***
Ini hari yang lain. Malam sudah datang, tapi Lisa masih berendam dalam bathtub di kamar mandinya. Ia duduk di dalam bathtub penuh busanya, tidak ada yang dilakukannya. Ia hanya melamun di sana, menatap pada dinding keramik kosong di depannya. Nafasnya beraturan, namun ia tidak benar-benar tenang. Rasanya masih kosong, ia mengingat orangtuanya, namun tidak merasa sedih karenanya. Ia ingat Mino, tapi kesedihan pun tidak datang. Dipikirkannya pekerjaannya, pencapaiannya, tapi tidak satupun membuatnya senang.
Lama gadis itu begitu, sampai ujung jemarinya jadi keriput karena dingin. "Semua orang merasa begini," gumam gadis itu, baru setelahnya ia putuskan untuk bangkit. Menyelesaikan kegiatannya, menguras bathtubnya dan keluar dari sana. Di luar, Rose baru saja datang. Ia pulang dengan tas belanjanya, tersenyum menyapa Lisa.
"Akhir pekan ini, apa kau sibuk?" tanya Rose, yang sekarang duduk beristirahat di sofa ruang tamu.
"Tidak, kenapa? Kau mau berkencan denganku?" tanya Lisa, memilih untuk duduk di sebelah Rose, bersandar padanya sambil memeluk lengannya.
"Ayo berpesta," ajak Rose. "Merayakan pernikahanmu yang batal-"
"Hentikan," potong Lisa. "Pernikahanku yang batal, tapi orang-orang bersikap seperti milik mereka yang batal. Jennie terus mengkhawatirkanku, padahal dia yang hamil, Leo apalagi, dia yang lebih sakit hati daripada aku. Jisoo juga jadi sering-"
"Sekalian merayakan perceraianku," potong Rose, sama seperti Lisa yang tadi menyela ucapannya.
Sekarang Lisa mengangkat kepalanya. Ia berhenti bersadar pada Rose lalu menatap gadis itu lekat-lekat. Dahinya berkerut, tidak mempercayai apa yang baru saja ia dengar.
"Apa katamu?" tanya Lisa. "Aku salah dengar kan?" susulnya kemudian.
"Yang mana yang salah? Ayo rayakan perceraianku," ulang Rose sekali lagi. "Ah... Kau terkejut? Aku sudah menikah... Uhm... Delapan tahun?" jawab Rose, membuat Lisa langsung mendorongnya. Tidak seberapa keras, tapi cukup untuk membuat Rose bersandar nyaman ke sofa.
"Bohong," ketus Lisa, masih tidak percaya dengan apa yang masuk dalam telinganya. "Ah! Jangan menjahiliku. Kau itu model, mana mungkin-"
"Apa? Model tidak boleh menikah?"
"Tidak, mana mungkin aku tidak tahu ada model yang menikah? Beritanya pasti ada dimana-mana," bingung Lisa tapi Rose hanya terkekeh. Senyum mengembang di wajahnya lantas ia keluarkan isi tas belanjanya.
Ada sekotak sepatu di dalam tas belanja itu, lalu di sela-selanya ada sebuah amplop cokelat. Rose menunjukan isi amplop itu, dan di sana ada formulir perceraian yang sudah ditandatangani. Lisa sudah terkejut mendengar berita kalau Rose ternyata benar-benar sudah menikah. Dan ia jadi semakin kaget saat melihat nama laki-laki yang dinikahinya- Jung Jaehyun.
"Dia bukan managermu tapi suamimu?!" kaget Lisa, dengan gaya yang berlebihan. Gadis itu menjauh dari Rose, kakinya terangkat naik ke sofa, menekuk di depan dadanya. Kedua tangannya ia pakai untuk menutupi mulutnya. Menahan suaranya agar tidak terlalu keras.
Rose tertawa melihat reaksi itu. Tapi ia bersumpah, ia tidak pernah bermaksud menipu siapapun. Bertahun-tahun lalu, ayahnya membawanya datang ke Bellis, sebagai seorang imigran. Rose tidak tahu alasan mereka datang ke sana, tapi begitu tinggal di Bellis, hidupnya jadi semakin berantakan. Ayahnya berjudi, pamannya pun sama. Hutang dimana-mana, rentenir mengejar mereka.
"Aku bertemu Jaehyun di tengah-tengah kekacauan itu. Kami jadi dekat, lalu-"
"Kalian jatuh cinta dan menikah?" potong Lisa, tidak sabar untuk mendengar lanjutan ceritanya.
"Uhm... Semoga kau tidak kecewa, tapi tidak. Kami tidak jatuh cinta lalu menikah. Jaehyun sakit, dan aku butuh izin tinggal. Livernya bermasalah, dia punya kesempatan dapat donor liver, tapi untuk bisa operasi transplantasi, dia butuh seseorang untuk merawatnya. Seseorang yang tidak dibayar. Keluarga, kakak, adik, paman, bibi, sepupu, istri? Waktu itu dia tidak punya siapapun, jadi kami menikah. Dia punya istri, dia dapat livernya. Aku dapat suami, sekaligus kewarganegaraanku."
"Wah... Gila. Ternyata ada banyak orang gila di sini," bingung Lisa. "Jadi kalian menikah tapi kau tidak mengatakan apapun? Sama sekali? Padahal kau tinggal di sini?"
"Sebenarnya aku ingin memberitahumu, saat kau menawariku untuk tinggal di sini," aku Rose. "Aku bisa tinggal di rumah Jaehyun, agar tidak perlu bertemu laki-laki yang menjualku pada ayahnya Leo. Tapi tinggal di sini menyenangkan, jadi aku tetap di sini- ah! Semuanya menyenangkan, kecuali kamar mandinya," ceritanya kemudian.
"Lalu sekarang kalian bercerai? Kenapa? Kontrak nikahnya sudah kadaluarsa?"
"Aku tidak punya kontrak seperti itu," geleng Rose. "Ini bukan kawin kontrak seperti di drama. Tidak ada kontak, tidak ada aturan, menikah saja. Lalu sekarang bercerai saja," santainya.
"Kenapa? Kenapa bercerai?"
"Jaehyun ingin menikahi kekasihnya," jawab Rose dan Lisa kembali terkejut dibuatnya. Raut wajahnya, seperti seorang yang tengah menonton film thriller. Dahinya berkerut, matanya bergetar, persis seperti seorang yang merinding saat melihat adegan pembunuhan keji di layar bioskop.
"Kau tidak cemburu?" bingung Lisa. "Delapan tahun menikah dan kalian tidak merasakan apapun? Satu sama lain? Kalian tidak berciuman? Seks? Tidak ada?"
Rose menggeleng. Ia tidak cemburu, tidak pernah ia jatuh hati pada Jaehyun. Mereka hanya menikah di atas kertas, lepas pernikahannya, lepas semua form diisi, ditandangi, mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dengan pekerjaan masing-masing. Hampir tidak ada interaksi, tidak juga ada kewajiban untuk memuaskan satu sama lain. Pernikahan platonik yang sama sekali tidak kehilangan keseimbangannya.
"Kalau kau bingung, seperti hubunganmu dengan ayahnya Leo. Atau Jennie dengan Mino. Dekat, saling menyayangi tapi tidak ada gairah seksual," aku Rose, tapi Lisa tidak merubah raut wajahnya. Gadis itu tetap terkejut, tetap tidak bisa mempercayai apa yang baru saja di dengarnya.
"Kadang-kadang aku ingin bersetubuh dengan Jiyong oppa," pelan gadis itu. "Dia seksi kalau sedang serius," susulnya, tetap pelan.
"Wah! Sekarang aku yang terkejut, jadi kalian melakukannya? Tanpa sepengetahuan Leo?" komentar Rose.
"Tidak! Aku tidak melakukannya! Aku tidak pernah tidur dengannya! Jangan salah sangka!" protes Lisa. "Hanya karena ingin, bukan berarti aku langsung hilang akal dan melakukannya, aku masih bisa berfikir. Otakku masih berfungsi seperti seharusnya. Aku bukan hewan yang akan bersetubuh dengan siapapun!" katanya, mengatakan apapun yang terpikirkan olehnya. "Aku yang mengendalikan nafsuku, bukan sebaliknya," sebalnya kemudian.
"Kau tidak perlu menjelaskan sedetail itu, kau tahu kan?" goda Rose kemudian. "Kenapa? Kau diam-diam menyukainya? Atau masih ditahap denial?" susulnya.
Lisa mendengus sekarang. "Aku tidak menyukainya. Hanya kadang-kadang ada saat dimana dia kelihatan sangat seksi, luar biasa seksi, sampai kau ingin tidur dengannya. Tapi di detik selanjutnya, kau ingat seberapa berengseknya dia, lalu semua keinginan itu lenyap. Hanya ketertarikan seksual karena aku perempuan dan dia laki-laki. Tidak lebih. Saat melihat aktor seksi, atau laki-laki seksi manapun, apapun pekerjaannya, kadang aku berfikir begitu- wah tubuhnya indah sekali, bagaimana rasanya tidur dengannya?- hanya penasaran tapi tidak pernah punya niat untuk menggodanya. Hanya begitu, aku tidak mentolerir kesalahpahaman di sini. Aku tidak menyukai Jiyong oppa, dia berengsek. Kau tahu? Dia tidur dengan perempuan-perempuan berbeda setiap hari Rabu. Selama ini, aku tidak pernah melihat perempuan yang sama datang dua kali. Harusnya dia kena HIV sekarang, minimal herpes," ocehnya, terus berbincang.
***