***
Bersama Leo, Lisa melangkah masuk ke dalam rumah bocah itu. Mereka masih ada di gerbang, baru saja menginjakan kaki di halaman sambil berbincang ketika pintu depan rumah itu dibuka. Seorang gadis yang keluar dari sana, bersama Jiyong yang membukakan pintu untuknya.
Gadis itu mencium bibir Jiyong, tidak lama, sebab Jiyong menyuruhnya untuk segera pergi. Di luar sudah ada sedan hitam lengkap dengan supirnya, akan mengantar gadis itu pulang. "Aku kira mobil diluar itu mau menjemputnya," komentar Leo, masih berdiri di pekarangan, menonton Jiyong yang sekarang menutup pintu depan. Menonton gadis yang sekarang melenggang membelah pekarangan, akan meninggalkan rumah itu.
"Sekarang hari Rabu?" tanya Lisa, sengaja menunduk untuk melihat jam tangannya.
"Bukan, Kamis," geleng Leo. "Hm... Mencurigakan, apa kita akan dapat ibu tiri sekarang?" komentarnya, langsung membuat Lisa menoleh ke arahnya. Gadis itu harus mendongak, sebab Leo jadi terlalu tinggi saat berdiri di sebelahnya.
"Huh? Kita?"
"Anak sulung, anak bungsu. Atau aku saja yang sulung? Aku lebih tinggi," kata Leo, menunjuk Lisa kemudian dirinya sendiri. "Beri salam, hati-hati di jalan nona," susulnya, menekan kepala Lisa agar menunduk, sementara si gadis yang baru saja lewat melihat heran pada mereka. Gadis itu menjadi canggung, dengan senyum malu-malunya ia ikut menunduk, menyapa sebelum benar-benar pergi.
Leo masih menonton si gadis hari Kamis pergi. Masih memperhatikan, menilai bagaimana selera ayahnya hari ini. Sedang Lisa lebih dulu meninggalkannya, berlari kecil masuk ke rumah sambil mengeluhkan sinar matahari yang terik hari ini. Jam sudah menunjuk pukul dua sekarang, tapi Jiyong yang bertelanjang dada baru saja selesai merebus mie instannya di dapur.
"Kalian sudah makan siang, kan?" kata laki-laki itu, saat di dengarnya pintu depan terbuka lalu tertutup lagi.
Lisa mengiyakannya, mengatakan kalau ia dan Leo sudah makan siang di restoran, di depan kompleks perumahan. Sementara Jiyong masih berdiri, membuka lemari es untuk mengambil minumannya, Lisa pun berdiri di belakangnya. Ia perhatikan bekas luka pada tubuh pria itu, tidak ada memar baru, tidak ada luka baru, tapi semua bekas lukanya sudah cukup untuk membuat Lisa mengasihaninya. Bekas luka itu, cukup untuk membuat Lisa mengingat tubuh ayahnya.
Ia menghela nafasnya, lalu Jiyong berbalik dan menatapnya. Melihatnya dengan sebelah alis yang dinaikan, menunjukan keheranannya. "Kenapa kau melihatku begitu?" tanya Jiyong, melangkah dengan sekaleng birnya, duduk di meja makan untuk menghabiskan makan siangnya.
"Appa! Oh! Baunya enak!" seru Leo, sekarang menerobos masuk, ia melihat ke meja makan, berjalan menghampiri Lisa juga Jiyong di sana.
"Buat sendiri," kata Jiyong, hanya melirik Leo yang sekarang berdiri di sebelah Lisa. Sama-sama memperhatikannya, memperhatikan tubuhnya yang bertelanjang dada. "Apa-" Jiyong akan bertanya, sekali lagi penasaran kenapa ia dijadikan tontonan siang ini. Namun, tidak seorang pun memberinya kesempatan untuk bicara.
"Appa! Lisa tidak mau menghormati calon istrimu barusan!"
"Oppa! Si bodoh ini tiba-tiba mau jadi polisi!"
Bersamaan, Leo juga Lisa mengadukan tingkah satu sama lain. Mereka sela pertanyaan Jiyong, kemudian duduk di depan pria itu. Ingin membuat laporan masing-masing didengarkan. Karena terlalu berisik, Jiyong tidak memahami semua ucapan dua orang di depannya. Suara mereka justru terdengar seperti polusi baginya.
Jadi, Jiyong letakan sendoknya. Cukup keras hingga membuat suara yang bisa menghentikan polusi di depannya. "Kalian masuk kamar masing-masing," ketus Jiyong, menatap tajam pada Leo dan Lisa, bergantian.