***
Lisa menoleh ke belakang, memastikan Leo tidak mengekorinya dan meninggalkan tempat latihan itu. Masih sambil memegangi lengan Jiyong, sedikit menariknya, memaksa Jiyong untuk melangkah secepat dirinya. Yakin kalau tidak ada seorang pun yang mengekori mereka, Lisa menghela nafasnya. Setelahnya ia lepaskan tangan Jiyong, lalu mengukir senyum di wajahnya.
"Kalau dia tetap di sini dan orang-orang di tempat tadi mengenalnya, mereka akan melindunginya di jalanan kan? Orang-orang yang kemarin memukulinya sampai babak belur, tidak akan bisa mendekatinya lagi kan?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya.
Jiyong tidak pernah bermaksud begitu— menyuruh anak buahnya untuk melindungi Leo— tapi teori Lisa tidak lah salah. Di depan pria-pria kekar tadi, Lisa menyebut Leo sebagai putranya, maka tanpa perlu perintah khusus, dengan sendirinya orang-orang di sana akan melindungi Leo. Untuk alasan apapun, meski hanya untuk menjilat Jiyong, atau berusaha mendekatinya, orang-orang di tempat latihan tidak akan diam saja kalau melihat Leo dipukuli di jalan.
"Sekarang, ayo pergi makan ayam goreng," ajak Lisa, berjalan di sebelah Jiyong sambil melihat-lihat pasaraya, ingin tahu apa saja yang ia lewati tadi.
"Aku sudah bilang kalau ada polisi di restoran ayam goreng itu, kau lupa?" balas Jiyong. "Oh! Dan cobalah untuk menuruti ucapanku, sudah aku bilang untuk menunggu di tempat parkir, kenapa kau masuk sendiri? Bagaimana kalau orang-orang mabuk tadi melukaimu?" omel Jiyong kemudian, tetap mengekori Lisa berjalan di pasaraya.
Gym-nya ada di sudut belakang pasaraya itu. Dekat dengan tempat parkir, kalau Lisa menunggunya, gadis itu tidak perlu berkeliling pasaraya dan tersesat di dalamnya. Lisa tidak perlu bertemu segerombolan pria mabuk tadi kalau ia menuruti ucapan Jiyong.
"Kau pikir aku menyuruhmu menunggu tanpa alasan? Lain kali jangan begitu," tegurnya, tapi gadis yang ia ajak bicara hanya bersenandung, mengabaikan Jiyong.
"Oh! Ada mie, kalau tidak mau ayam goreng, oppa mau makan mie? Di sana," katanya, menunjuk sebuah kedai mie di tengah-tengah pasaraya itu.
"Tsk... Kau tidak mendengarkanku," gerutu Jiyong, dan benar saja, Jiyong yang berencana menolak kalah cepat karena gadis itu sudah lebih dulu duduk di kedai mienya.
Lisa tertawa dan memesan dua mangkuk mie untuk mereka. Sementara Jiyong berjalan menghampiri toko kudapan yang menjual air mineral. Ia beli dua botol air mineral di sana, sebab tahu Lisa tidak suka minum air kran yang dimasak. Gadis itu hanya minum air mineral yang dijual dalam botol, atau galon kalau ia sedang perlu berhemat.
Jiyong duduk di sebelah Lisa, mengoper air mineralnya, menunggu mie yang gadis itu pesan. Sambil duduk, Jiyong kembali menggerutu, sebab hari Rabunya tidak sesuai dengan jadwalnya, tidak seperti rencananya.
"Heish! Bukan salahku kalau hari Rabumu berantakan, putramu yang merusaknya," komentar Lisa. "Oppa hanya batal mengeluarkannya? Melakukannya? Aku membatalkan meetingku hari ini, kerugianku lebih besar," katanya, tidak mau disalahkan.
"Kau bisa meeting lagi besok," balas Jiyong.
"Oppa juga bisa melakukannya lagi besok, atau malam ini. Hari Rabu belum berakhir," santainya.
"Dengan siapa? Aku sudah menyuruhnya pergi tadi. Kau mau menggantikannya?"
"Heish! Dasar tidak bermoral," sebal Lisa, bersama dengan mie mereka yang sudah datang. "Lakukan saja sendiri, mau aku carikan videonya? Kau bisa menontonnya di kamar," susulnya kemudian.
"Hm... Carikan aku videonya," Jiyong menanggapi candaannya, tapi tanggapan pria itu justru membuat Lisa tersedak kuah mienya sendiri.
Lisa batuk, beberapa kali sampai wajahnya berubah merah. Jiyong membantu menepuk-nepuk punggungnya, juga memberinya air minum. Baru setelah selesai dengan gatal di tenggorokannya, Lisa meminta Jiyong untuk membicarakan masalah lainnya. Ia tidak ingin membicarakan kebutuhan biologis Jiyong di sana.
"Ya, jangan membicarakannya, makan saja," kata Jiyong, mendorong bahu Lisa agar gadis di sebelahnya itu kembali menghadap ke mangkuk mienya.
Lisa menurutinya. Sama seperti Jiyong yang sekarang menyeruput mie di depannya, Lisa pun melakukan hal yang sama. Satu suap, dua suap, lalu Lisa gerakan lagi kepalanya, menoleh pada Jiyong. "Tadi oppa benar-benar berhenti sebelum mengeluarkannya? Belum selesai? Dari suaranya aku kira-"
"Makan," potong Jiyong, memaksa Lisa untuk mengigit sepotong tipis daging dari mangkuknya, topping mie yang mereka beli.
"Tsk... Hari ini oppa menodai telingaku," protes Lisa, tapi setelahnya gadis itu berhenti membicarakannya. Ia makan mienya, menghabiskan isi mangkuknya kemudian mengeluh kekenyangan.
Selesai makan, Lisa membayar mie mereka. Lagi-lagi Jiyong kalah cepat mengeluarkan dompetnya. Sehabis makan Jiyong bertanya kemana Lisa akan pergi, apa mereka harus pergi bersama atau Lisa punya urusan lainnya. Gadis itu sempat berfikir, ia bisa saja kembali bekerja, tapi karena sudah terlanjur pergi Lisa enggan kembali.
"Sebenarnya aku ingin melihat Leo latihan, tapi aku lelah marah-marah di depannya," kata gadis itu, lalu merubah wajah santainya jadi sinis seperti tadi. "Membuat ekspresi begini benar-benar melelahkan," susulnya, memamerkan kemampuan aktingnya.
"Aku pikir kau hanya bisa pura-pura jadi hantu," komentar Jiyong. "Aktingmu tadi lumayan— sampai kau bisa mengalahkan ayahmu," ledeknya kemudian, mencoba meniru cara Lisa bicara tadi. "Kau pikir dia akan bisa melakukannya?" susulnya, sementara gadis di sebelahnya mengerutkan dahinya.
"Tentu saja oppa yang harus mengalah, kau yang harus pura-pura kalah," kata Lisa. "Kalau kau tidak begitu, dia bisa mati, ayahku saja tidak mau berkelahi denganmu. Dia bilang— Jiyong itu berbakat tapi dia tidak bisa mengontrol kekuatannya, kau hanya latihan tinju sebentar, jangan berlaga bisa mengalahkannya, dia tidak akan mengalah padamu," ceritanya, mengingat bagaimana ia dan ayahnya bercanda dalam penerbangan mereka ke Bellis.
"Kau ingin mengalahkanku? Tinju?"
"Heish... Mana mungkin? Aku hanya membual karena ayahku terus membicarakan kelas tinjuku," geleng Lisa. "Aku pernah ikut kelas tinju, sampai tiga tahun lalu aku masih ikut kelas tinju, sebelum liburan ke sini, hanya kadang-kadang, kalau bosan. Lalu pelatihku bilang aku boleh ikut pertandingan, tapi harus menaikkan berat badanku dulu. Ayahku ingin aku melakukannya, kami berencana melakukannya, tapi gagal. Aku tidak bisa menaikan berat badanku," tambahnya.
"Kalau tadi aku tidak datang, dan Leo di pukul, apa yang akan kau lakukan?"
"Melarikan diri? Mencari polisi? Pastinya aku akan mencari bantuan dulu," jawab Lisa, sembari menaikan bahunya. Tetap duduk di kedai mie yang sudah tidak lagi ramai. Jam makan siang sudah lama berakhir.
"Tsk... Kau bilang, kau pernah ikut kelas tinju," komentar Jiyong, kecewa pada jawaban yang Lisa berikan.
"Memang apa hubungannya dengan kelas tinjuku? Lihat kukuku," kata Lisa, kali ini sambil mengulurkan tangannya, menunjukan jari-jarinya yang dihiasi cat warna-warni, dengan beberapa stiker juga manik-manik. "Kukuku terlalu cantik untuk dipakai memukul orang, bagaimana kalau mereka rusak? Tsk... Meski bisa, aku tidak mau berkelahi dengan orang asing, aku tidak mau merusak wajahku," tegas gadis itu, lengkap dengan gelengan yakinnya. Teo mengajarinya berkelahi, membayar kelas tinju untuknya, tapi Hani mengajarinya untuk mencari bantuan. Sebisa mungkin terhindar dari perkelahian.
***