***
"Jangan bilang padanya kalau aku yang memberitahumu," kata Lisa, sebelum ia menjelaskan detail ceritanya. "Aku berjanji tidak akan memberitahumu, dia mau membersihkan rumahku selama sebulan agar aku tutup mulut. Setidaknya, sampai perjanjiannya berakhir, oppa bisa berpura-pura tidak tahu, iya kan?" bujuknya, masih belum menjelaskan maksud ucapannya tentang bimbel tadi.
Jiyong meletakan piring sarapannya, isinya tiga telur goreng. Diletakan tepat di sebelah mangkuk mie instan yang sudah diseduh dengan air panas. Sekarang pria itu duduk, berhadapan dengan Lisa yang sedang memohon padanya. Membujuknya untuk berjanji menjaga rahasia mereka hari ini.
"Jadi, dikelasnya ada seorang anak ranking satu, paralel," kata Lisa, memulai ceritanya. Tentu saja setelah Jiyong berjanji akan merahasiakan cerita itu. "Tapi anak itu tidak seberapa beruntung. Ibunya bekerja di supermarket, jadi kasir, lalu melipat kotak pizza, membagikan sampel skincare, makanan dan brosur juga. Ahyeon, nama temannya Leo itu, dia pintar tapi tidak bisa ikut bimbel. Dan dia punya cita-cita, Ahyeon sudah tahu apa yang diinginkannya. Bukan dokter atau pengacara, tapi guru. Ahyeon ingin jadi guru bimbel. Jadi putramu yang baik hati itu memberikan uang bimbelnya pada Ahyeon, agar Ahyeon bisa ikut bimbel," kata Lisa, mengemas ceritanya sebaik yang ia bisa. Memastikan tidak seorang pun akan dimarahi hari ini.
"Jadi itu jadwal bimbelnya Ahyeon?" tanya Jiyong, menunjuk pada jadwal di lemari es. Lisa mengangguk untuk mengiyakannya. "Lalu kemana anak itu pergi setiap malam? Kalau bukan bimbel?" susulnya dan kali ini Lisa pun tidak tahu kemana Leo biasanya pergi.
"Kemana-mana?" ragu gadis itu. "Tapi kalau dipikir-pikir, untuk ukuran seorang pelajar, Leo memang senggang... Aku pikir dia hanya membolos, dia sering menemuiku."
"Dimana?"
"Tempat kerjaku."
"Sampai keluar kota?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.
Sekarang Jiyong pun mengangguk. Ia mulai memakan sarapannya, sementara gadis di depannya mengerutkan dahi. Heran karena Jiyong tidak terlihat peduli. Pria itu memang tidak punya orangtua yang mengurusi sekolahnya, Jiyong bahkan tidak menyelesaikan sekolahnya. Ia hanya punya ijazah sekolah dasarnya— itu pun kalau belum hilang. Tapi sikapnya sekarang tetap saja membuat Lisa keheranan.
Bukankah biasanya orangtua akan memberikan apa yang tidak diperolehnya kepada sang anak? Karena aku tidak sekolah, anakku harus sekolah. Karena aku tidak bisa makan daging, anakku harus bisa makan banyak daging— bukankah kebanyakan orangtua akan bersikap begitu? Orangtua Lisa begitu. Teo dan Hani berusaha sangat keras agar sang putri tidak perlu hidup seperti mereka.
"Hanya itu?" tanya Lisa, tidak merasa kalau Jiyong sudah memberikan reaksi yang tepat.
"Itu hidupnya-"
"Oppa! Kau ayahnya!"
"Ya! Aku bahkan tidak tahu kalau aku punya anak, mana bisa aku tiba-tiba jadi ayahnya, maksudku benar-benar ayahnya? Yang benar saja," balas Jiyong. "Biarkan Leo mengurus sendiri nilai dan bimbelnya, bagaimana dengan kakeknya? Mereka bertengkar?"
"Kakeknya marah karena kau tidak mau membayar bimbel untuk anakmu. Leo bilang, dia yang tidak ingin pergi bimbel, tapi aku bilang kalau kau akan membayar bimbel untuknya. Leo akan pergi bimbel, mulai sekarang."
"Kau ingin aku membayar bimbel untuk dua orang?"
"Memang kenapa? Oppa punya banyak uang," santai Lisa, lalu mencibir karena uang yang Jiyong punya bukanlah penghasilan yang legal. Jiyong mendapatkan banyak kekayaannya secara ilegal, mereka sama-sama menyadarinya.
"Kau juga tumbuh dengan uang yang sama," pelan Jiyong. Lantas sukses membuat Lisa marah.
Lisa tidak menyukai pekerjaan orangtuanya. Ia dirundung ketika kecil, ayahnya pembunuh dan ibunya pelacur— anak-anak sebayanya mengatainya begitu sepanjang masa kecilnya. Awalnya ia bisa menahan semua hinaan itu, karena cinta kedua orangtuanya. Tapi semakin dewasa, ia ingin kedua orangtuanya berhenti.
Pada akhirnya Teo dan Hani memang berhenti. Mereka tidak lagi bekerja di night club, tidak lagi mengelola rumah bordil, tidak lagi menagih hutang dan memukuli orang. Mereka pindah ke Los Angeles, setelah Lisa menyelesaikan sekolah dasarnya. Menetap di sana, sampai Lisa pikir orangtuanya sudah benar-benar berhenti. Kenyataan kalau orangtuanya hanya berpura-pura berhenti membuatnya murka beberapa bulan lalu, dan sekarang Jiyong mengorek lagi luka itu.
Gadis itu kembali berdiri sekarang. Dengan wajah ketusnya, ia balik piring yang berisi telur milik Jiyong. Lisa mendengus, sementara Jiyong menaruh sendoknya dengan kasar ke atas meja. Kesal karena dirinya tidak menduga reaksi barusan. Tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, kalau Lisa akan membalasnya dengan menumpahkan telur-telur setengah matangnya ke meja kayunya.
"Menyebalkan! Urus sendiri keluargamu!" sebal Lisa, sekarang melangkah dengan kaki yang ia hentak-hentakan ke lantainya. Meninggalkan Jiyong yang berteriak karena kesal. Karena makanannya di hancurkan.
"Dasar kekanakan," gerutu Jiyong, tetap duduk di kursinya. Tidak ia kejar gadis itu, tidak juga ia berusaha membalasnya. Kini, pria itu balik lagi piringnya, namun ia biarkan telurnya tetap di atas mejanya. Ia makan telurnya dari sana, sebab terlalu malas memindahkannya lagi dari sana.
Lisa keluar dari rumah itu. Ia banting pintunya, lalu membuka gerbang rumahnya. Agar dirinya bisa mengeluarkan mobilnya dari pekarangan. Bersamaan dengan gerbangnya yang terbuka, sebuah taksi berhenti di depan rumah Jiyong. Seorang perempuan keluar dari taksi itu, melangkah mendekati rumah dengan pakaiannya yang super seksi.
Payudaranya besar, terhimpit oleh pakaiannya yang ketat. Pusarnya terlihat, sebab pakaian itu hanya menutupi payudaranya. Bahu dan perutnya terlihat bebas, menang sengaja dipamerkan. Roknya pun mini, hampir tidak menutupi apapun. Kalah bersaing dengan bokong yang bulat dan seksi.
"Augh! Anaknya sekolah dan dia sibuk bersenang-senang? Dasar laki-laki berengsek! Dia harusnya dikebiri, dasar tidak berguna," gerutu Lisa, sembari melirik sinis pada gadis yang sekarang berlari. Seolah tengah mengejar gerbong kereta yang pintunya hampir tertutup. Lisa berdecak melihat anggota tubuh gadis itu bergoyang saat ia berlari, merasa sangat terganggu meski biasanya ia tidak peduli bagaimana pun bentuk tubuh seseorang.
Gadis itu sekarang masuk ke dalam mobilnya, sementara gadis yang tadi datang buru-buru mengetuk pintu depan. Lisa tidak memperhatikan bagaimana cara gadis itu mengetuk, ia tidak peduli meski gadis itu akan melubangi pintu rumah Jiyong. Masih dengan perasaan kesalnya, gadis itu mengemudi pulang sekarang. Ia masuk ke rumah mewahnya yang sudah tua lalu melihat Rose bersama seorang pria di depan pintu kamar mandi.
"Oh, ini managerku," kata Rose, menunjuk pria yang sekarang memperbaiki pintu kamar mandinya.
"Jung Jaehyun, aku tahu," angguk Lisa. "Tapi apa yang kalian lakukan di sana?" tanyanya.
"Oh? Lisa? Lama tidak bertemu," kata Jaehyun.
"Kalian saling kenal?" tanya Rose, tidak pernah menduga reaksi yang sekarang dilihatnya.
"Managernya Park Seojun," jawab Lisa, sekarang menunjuk Jaehyun sementara pria itu menggerakan dagunya, menunjuk Lisa dengan dagunya, sebab kedua tangannya sibuk memperbaiki pintu.
"Make up artist yang merias Park Seojun di film Marvel waktu itu," susul Jaehyun. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," tambahnya, kali ini bicara pada Lisa yang berjalan menghampiri dapur.
"Aku sudah menyangka akan bertemu denganmu," santai Lisa. "Tapi... Rosie, bisa kita bicara sebentar? Berdua?" susulnya, meminta Rose untuk mengikutinya ke dapur. Menjauh dari Jaehyun, untuk memberitahu Rose kalau hari ini Jiyong membawa dua perempuan ke rumahnya. Hanya karena Jiyong membawamu ke sini, dan dia terlihat baik karenanya, jangan sampai kau jatuh cinta padanya, hari ini laki-laki berengsek itu akan menghabiskan waktunya untuk pesta seks seharian— itu yang akan Lisa katakan, memperingatkan Rose.
***