ayahku!" teriak Leo, ia bentak Lisa lalu ketika gadis itu masih terkejut, ia tinggalkan tempat itu.

Ini kali pertama bagi Lisa, merasakan pengkhianatan yang luar biasa. Meski ia sudah berkali-kali putus cinta, bahkan dirundung, tiap kata yang keluar dari mulut Leo ternyata jauh menyakitkan dari yang bisa Lisa bayangkan. Ia memutuskan untuk pulang sekarang. Dalam perjalanan mereka, Jennie tidak berkata-kata.

Tiba di rumah, Lisa membawa turun belanjaannya. Ia bawa semua belanjaan itu ke dapur, menata sebagian besar bawaannya di sana. Jennie mengekor, tapi masih tidak ia katakan apapun. Lisa tidak baik-baik saja sekarang, gadis itu marah tapi Jennie tidak bisa menjamin kalau Lisa akan merasa lebih baik jika ia ikut marah— bahkan bagi Jennie, semua ucapan Leo malam ini sangatlah keterlaluan.

Merasa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk Lisa, Jennie membawa dirinya masuk ke kamar. Ia letakan barang-barangnya di sana, lalu pergi ke kamar mandi. Di dalam kamar mandi, Jisoo ada di sana— mandi.

"Kau sudah pulang?" sapa Jisoo, masih mencuci rambutnya di bawah pancuran.

"Hm... Kami sempat belanja tadi," angguk Jennie, mulai membersihkan wajahnya di sana. "Lisa sedang marah sekarang. Tadi di supermarket, kami melihat Leo dipukuli," katanya, lantas menceritakan apa yang terjadi beberapa menit lalu. Termasuk bagaimana Leo membentak Lisa yang hanya ingin membantunya.

Jisoo selesai lebih dulu, ia keluar dari kamar mandi sementara Jennie masih akan berendam di sana. Masih ingin menenangkan dirinya yang sempat panik, kelelahan juga karena gagal mengejar mereka yang memukuli Leo.

Jisoo akan masuk ke kamarnya, tapi ia hentikan langkahnya di dapur. Di sana Lisa sedang mencuci piring. Bukan piring kotor, tapi semua piring bersih yang sebelumnya sudah tertata rapi dalam rak. "Aku sudah dengar apa yang terjadi," Jisoo bersuara, menegur gadis di depan bak cuci piring itu. "Kau baik-baik saja?" susulnya, mencoba untuk peduli.

"Tidak, aku tidak baik-baik saja," jawab Lisa, tidak menoleh tapi ia remas dengan keras spons cuci piringnya. "Aku marah, sangat marah. Luar biasa marah sampai rasanya ingin menghancurkan semua piring ini," akunya kemudian.

"Kalau begitu jangan mencuci piring," kata Jisoo. "Marahi saja anak itu. Datangi rumahnya, marahi dia, laporkan dia ke ayahnya. Dia bilang kau bukan ibunya, jadi adukan saja dia. Untuk apa berhati-hati? Kau bukan ibunya, dia yang bilang begitu, biar dia merasakan akibat dari ucapannya sendiri," susulnya.

Lisa mengangguk, tapi tidak ia lakukan saran itu. Sampai tengah malam, Lisa tetap di sana, mencuci piring yang sudah bersih, berulangkali. Ia terus mencuci piring-piringnya sampai tangannya keriput, lalu begitu pagi mulai datang, ia langkahkan kakinya untuk pergi keluar. Rose baru saja pulang ketika Lisa akan pergi, mereka berpapasan di gerbang depan dan Lisa berpamitan, mengatakan kalau ia akan pergi lari pagi.

"Bukan kah ini terlalu pagi untuk lari?" heran Rose, tapi Lisa tidak mendengarnya. Gadis itu tetap berlari, pergi mengelilingi rumahnya sendiri lalu menelepon Jiyong ketika ia melewati rumah pria itu.

Jiyong kedengaran seperti seorang yang baru saja bangun tidur ketika Lisa meneleponnya. "Ada apa? Kau kena masalah?" tanya pria itu, dengan suara seraknya. Sesekali Jiyong batuk, lalu Lisa dengar suara pria itu meraih gelas di atas nakasnya. Lisa dengar Jiyong menenggak airnya sekarang.

"Temani aku lari pagi," kata gadis itu, berdiri beberapa meter dari rumah Jiyong. "Aku tunggu di depan rumahmu, keluar lah," suruhnya kemudian.

"Ini masih tengah malam-"

"Sekarang sudah jam setengah empat, cepat keluar," potong Lisa. "Aku tidak akan menemuimu lagi kalau kau tidak keluar sekarang," ancamnya, lantas ia akhiri panggilan itu.

Lisa menunggu, tapi Jiyong tidak juga keluar dari rumahnya. Lima menit ia menunggu, sepuluh menit lalu berubah jadi lima belas menit. Waktu terus berjalan dan Lisa tetap di sana, berdiri di trotoar, menunggu Jiyong keluar dari rumahnya. Lebih dari dua puluh menit, memasuki menit keempat puluh Lisa tetap di sana dan baru setelahnya sebuah mobil berhenti di depannya.

"Kenapa lama sekali?!" seru Lisa, melihat Jiyong akhirnya datang setelah empat puluh menit ia berdiri di depan rumahnya. Hanya berdiri sambil mengatur nafasnya yang tidak beraturan.

"Aku sudah meneleponmu, kau yang tidak menjawab teleponku," kata pria itu, tetap berdiri di sebelah mobilnya, memperhatikan Lisa yang sekarang kelihatan marah. "Kenapa kau ingin bertemu denganku lagi? Lari pagi? Jam empat pagi?" susulnya heran.

"Hibur aku, anakmu berengsek," ketus Lisa, memutuskan untuk masuk ke mobil Jiyong, sebab pria itu tidak kelihatan seperti seorang yang siap pergi lari pagi dengannya. Jiyong datang dengan setelan jasnya, entah ia datang dari hotel mana.

***
Seharian wpku eror ga bisa ngetikk, ternyata kudu update

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang