34

114 26 2
                                    

***

Pagi ini Jennie duduk di kamar mandi. Bersimpuh pada closet, baru saja mengeluarkan isi perutnya semalam. Di belakangnya, Lisa berlutut, menepuk-nepuk punggung rekan serumahnya. Menemani Jennie dengan morning sick-nya. Meskipun bisa, Jennie belum mau mengetes siapa ayah dari janinnya itu. Tidak juga ia ingin mengugurkannya.

"Aku ingin mengurusnya sendiri, tapi sepertinya Nico mulai menyadarinya, kalau aku hamil," kata Jennie, lepas ia mengusap mulutnya dengan selembar tisu yang Lisa ulurkan.

"Wah... Berapa usia kandunganmu sekarang?" tanya Lisa, sedikit menunduk untuk melihat perut Jennie yang belum banyak berubah.

"Hanya bertambah satu hari sejak kau bertanya kemarin, hampir empat bulan," ketus Jennie, bosan menjawab pertanyaan yang sama dan mulai berharap Lisa akan ikut menghitung usia janin itu bersamanya.

"Sudah tidak boleh digugurkan?"

"Aku memang tidak ingin mengugurkannya," jawab Jennie, lagi-lagi bosan menanggapi pertanyaan bodoh Lisa. Ia anggap pertanyaan itu bodoh, sebab Lisa sudah berulang kali menanyakannya. Meski disaat yang sama, ia pun tahu alasan Lisa bertanya— hanya ingin memastikan, Jennie benar-benar yakin akan keputusannya. "Jangan bertanya lagi, aku jadi ingin memukulmu," susulnya, tidak benar-benar bermaksud memukul siapapun.

"Jangan memukul wajahku, aku akan menikah sebentar lagi, aku akan memesan undangannya sebentar lagi," tolak Lisa, masih mengusap-usap punggung Jennie. Sekali lagi menepuk-nepuk punggung gadis itu, sebab untuk kesekian kalinya, Jennie kembali muntah pagi ini. Lisa pegangi helai-helai rambut yang menjuntai, memastikan tidak sehelai pun rambut gadis itu masuk ke dalam closet.

"Augh! Harusnya aku tidak makan wonton tadi malam, perutku rasanya panas sekali," gerutu Jennie, sekali lagi menyiram closet di depannya. Tetap bersimpuh, ingin memastikan tidak ada lagi makanan yang perlu dibuangnya. "Kalian sudah menentukan tanggalnya? Tidak ada pertemuan orangtua, keluarga, atau semacamnya?"

"Orangtuanya siapa? Tidak ada orangtua, paman atau bibi yang perlu kami temui," santai Lisa. "Kami hanya memilih satu hari libur untuk pestanya, masih beberapa bulan lagi, tapi kalau mendadak, biasanya hasilnya jelek," katanya.

"Ah... Kalian tidak punya orangtua. Tapi bagaimana dengan Leo dan ayahnya? Kau tidak mengenalkan mereka?"

"Kalau yang itu tentu saja sudah," angguk Lisa.

"Lalu kakak laki-laki yang menemanimu selama pemakaman dulu itu? Yang punya tato dilehernya itu. Kau sudah menghubunginya? Mengenalkan Mino padanya?"

"Itu Jiyong oppa, ayahnya Leo-"

Jennie kembali terkejut mendengar jawaban Lisa. Tapi reaksi yang diberikannya adalah kembali mengeluarkan isi perutnya. Sekali lagi ia muntah. Jennie masih muntah, ketika Rose datang untuk memakai kamar mandi.

Biasanya, gadis itu akan berpaling. Rose tidak akan masuk ke kamar mandi kalau ada orang lain di sana. Ia akan menunggu kamar mandi kosong, baru setelahnya ia masuk dan mengunci pintunya. Menjaga privasinya. Tapi kali ini, gadis itu menghela nafasnya. Mulai lelah karena harus selalu mengantre, sementara tiga rekannya yang lain menyabotase antreannya.

"Maaf, permisi, aku harus pergi meeting pagi ini," kata Rose, yang alih-alih mengantre seperti biasanya, pagi ini gadis itu melewati punggung Lisa dan Jennie kemudian masuk ke bilik pancurannya, membawa serta semua pakaian dan handuknya ke dalam.

Jennie mengusap lagi mulutnya, sekali lagi menyiram closetnya sementara Lisa masih mengusap-usap punggungnya. Bersamaan, dua gadis itu menoleh ke arah bilik pancuran, melihat Rose yang tengah melepaskan pakaiannya di sana. "Jangan melihat ke sini, aku malu," tegur Rose, memilih untuk berbalik, menghadap ke dinding, memunggungi Jennie juga Lisa.

"Kau pasti sangat terlambat," komentar Lisa, lantas berpaling. Gadis itu berdiri, membantu Jennie untuk bangkit bersamanya kemudian keduanya berdiri di depan westafel.

Jennie membasuh wajahnya di sana, sedang Lisa masih menunggu gilirannya. Hanya beberapa detik, sebab selanjutnya Jennie mengambil sikat giginya, mulai menggosok giginya sementara Lisa dapat giliran membasuh wajahnya.

"Bisakah kalian menutup pintunya kalau sudah selesai?" tanya Rose, tetap memunggungi kedua teman serumahnya.

Jennie menoleh ke pintu, melihat kalau pintu kamar mandinya sudah di tutup. Masih sembari menggosok giginya dan sekarang Lisa pun melakukan aktivitas yang sama. Mereka menggosok gigi masing-masing, sambil memperhatikan Rose yang terburu-buru membasuh tubuhnya.

"Punggungmu seksi," komentar jahil Lisa, membuat Rose merasa semakin malu berdiri di sana. Gadis itu mendengus, bergerak semakin cepat, buru-buru membersihkan dirinya. "Sekali dilihat tubuhmu memang tubuh seorang model, iya kan?" katanya, berlaga tidak melihat reaksi Rose.

"Hm... Perfect," susul Jennie, dengan maksud jahil yang sama.

Rose hanya menyabuni tubuhnya, kemudian membilasnya. Tidak ia seka tubuhnya dengan handuk— tidak ada waktu, karena ia terlalu malu menjadi tontonan Jennie dan Lisa yang sebenarnya sibuk memandangi paras masing-masing di cermin. Karena berbalik, memunggungi rekan serumahnya, Rose tidak tahu kalau Lisa dan Jennie tengah sibuk bertukar tatapan jahil lewat cermin. Ia baru mengetahuinya setelah kembali berbalik, tentu selepas ia memakai pakaiannya.

Lisa dan Jennie sekarang terkekeh. Sebab Rose terburu-buru keluar meninggalkan kamar mandi itu. "Sepertinya masih ada sabun di rambutnya tadi," komentar Lisa di tengah kekehannya.

Jennie ikut terkekeh, lantas ia katai Lisa jahat sebab merundung Rose yang baru bergabung dengan mereka. "Siapa yang merundung siapa? Tidak ada yang memaksanya mandi bersama," kata Lisa, membela dirinya sendiri. Mereka masih tertawa, kali ini sembari menyelesaikan semua urusan di kamar mandi— tidak mandi, hanya membasuh wajah dan menggosok gigi.

Ditengah obrolan itu sebuah pesan masuk ke handphone Lisa. Mino yang mengirim pesannya, mengucapkan selamat pagi seperti pasangan-pasangan lainnya. Jennie sempat melihatnya, lantas ia bertanya kapan Mino akan kembali dari luar kota. Ini kali kedua Mino menggantikan Jennie untuk memberi pelayanan medis ke desa terpencil.

"Besok atau lusa," kata Lisa, sembari melangkah ke dapur. Ingin mencarikan sarapan untuk ibu hamil yang perlu ia urus. "Jadwalnya besok, tapi tadi malam dia dapat pasien kritis, dia ingin memastikan pasiennya itu stabil sebelum kembali ke sini," susulnya.

"Pasien seperti apa?"

"Kecelakaan, perutnya tertusuk kaca... Tertancap sampai ke ususnya... Luar biasa, kan? Seandainya dia boleh memotretnya... Pasti berguna untuk pekerjaanku," kata Lisa.

"Mino yang mengeluarkan kacanya?"

"Hm..." angguk Lisa, tapi Jennie tidak segera menanggapinya. Ia terdiam, mengingat-ingat siapa saja yang pergi bersama Mino ke desa itu. Mino sudah selesai dengan spesialis bedah umumnya, tapi pria itu tidak pernah menyelesaikan spesialis bedah traumanya, Mino berhenti dipertengahan sebab mantan istrinya menyuruhnya begitu.

"Mungkin semalam mereka kekurangan orang," gumam Jennie, enggan membayangkan skenario terburuknya— Mino berbohong.

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang