43

150 31 5
                                    

***

Lisa bertingkah seperti biasanya. Ia mengeluh karena enggan berangkat kerja, ia jadikan putus cintanya sebagai alasan malas keluar rumah. Di kamar mandi, bersama Rose, gadis itu mencuci rambutnya sambil menggerutu. "Apa aku tidak boleh cuti saat patah hati? Aku tidak ingin berangkat kerja," rengeknya, pada gadis yang sekarang sedang menggosok giginya di depan westafel. "Augh! Mino bajingan. Bisa-bisanya dia mencampakkanku di saat-saat begini? Setelah aku sudah meluangkan waktuku untuk mengurusi pernikahannya, ditengah-tengah sibuknya pekerjaanku? Aku harap dia benar-benar mati, jadi aku tidak terlalu malu," keluhnya. "Atau aku minta Jiyong oppa membunuhnya saja? Agar dia benar-benar mati? Aku yakin dia tidak akan keberatan melakukannya," katanya, terus mengeluh pada Rose.

"Kau yakin tidak apa-apa melihatnya mati?" tanya Rose, dengan mulutnya yang masih berbusa.

"Tidak, aku akan jauh lebih sedih dari ini kalau dia benar-benar mati," aku Lisa, lalu menghela nafasnya dalam-dalam. "Tapi... Dia ingin kembali pada istrinya, katanya mereka punya anak. Jennie bilang itu karena Mino pernah mendonorkan spremanya, bukan karena dia berselingkuh. Tapi tetap saja, perempuan mana yang cukup gila untuk membuat anak dari sperma beku mantan suaminya? Aku kira, aku sudah yang paling gila, membuat patung orangtuaku sendiri. Tapi perempuan itu lebih sinting dariku! Dia membuat mahluk hidup yang mirip dengan mantan suaminya! Sendiri! Memakai sperma beku! Setelah bercerai! Kau bisa mempercayainya?" Lisa mengeluh lagi.

Di depan teman-teman serumahnya, Lisa menunjukan ekspresinya. Untuk beberapa saat, gadis itu mengaku dirinya sedih. Ia pun marah, tentu saja kecewa. "Aku terluka, tapi disaat yang sama, masih ada banyak hal yang perlu aku urus. Pekerjaanku, rencana pernikahan yang harus aku batalkan, kuliahnya Leo— dia gagal ujian masuk akademinya. Augh! Kepalaku rasanya mau pecah!" ia terus mengeluh, karena dengan begitu orang-orang disekitarnya tidak akan khawatir.

Lisa tidak baik-baik saja, tapi ia bisa mengekspresikan perasaanya. Ia akan sembuh sebentar lagi. Ia tidak diam-diam memendam perasaannya. Ia akan baik-baik saja, sebentar lagi— begitu yang ingin Lisa tunjukkan pada orang-orang di sekitarnya. Rencananya gadis itu akan terus mengeluh sampai satu atau dua minggu kedepan, hanya untuk memastikan tidak seorang pun mengkhawatirkannya. Untuk meyakinkan semua orang disekitarnya kalau ia cukup manusiawi.

Tapi begitu pintu kamarnya ditutup, amarahnya pergi, kesedihannya hilang, begitu pun kebahagiaannya. Hanya kotak kosong yang tersisa. Ia menatap pada kamarnya yang penuh barang-barang, melihat ranjangnya membuat ia berfikir kalau ia boleh menangis di sana. Melihat meja riasnya, ia merasa kalau ia boleh menghancurkan cerminnya. Dalam ruangan itu, ia boleh berteriak, ia diizinkan melempar barang-barang, menangis meraung-raung atau berbaring selama yang ia mau. Tidur sampai keringat dan air matanya bercampur jadi satu dalam serat sepreinya.

Kosong. Semuanya terlihat transparan bagi gadis itu. Segalanya terlihat palsu. Amarahnya palsu, kesedihannya palsu, kekecewaannya pun sama palsunya. Lalu ia mulai bertanya-tanya, apa selama ini kebahagiaanku juga palsu? Lalu apa yang tersisa? Apa yang nyata? Lisa mempertanyakan hidupnya. Ia mempertanyakan dirinya. Ia meragukan hidupnya.

Surat yang Mino tulis, hanya menyisakan pertanyaan. Tidak ada perasaan apapun ketika ia membacanya. Kalau ini bukan salahku, kalau ini kesalahannya, lalu kenapa aku harus terluka? Bayi berumur satu tahun itu bisa menjadi jawaban atas semua pertanyaannya. Bayi itu bisa jadi alasan juga jawaban yang sempurna untuk semua pertanyaan. Tapi setelah semua pertanyaannya terjawab, yang tersisa bukanlah nilai sempurna. Yang tersisa hanya sebuah kotak kosong, tanpa apapun selain kegelapan di dalamnya.

Lisa menyimpan surat yang Mino tulis di laci mejanya. Tidak lagi ia buka surat itu setelah pertama kali ia membacanya. Meski begitu, isi suratnya masih terbaca jelas dalam ingatannya. Kekosongan yang dibentuk oleh surat itu, masih ada di sana.

Hari ini Leo berkunjung, bukan hal baru yang luar biasa. Seperti sebelum-sebelumnya, bocah itu datang untuk bermain. Kali ini Lisa belum pulang dari pekerjaannya, syutingnya berlangsung lebih lama dari perkiraan. Di rumah gadis itu hanya ada Jisoo, mereka menonton TV kemudian makan malam bersama.

Selesai makan, Jisoo bilang kalau ia akan pergi olahraga. Leo boleh menunggu Lisa di rumah, anak laki-laki itu boleh menunggu Lisa di kamarnya, atau di studionya— seperti biasanya. Ditinggalkan sendirian di rumah itu pun bukan hal baru, Leo tahu semua penghuni rumahnya sibuk.

Ia menunggu Lisa kembali, berencana akan menceritakan hubungannya dengan Ahyeon, juga ingin memberitahu Lisa kalau Ahyeon berhasil masuk ke universitas pilihannya. Sambil berkirim pesan dengan Ahyeon, Leo pergi ke lantai dua. Sengaja masuk ke studio Lisa, ingin memamerkan karya-karya bibinya itu pada Ahyeon.

Tapi di dalam ruangan itu, ketika ia tengah mencari tripod di laci, ditemukannya surat dari Mino. Sambil gemetar, Leo membaca suratnya. Ia meremas surat itu, dengan amarah yang hampir meledak. Dilupakannya tripod itu, ia batalkan keinginannya untuk pamer pada Ahyeon.

Leo menelepon Lisa, tapi malam ini gadis itu tidak menjawab teleponnya. Panggilannya langsung ditolak, Lisa pasti sedang sibuk sekarang. Meski tahu kalau Lisa akan terganggu dengan teleponnya, Leo terus menelepon. Tapi lagi, Lisa menolak panggilan itu. Sedang sibuk, aku akan meneleponmu nanti— hanya pesan template yang Lisa kirim. Gadis itu terlampau sibuk hingga tidak bisa menjawab teleponnya. Bahkan mengirim pesan pun tidak bisa.

Kesal karena Lisa terus mengabaikannya, Leo membawa surat itu. Ia pulang ke rumahnya, sebab tahu ayahnya ada di sana. Leo berlari pulang, melewati Jisoo yang juga sedang berlari. Mendahului gadis itu, tanpa peduli untuk menyapanya. Surat yang Lisa terima minggu lalu itu, sekarang kusut berantakan dalam genggaman Leo.

Tiba di rumah, Jiyong ada di pekarangan. Duduk di atas bangku tamannya, merokok sembari bicara dengan tiga anak buahnya yang berbaris. Mungkin Jiyong tengah memarahi mereka, atau sedang menerima laporan dari orang-orang itu, Leo tidak peduli. Tanpa permisi, ia interupsi pembicaraan ayahnya. Diletakkannya surat yang Mino kirim di atas meja.

"Appa, kau tahu soal ini?" tanya Leo, membuat Jiyong hampir marah karena gangguannya. "Lisa membatalkan pernikahannya, kau mengetahuinya? Kau memata-matai semua kekasihnya, kau tahu soal ini? Ini bukan perbuatanmu kan?" desaknya, hampir menuduh Jiyong yang jadi dalang perpisahan itu. Siapa tahu? Jiyong yang ternyata mengancam Mino untuk menulis surat kejam itu.

***
Plis bisikin aku link nonton series barat di tele, aku mau langganan bubblenya Lisa aja, gamau Netflix lagi 😭😭

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang