15

182 32 0
                                    

***

Seperti janjinya, Jennie yang menyetir hari ini. Gadis itu mengekori Lisa, jadi ia juga yang harus menyetir. Menjadi asisten seperti yang ditawarkannya tadi. "Tadi aktris Jeon Jungsoo memarahimu?" tanya Jennie, dalam perjalanan mereka pulang.

"Rachel?" balas Lisa, menanggapinya dengan wajah yang terus tertunduk ke layar handphonenya. Tidak ada pesan dari Mino karena malam ini pria itu bekerja di UGD, tidak ada juga pesan dari Leo maupun ayahnya. Hanya ada sederet pesan panjang dari Jeon Jungsoo yang menanyakan pendapatnya— haruskah ia membicarakan lagi cincin tadi pagi, atau berlaga tidak pernah melihatnya.

"Rachel?"

"Jeon Jungsoo, di sekolah dia dipanggil Rachel. Kami satu sekolah, saat kelas sepuluh."

"Ah... Jadi kalian dekat?"

"Saat sekolah? Hm... Bisa dibilang begitu. Kalau aku bolos, dia akan mengadukanku ke wali kelas kami. Lalu kalau dia menyalin tugasku, aku juga melaporkannya. Kami banyak bertengkar dulu," cerita Lisa.

Jennie sempat terkekeh. Ia tidak pernah punya hubungan seperti itu sebelumnya— sering bertengkar, saling menjatuhkan, bersaing kemudian bersahabat. "Aku masih membenci anak-anak yang dulu sering menggangguku di sekolah," katanya kemudian. Penasaran karena Lisa bisa berteman dengan seseorang yang selalu mengadukan kesalahannya.

"Aku juga benci teman-temanku di sekolah dasar, mereka sering menggangguku. Karena itu aku pindah keluar negeri. Tapi di luar negeri, mencari teman juga sulit. Apalagi kalau orangtuamu pendatang, dan tidak punya banyak uang. Jadi karena kami sama-sama pendatang, mau tidak mau kami terus bersama. Bertengkar, berbaikan, bertengkar lagi, berbaikan lagi, terus begitu sampai sekarang," jawab Lisa, sekarang selesai dengan handphonenya. Jeon Jungsoo tidak lagi membalas pesannya.

Tahu kalau di rumah tidak akan ada makan malam, mereka berhenti di sebuah restoran. Jennie mengajak Lisa untuk makan lebih dulu di restoran Prancis, ia ingin sepiring pasta malam ini, sedang Lisa mengaku kalau ia akan menghabiskan seloyang pizza karena terlalu lapar. Selepas duduk dan memesan, keduanya kembali berbincang. Mereka bicarakan segala hal, mulai dari kelakuan konyol para aktor yang pernah Lisa lihat kemudian membicarakan Mino dan beberapa pasien aneh yang menemui Jennie di rumah sakit.

Sambil makan malam mereka berbincang, terus begitu seolah tidak pernah kehabisan topik pembicaraan. "Dulu, di sekolah, aku Mino dan seorang teman lainnya, kami bersahabat. Kami tinggal bersama, bertiga, karena tidak mampu membayar uang sewa," cerita Jennie. "Aku sekelas dengan Mino, lalu dia mengenalkanku pada sahabatnya, Somi. Kami tinggal bertiga, di apartemen studio kecil, lalu disekat dengan papan tipis," katanya. "Mino dan Somi sudah bersahabat dari lama, orangtua mereka pun dekat. Mereka tidak punya hubungan apapun, katanya itu murni persahabatan, memang tidak ada hubungan fisik apapun, ciuman apalagi seks, tapi saat itu kami semua tahu kalau mereka berdua saling mencintai," tuturnya, sebab Lisa mendesaknya untuk bercerita. Lisa ingin dengar cerita tentang mantan istri Mino.

"Dua sahabat yang akhirnya jatuh cinta? Tidak ada pria dan wanita yang bisa berteman, situasinya seperti itu?" tanya Lisa dan Jennie mengangguk.

"Somi cerdas, selalu jadi nomor satu. Dia bisa menyelesaikan semua masalah, kelihatannya begitu. Setiap kali Mino dapat masalah, entah karena dia membantu orang yang salah, melanggar aturan untuk menolong seseorang- ah... Mino bukan tipe orang yang suka tantangan, dia bukan orang yang senang melanggar aturan, tapi dia tidak tahan untuk tidak menolong seseorang. Kalau ingin menolong seseorang, dia akan melakukan apapun untuk orang itu, termasuk menghancurkan hidupnya sendiri," lanjut Jennie. "Awalnya Somi selalu ada di sana, tiap kali Mino melanggar aturan untuk menolong orang lain. Saat kami masih residen, dia menyuruh pasangan yang baru menikah untuk bercerai, suaminya sakit parah, sekarat, dan dia khawatir istri pasiennya akan bangkrut dan terlilit hutang kalau sampai suaminya meninggal."

"Kalau mereka bercerai, hutang pengobatan suaminya tidak akan jadi hutang istrinya. Suaminya juga bisa dapat bantuan biaya pengobatan karena sebatang kara? Bukannya itu bagus? Biaya pengobatan pasti mahal." komentar Lisa dan Jennie mengangguk.

"Mino bermaksud baik, tapi dokter spesialis yang bertugas tetap memarahinya. Mino dihukum dan Somi membantunya. Somi banyak membantunya, dia sering mencegah Mino bertengkar dengan dokter spesialis, menyelamatkan karirnya, dia seperti pelampung untuk Mino. Lalu mereka menikah. Tapi setelah menikah, mereka jadi banyak bertengkar, karena Mino tidak berubah."

"Dia harusnya tahu seseorang tidak mudah berubah," kata Lisa, dan sekali lagi Jennie mengangguk.

"Dia tahu seseorang tidak mudah berubah," santai Jennie, masih sembari menggulung-gulung pasta di garpunya. "Tapi setelah menikah, hidup yang Mino korbankan bukan hanya miliknya, Somi tidak bisa mengatasinya. Waktu itu Mino ingin jadi dokter relawan yang pergi ke medan perang. Kalau dia mati di sana, Somi akan jadi janda. Mereka bertengkar hebat lalu akhirnya bercerai."

"Akhirnya Mino pergi?"

"Tidak, pergi ke daerah konflik tidak mudah. Hanya karena kau seorang dokter dan ingin jadi relawan di sana, kau tidak bisa begitu saja berangkat ke sana."

"Dia mendaftar tapi gagal?"  tanya Lisa sekali lagi, dan Jennie menganggukan kepalanya.

"Tapi sekarang dia menyerah, karena itu dia pindah ke sini— selain karena di sini ada lowongan," katanya kemudian. "Omong-omong, aku rasa Jisoo mengencani seseorang. Aku beberapa kali melihatnya di minimarket, dengan seorang pria. Mereka makan bersama, mengobrol, tertawa, berpelukan juga," susulnya.

Sekarang mereka membicarakan Jisoo dan pria misteriusnya. Cerita demi cerita keluar, sampai akhirnya makanan mereka habis dan Lisa benar-benar berhasil menelan seloyang pizza sendirian, meski rasanya tidak senikmat di restoran Italia. Jennie yang membayar makan malam kali ini, lalu Lisa berkata kalau mereka harus mampir ke supermarket lebih dulu. Ia ingin membeli beberapa kudapan, sebelum besok malam tamu-tamunya datang ke rumah.

Pembicaraan masih terus berlangsung, tidak ada habisnya bahkan di supermarket sekalipun. Keduanya punya daftar belanjaan masing-masing, mereka juga membeli beberapa keperluan rumah— pembersih lantai, tissue sampai pengharum kamar mandi. Lalu setelah selesai dan memasukan belanjaan itu ke mobil, mereka lihat diujung tempat parkir, Leo meringkuk, melindungi dirinya sendiri dari kaki beberapa orang yang merundungnya.

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang