***
Tempat ini sarang penjahat, bisa-bisanya ia nekat masuk sendirian sampai ke ujung gedung yang sepi itu— Lisa merutuki keputusannya sendiri. Sekarang, di depannya segerombolan pria menoleh, menatapnya sambil menebak-nebak siapa dirinya.
"Kau tersesat, nona?" seorang pria bertanya, dengan rokok di tangannya.
"Ya, aku mencari gym, katanya ada di sekitar sini," tenang Lisa, menyembunyikan jantungnya yang berdegup keras.
"Kenapa kau mau ke sana? Suamimu yang selingkuh ada di sana?" tanya pria lainnya. "Aku bisa mengantarmu ke sana, tapi bagaimana kalau kau duduk dulu? Kita bisa mengobrol, membicarakan suamimu yang berengsek itu sambil minum-minum," tawarnya, lantas terkekeh.
Lisa mengulas senyumnya. Hanya senyum kecil yang tidak berarti apa-apa. Ia hanya ingin terlihat sopan, lalu cepat-cepat pergi dari sana. "Tidak, terimakasih, aku hanya ingin tahu arah gym-nya, bukan ke sini ya? Apa ke sana?" tolak gadis itu. Ingin cepat-cepat ia perbaiki kesalahannya, cepat-cepat pergi dari sana meski orang-orang itu tidak mau memberitahunya jalan.
"Ah ayolah, suamimu yang selingkuh tidak akan pergi dari sana, duduk dulu, kita mengobrol," kata laki-laki tadi, masih memaksa.
"Tidak, terimakasih," tolak Lisa, tetap tenang tapi ia tarik tangan Leo untuk pergi dari sana.
Lisa merasa tidak akan ada masalah di sana. Mereka berhasil berbalik, berhasil melangkah menjauh. Orang-orang itu pun hanya tertawa, menggoda Lisa dengan lambaian tangan mereka. Tidak ada sentuhan, tidak ada kontak fisik. Namun Leo dan otak remajanya tidak membiarkan itu terjadi. Sambil mengekori Lisa, bocah itu berdecak. "Orang-orang tidak berguna, apa mereka tidak bekerja? Bisa-bisanya mabuk dan menggoda perempuan siang-siang begini. Mereka harusnya dikebiri, menjijikan," cibir Leo, tanpa sempat memikirkan akibat dari ucapannya sendiri.
Gerombolan pria di lorong toko itu mendengar suara Leo. Mereka dengar kata demi kata yang Leo ucapkan. Bahkan mencibir saja anak ini tidak becus— gerutu Lisa, setelah teriakan beberapa pria di belakang mereka tadi. Sekarang segerombolan laki-laki itu menghampiri mereka. Tanpa basa-basi mereka memotong jalan Lisa juga keponakannya. Dengan kasar, mereka minta Leo untuk mengulangi ucapannya tadi.
"Minta maaf," suruh Lisa, ingin menghindari pertikaian. Meski harus mengeluarkan uang, akan ia lakukan apapun untuk menghindari perkelahian.
"Untuk apa? Aku tidak melakukan kesalahan apapun, mereka memang menjijikan," jawab Leo dengan mulut besarnya. Sama sekali tidak membantu— kesal Lisa.
"Apa katamu?" seorang pria sekarang menarik kerah Leo. Membuat ancang-ancang akan memukulnya. Lisa menahan mereka. Ia pegang tangan pria kotor yang mengancam keponakannya, mewakili Leo untuk meminta maaf, meminta juga pria itu untuk melepaskan keponakannya yang kurang sopan.
Sayangnya Leo tidak membuat situasi itu jadi lebih mudah. Justru ia tantang pria-pria mabuk di sana. Untuk sesaat, Lisa merasa putus asa. Haruskah aku tinggalkan saja bocah sialan ini? Biar dia menyelesaikan sendiri masalah yang dibuatnya, biar dia belajar caranya menjaga mulutnya sendiri— pikir Lisa.
Untungnya, Lisa tidak perlu membuat keputusan apapun— memohon untuk Leo atau meninggalkannya— sebab Jiyong sudah lebih dulu datang. Pria itu sedikit berlari, karena sempat mendengar situasinya lewat telepon. Sekarang, pria itu menghela nafasnya, ia hampiri Lisa dan gerombolan pria yang mengancam putranya.
"Kalau kau ingin memukulnya, cepat lakukan," kata Jiyong, tanpa penjelasan kepada siapa ia tengah bicara sekarang. Satu yang pasti, Lisa mendorong seorang yang menghalanginya dan berlari menghampiri Jiyong. Langsung berdiri di belakang pria itu, kemudian memegangi lengan bajunya— tidak pernah ia duga, tubuhnya mengingat kebiasaan itu.
Saat kecil, ketika anak-anak lain mengganggunya, merundungnya, Lisa selalu belaga berani. Seperti yang Leo lakukan sekarang. Lalu saat anak-anak lain terpancing dan ingin memukulnya, gadis itu berlari, pergi mencari bantuan. Jiyong— anak laki-laki yang diberi tugas mengasuhnya— selalu menjadi tujuan pertama gadis itu. Akan ia cari Jiyong, yang biasanya berada tidak jauh darinya, berlari pada pria itu, mengadukan anak-anak yang menganggunya.
Setelahnya gadis itu akan dipenuhi rasa superior. Seorang bocah laki-laki yang lebih tua darinya, tengah melindunginya. Anak-anak lain tidak akan bisa berkutik karenanya. Dan sama seperti dulu, gerombolan laki-laki genit yang tadi mengganggunya juga tidak berkutik sekarang.
Melihat Jiyong, seorang yang mencengkram kerah baju Leo cepat-cepat menarik tangannya. Lalu tanpa ada yang memberi aba-aba, orang-orang itu membungkuk pada Jiyong. Terus melihat ke tanah tanpa berani menatap mata Jiyong. Merasa kalau hidup mereka akan sengsara jika berurusan dengan Jiyong.
Ini bukan pemandangan yang asing untuk Leo, meski ia tidak seberapa sering melihat pria-pria kekar bertato membungkuk pada ayahnya. "Ayo," kata Jiyong, mengabaikan mereka yang membungkuk takut padanya, lalu memberi tanda agar Lisa juga Leo pergi bersamanya. Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dari lorong itu. Terus melangkah sampai ke sudut gedung, di sana segerombolan pria kekar berada. Beberapa bertelanjang dada— yang buru-buru menutupi dada mereka karena melihat Lisa datang— beberapa lainnya bergegas pergi saat melihat Jiyong datang.
Sama seperti gerombolan para pemabuk tadi, orang-orang di lorong ini pun membungkuk pada Jiyong, tapi kali ini Jiyong memberi tanda pada orang-orang itu untuk meluruskan punggung mereka. Tidak berselang lama, dari luar gedung, yang ternyata dekat dengan tempat parkir, Soohyuk datang.
"Maaf aku terlambat, jalanan macet," kata Soohyuk, segera menyapa Jiyong yang sudah lebih dulu datang.
"Hm... Aku juga baru datang," santai Jiyong, yang selanjutnya di persilahkan masuk ke tempat latihannya.
Tempat itu sama seperti gym pada umumnya. Ada banyak alat olahraga di sana, semuanya terlihat kokoh meski tidak mengkilap dan rapi. Di dalam, beberapa pria yang sedang berlatih langsung berhenti saat melihat Jiyong datang. Tentu segera menyapa pria itu. Para laki-laki yang tadi melarikan diri pun satu persatu kembali. Mengaku kalau mereka perlu mencuci tangan juga wajahnya sebelum menemui Jiyong— meski Lisa lah alasan sebenarnya mereka sembunyi. Menurut mereka wajah dan tubuh berkeringat tidak menarik untuk ditunjukan pada seorang perempuan.
"Kau latihan di sini bersama Soohyuk," kata Jiyong, sekarang bicara pada Leo.
"Aku tidak-"
"Lima kali seminggu sampai kau bisa mengalahkan ayahmu," potong Lisa, lagi-lagi dengan nada ketusnya. "Kalau kau menolak, aku tidak akan menemuimu lagi. Hubungan kita berhenti begitu kau menyerah dengan latihanmu. Dan aku pastikan kau akan menyesalinya," tegas Lisa, lagi-lagi melempar tatapan kesalnya pada Leo.
Sekarang, bukan hanya Leo yang merasa terancam. Jiyong dan Soohyuk pun bertukar tatap, saling bertanya lewat tatapan masing-masing— ini sungguhan?
"Aku tidak mau di sini, aku akan berlatih di tempat lain, dengan pelatih lain," kata Leo, tidak langsung menyerah. Meski dalam ucapannya, ada makna kalau ia akan mengabulkan permintaan Lisa.
"Hm... Lakukan saja," santai Lisa. "Kalau kau tidak keberatan latihan seumur hidup hanya untuk mengalahkan ayahmu," susulnya, lalu sekali lagi ia pegang tangan Jiyong, mengajak pria itu pergi dari sana, sengaja meninggalkan Leo bersama Soohyuk di tempat latihan yang panas dan bau keringat itu.
***