***
Tanpa sepengetahuan Lisa juga Jiyong, malam ini Leo kembali ke UGD. Luka pria itu jauh lebih parah dari sebelumnya. Seorang petugas ambulans yang membawanya ke sana dan bocah itu merasa beruntung karena Jennie yang malam ini bekerja di UGD. Sekali lagi, Leo minta dokter di sana untuk tidak menghubungi ayahnya.
Ia minta Jennie untuk tidak menghubungi siapa pun dan setelah beberapa menit berfikir, Jennie setujui permintaan itu, hanya sampai hasil tesnya keluar. Kalau bocah itu butuh operasi darurat, atau apapun yang mengancam nyawanya, Jennie jelas akan menghubungi ayahnya. Atau setidaknya memberitahu Lisa.
Beberapa pasien kembali datang, sementara Leo diminta menunggu hasil tesnya. Diminta tetap berbaring di ranjang UGD yang tertutup tirai. Baru setelah pekerjaannya senggang, tidak ada lagi pasien yang harus ia beri tindakan, Jennie menghampiri Leo. "Tidak ada yang berbahaya, hanya memar. Tapi memar kali ini lebih parah dari sebelumnya, kau tahu kan? Kau tidak akan bisa menyembunyikannya," kata Jennie, menunjuk wajah Leo yang sekarang juga babak belur.
Kalau sebelumnya Leo masih bisa melindungi wajahnya, kali ini pria itu benar-benar babak belur. Wajahnya memar, tubuh dan tangan-kakinya pun sama. Luka memar, luka gores, bibir yang sobek dan berdarah, Leo babak belur malam ini.
"Kau tidak akan memberitahu Lisa kan?" tanya Leo, tetap berbaring. "Kekasihnya yang dokter itu, dia tidak ada di sini kan?" susulnya, sebab ia tidak bisa mempercayai Mino untuk menjaga rahasianya.
"Dia akan tahu meski aku tidak mengatakan apapun," jawab Jennie, menunjuk wajah Leo yang sekarang penuh luka, lengkap dengan memarnya.
"Apa dia masih marah? Karena ucapanku kemarin?" sekali lagi Leo bertanya.
Kali ini Jennie menghela nafasnya. Ia tarik kursi di dekatnya, lalu memakainya untuk duduk di sebelah ranjang. Sebentar ia pandangi wajah Leo yang babak belur itu, berfikir bagaimana ia bisa bicara pada remaja di depannya. Jennie membencinya, pasien remaja. Dari semua jenis pasien yang datang ke UGD, pasien remaja ada di urutan pertama dalam daftar pasien yang ia benci.
Mereka bodoh dan mudah tersinggung, tapi kebodohan itu bukan salah mereka. Memang otaknya yang belum berkembang, belum selesai tumbuh, dan karenanya Jennie semakin membenci mereka. Jika bisa, Jennie ingin menghindari semua remaja dalam hidupnya.
"Aku kira dia akan mengerti," susul Leo, sebab Jennie tidak menjawab pertanyaannya. "Tapi tadi dia mengabaikanku. Setelah malam itu, dia tidak menghubungiku lagi," ceritanya.
"Untuk apa dia menghubungimu?" tanya Jennie, akhirnya bersuara. "Seperti yang kau katakan, dia bukan ibumu. Dia tidak punya kewajiban apa pun untuk mengkhawatirkanmu, atau menghiburmu, terlebih setelah apa yang kau katakan padanya," katanya, tetap tenang tanpa mengubah-ubah nada bicaranya.
"Tapi dia bibiku," kata Leo.
Tentu saja, remaja harus bersikeras. Leo harus merasa dirinya benar, hanya dirinya yang benar, dia remaja—pikir Jennie.
"Dia bilang dia bibiku, setidaknya dia harus bersikap seperti bibiku," yakin bocah itu. "Dia sudah dewasa, dia harusnya melakukan hal yang benar," susulnya.
"Dia sudah melakukan bagiannya, sebagai bibimu," jawab Jennie.
Sebentar Jennie menutup mulutnya. Tengah ia pikirkan kalimat yang lebih halus dari—kau yang terlalu bodoh untuk melihatnya, dia sudah membawamu ke rumah sakit, tapi kau justru memaki dan menyakiti hatinya—kalimat yang tidak akan membuat Leo merasa dimarahi. Meski ia benci para remaja, terlebih yang bertingkah seperti Leo sekarang, Jennie tetap tidak ingin bertengkar dengan mereka. Ia tidak ingin membuat Leo juga membencinya kemudian memperkeruh keadaan yang sudah terjadi. Jennie tidak ingin terlibat dalam urusan keluarga Leo.
"Apa yang dia lakukan? Aku sudah memintanya untuk tidak memberitahu ayahku, tapi dia tetap melakukannya," gerutu Leo, lantas menyalahkan Lisa karena sekarang rumahnya tidak lagi terasa nyaman.
"Bibimu sudah membawamu ke sini untuk diobati. Dia sudah menawarkan dirinya untuk membantumu menyelesaikan masalahmu. Tapi kau menolaknya, kau menyuruhnya untuk tidak melakukan apapun. Sekarang dia tidak melakukan apapun, kenapa kau masih marah? Apa yang sebenarnya kau harapkan darinya?" tanya Jennie, lepas ia dengar semua keluhan Leo.
Leo tidak menjawab pertanyaan itu. Ia membisu sekarang. Kepalanya bekerja, mencari jawaban atas pertanyaan Jennie, tapi tidak ada yang terpikirkan selain wajah khawatir Lisa malam itu. Leo ingin Lisa memperhatikannya. Leo ingin sang bibi berusaha mendekatinya. Ia ingin Lisa yang datang lebih dulu, meraihnya lebih dulu, minta maaf karena membuatnya kesal di rumah sakit tempo hari.
Sekarang ia tahu apa yang diinginkannya dari sang bibi, tapi saat ini, ia terlalu malu untuk mengatakannya. Sama seperti malam itu, ketika Lisa melihatnya dipukuli, Leo terlalu malu untuk menunjukan ketidakmampuannya. Ia terlalu malu untuk menunjukan kelemahannya.
"Apapun yang kau inginkan, kau harus bicara padanya lebih dulu, beritahu dia apa yang kau inginkan, baru setelah itu dia bisa memilih, akan mengabulkan keinginanmu atau tidak, bukan begitu?" tanya Jennie, tahu kalau Leo tidak akan menjawab pertanyaannya.
"Ahyeon bilang, kalau dia marah pada ibunya, ibunya akan membuatkannya omlate, makanan kesukaanya," kata Leo kemudian. "Dulu, saat ibuku masih hidup, kalau kami bertengkar, dia akan membuat pancake blueberry, kesukaanku, agar kami bisa berbaikan. Apa yang ibumu lakukan kalau bertengkar dengannya? Ayah dan bibiku tidak melakukan apapun untuk berbaikan denganku," susulnya.
"Entahlah," jawab Jennie. "Aku tidak tahu siapa orangtuaku," susulnya, cepat sebelum Leo kembali berkomentar. "Ibunya Ahyeon membuat omlate, ibumu membuatkanmu pancake. Tapi kau waktu itu, kau yang berteriak pada Lisa, kau yang bilang dia bukan ibumu. Karena itu dia tidak membuatkanmu pancake," katanya kemudian, lantas ia suruh Leo untuk minta maaf pada Lisa. "Siapa tahu kalau kau minta maaf, dia akan membuatkanmu pancake," tambahnya, tapi sayang ucapannya tidak lah cukup untuk menyadarkan Leo.
Leo berdecak sekarang, lantas ia balik posisi tidurnya. Ia punggungi Jennie, sembari menggerutu kesal— semua orang membela Lisa. Tidak satu pun berdiri di pihaknya. Tidak satu pun mengerti bagaimana perasaannya dan Leo jadi semakin marah karenanya.
"Apa Lisa yang memukulmu? Kau yang memukulnya, dengan ucapanmu. Aku berdiri di pihak korbannya. Kalau kau ingin seseorang berdiri di pihakmu, kau harus minta maaf padanya, dia akan berdiri di pihakmu kalau kau minta maaf padanya," kata Jennie, lantas bangkit dari duduknya. Ia tepuk pelan bahu Leo, mengusapnya beberapa kali, kemudian kembali berkata, "untuk jadi dewasa, kau harus tahu caranya mengakui kesalahanmu. Tapi yang lebih penting dari itu, kau harus tahu caranya minta tolong. Kau bisa belajar pelan-pelan, istirahat lah di sini, aku ada pasien lain," tenang Jennie, sambil mengusap-usap bahu pasiennya.
***