***
Hari ini tepat dua minggu Mino tidak bekerja di rumah sakit. Jennie tidak benar-benar menghitungnya, sebab ia sendiri beberapa kali absen karena kehamilannya. Seorang kepala perawat di UGD yang mengatakannya, kalau ia tidak bisa menghubungi Mino. Laki-laki itu tiba-tiba menghilang begitu saja.
"Kapan terakhir kali kalian melihatnya?" tanya Jennie, yang hari ini bekerja di UGD, seperti biasanya.
"Dua minggu yang lalu, saat dia menggantikanmu ke pulau Poppy," jawab wanita yang beberapa tahun lebih tua dari Jennie itu. "Mungkin dia sibuk menyiapkan pernikahannya, katanya dia cuti beberapa hari, terlalu sibuk sampai tidak bisa menjawab teleponnya," susulnya.
Jennie mulai khawatir sekarang. Pasalnya, Lisa mengurus kebutuhan pernikahannya sendirian. Mino tidak ada di sana, tidak membantu Lisa menyiapkan pernikahan mereka. Laki-laki itu pun mengabaikan teleponnya, meski beberapa kali Lisa mengaku kalau ia masih rutin bertukar kabar dengan kekasihnya.
Semoga saja dia hanya pergi menenangkan dirinya, karena terlalu gugup untuk menikah sekali lagi— harap Jennie, enggan berprasangka buruk meski semua tandanya mengarah ke sana.
Jennie memilih diam, tidak ingin membagi kekhawatirannya pada Lisa. Mereka masih bertukar kabar, mereka masih saling menghubungi, ia tidak perlu banyak ikut campur dalam hubungan romantis temannya. Ia rasa kecurigaannya hanya akan menjadi malapetaka dalam hubungan yang kelihatannya baik-baik saja. Diam adalah pilihan terbaik yang bisa Jennie ambil sekarang.
Tapi sayang sekali, harapan Jennie tidak pernah terkabul. Kecurigaan yang ia khawatirkan akan jadi malapetaka, ternyata benar-benar terjadi. Memasuki minggu keempat sejak Mino hilang kabar, sepucuk surat dikirim ke rumah sakit, untuk Jennie juga untuk dokter kepala di sana. Mino pengirim suratnya.
"Bajingan berengsek, aku pantas kau sebut begitu, Jen," begitu awal suratnya. Ditulis dengan pena hitam, dalam tulisan tangan yang berantakan. "Aku tahu ini sama sekali tidak layak. Tapi kau mengenalku, kau tahu kalau aku tidak pernah melakukan sesuatu yang benar. Setiap kali aku melakukan kesalahan, kau selalu mengetuk pintuku, menyadarkanku, membawaku kembali ke jalan yang seharusnya. Ketahuilah kalau aku sangat berterimakasih padamu karena sudah menjagaku. Namun kali ini, aku tidak ingin kau melakukannya lagi. Aku tidak ingin diberitahu mana yang benar. Aku tidak bisa kembali. Aku pantas disebut bajingan, aku pantas menanggung rasa bersalahnya. Ini bukan tentangmu, bukan juga tentang Lisa. Ini tentangku. Aku memutuskan untuk pergi, bersama Somi," baca Jennie, lalu dirasakannya sebuah batu baru saja tersangkut di tenggorokannya.
Sekarang Lisa muncul dalam kepalanya— bagaimana bisa ia memberitahu Lisa tengang ini? Mino berengsek, benar-benar berengsek.
"Aku yakin sekarang waktunya kau mengambil handphonemu lalu mengirimiku ratusan sumpah serapahmu. Aku akan menerimanya, tapi Jennie, aku tidak bisa kembali. Aku tidak bisa pulang, karena di sana bukan lagi rumahku. Saat pertama kali aku menggantikanmu pergi ke pulau Poppy, aku bertemu lagi dengannya. Waktu itu kami hanya saling menyapa. Tidak ada waktu untuk mengobrol dan aku tidak pernah berharap kami akan bertemu lagi. Aku sangat mencintai Lisa, aku menyayanginya, sungguhan. Tapi aku kembali ke pulau ini lagi, aku bertemu lagi dengannya. Kali ini tetap di rumah sakit, tapi dia datang dengan luka di perutnya. Dia datang dengan ambulans, terluka, kecelakaan bersama seorang bayi di mobilnya.
Malam itu tidak ada dokter bedah trauma di sini. Semua orang sibuk dan dia butuh bantuanku. Lukanya parah sekali, aku menungguinya semalaman. Lalu aku melihat bayi di keranjang itu lagi. Perawat yang mengantarkannya, umurnya satu tahun, dia menangis karena merindukan ibunya tapi ibunya belum juga sadar. Jadi aku menggendongnya, anak itu kecil sekali. Matanya sama seperti milik ibunya, bayi perempuan yang cantik sekali. Dia berhenti menangis saat aku menggendongnya, dia tertawa saat melihat wajahku. Manis sekali.
Setelah dia sadar, aku bertanya padanya apa dia punya seorang anak sekarang. Dia sempat terdiam, lalu dia mengiyakannya. Dia memintaku untuk membawa lagi anaknya ke ICU. Namanya Izzie, dan ternyata dia putriku. Jangan salah paham, aku tidak pernah berselingkuh. Aku tidak tidur dengannya selama aku mengencani Lisa. Sebelum bercerai, aku mendonorkan spermaku. Lalu setelah perceraian kami, katanya dia merasa luar biasa kesepian, jadi dia memakai sperma yang aku bekukan. Izzie putriku, Jennie. Bayi kecil yang tertawa melihat wajahku itu, ternyata putriku. Aku tidak bisa kembali, aku tidak bisa meninggalkan Izzie. Aku harus jadi ayahnya. Aku tidak bisa membiarkannya hidup seperti kita, aku tidak bisa membiarkannya hidup hanya dengan satu orangtua. Dia berhak punya seorang ayah.
Aku berharap kau bisa ke sini suatu hari nanti, tapi bukan untuk memintaku kembali. Aku harap, kau bisa datang untuk menemui Izzie, melihat secantik apa putriku. Aku ingin mendengarnya memanggilmu Bibi Jennie. Aku ingin kau menyayanginya, aku juga ingin dia menyayangimu. Aku akan menunggu, sepanjang apapun waktu yang kau perlukan. Aku selalu bersyukur karena memilikimu, Jennie, temanku."
Selesai membaca suratnya, Jennie hanya bisa menghela nafasnya dalam-dalam. Perasaannya berkecamuk, campur aduk, tidak bisa memutuskan mana yang benar. Ia menyayangi Lisa, ia mengasihaninya, ia berharap gadis itu bisa jadi gadis yang luar biasa bahagia. Tapi di saat yang sama, ia pun merasa begitu untuk Mino.
Jennie merasa dirinya akan hancur ketika ia harus menyampaikan kabar ini pada Lisa. Hatinya nyeri membayangkan bagaimana sakit hatinya Lisa nanti. Tapi disaat yang sama, ia pun enggan merusak kebahagiaan Mino. Ia enggan menyeret Mino kembali, meninggalkan putrinya di sana.
Lalu di saat itu juga, di rumah, Lisa pun menerima surat dari pengirim yang sama. Bukan hanya Jennie, Mino juga mengirimi Lisa seamplop surat berisi permintaan maafnya.
***