***
Pagi ini, selepas ia menyelesaikan shift panjangnya, Kim Jisoo duduk sendirian di minimarket. Dekat kantor pemandam kebakaran tempatnya bekerja, menunggu panggilan, Kim Jisoo mengisi perutnya. Ia menghabiskan semangkuk mie instan untuk sarapannya, duduk sendirian sembari melamun. Melihat ke jalanan ramai di depannya. Orang-orang lain mulai berangkat kerja, berangkat sekolah sedang ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya.
Tidak berapa lama, seorang laki-laki duduk di sebelahnya. Dengan setelan jasnya, laki-laki itu duduk meletakan mie instannya. Satu tahun terkahir ini mereka selalu bertemu, pada hari-hari tertentu, di jam yang sama, di minimarket yang sama dengan makanan yang itu-itu saja.
"Kau tidak kelihatan senang hari ini," laki-laki itu berucap, tanpa tahu siapa nama gadis yang ia ajak bicara.
"Ya, aku gagal menyelamatkan seorang pria hari ini," jawab Jisoo, juga tidak tahu nama dan pekerjaan laki-laki di sebelahnya. "Kecelakaan sepeda motor, tubuhnya terbelah jadi dua, dia masih sempat sadar saat aku datang. Hanya beberapa menit, kemudian meninggal tanpa tahu kalau kakinya tidak lagi menyatu dengan pinggangnya," ceritanya.
"Meski datang lebih cepat, kau tetap tidak akan bisa menolongnya."
"Hm... Karena itu, aku marah," pelan Jisoo.
Laki-laki itu tidak berkomentar. Mereka berhenti bicara sekarang. Hanya duduk, melamun sambil sesekali menghela nafas yang berat. "Bosmu yang jahat itu, bagaimana kabarnya?" tanya Jisoo kemudian, melanjutkan obrolan setelah lima belas mereka melamun.
"Aku memimpikan tatapan sinisnya tadi malam," jawab si laki-laki. "Mimpi buruk," susulnya, mempertegas ceritanya. Lalu mereka kembali diam. Terus diam sampai lima belas menit selanjutnya. Baru setelah terlalu lama diam, keduanya bangkit, berpisah, setelah bertukar sedikit senyuman kecut.
"Aku harap hari ini tidak terlalu berat," kata Jisoo, yang laki-laki itu jawab dengan anggukan kecil.
"Sampai ketemu lagi kapan-kapan," kata laki-laki itu.
Beberapa menit setelah perpisahan itu, Jisoo tiba di rumahnya. Dibukanya gerbang rumah itu, tapi hanya ia lihat mobil Lisa yang terparkir di sana. Ia belum mendengar apapun tentang pekerjaan Lisa sekarang, cerita tentang pria yang gadis itu kencani pun belum mengudara. Jadi bisa ia simpulkan kalau Lisa hanya bermain-main di rumah selama beberapa pekan terakhir ini.
Rumah sepi ketika ia masuk. Rose pergi bekerja, begitu juga dengan Jennie. Kalau Lisa, gadis itu mungkin masih tidur, setelah semalaman menyelami aplikasi kencan. Pekerjaannya kemarin— sampai pagi ini— melelahkan, karenanya begitu tiba di rumah Jisoo langsung terlelap. Ia berbaring di ranjangnya lalu tertidur, tidak sempat mengganti pakaiannya, bahkan terlalu malas melepaskan jaketnya.
Sementara gadis itu beristirahat, di tempat lain Jennie sibuk bolak-balik membuka tutup tirai di gawat darurat rumah sakitnya. Entah apa yang terjadi di luar sana, hari ini pasien-pasien berdatangan. Seseorang jatuh dari pohon, ada yang tertabrak mobil, berkelahi sampai pingsan, sampai pasien luka bakar karena kembang api.
UGD sudah ramai, tapi lagi-lagi Jennie diberitahu kalau akan ada ambulans yang datang. Ia menunggu di depan pintu masuk sekarang, berdiri di sana sembari mengatur nafasnya. Memastikan ia masih punya cukup energi untuk merawat beberapa pasien lainnya. Di detik selanjutnya, dokter lain menyusulnya.
Beberapa detik mereka menunggu, lalu ambulans yang datang berhenti di depan keduanya. Pintu ambulans itu dibuka, seorang paramedis yang lebih dulu turun, menarik brakarnya lalu menunjukan pasiennya. "Yoo Lisa, tiga puluh tahun-" Jennie tidak bisa mendengar detail lainnya. Ia juga rekan dokternya tiba-tiba saja membeku.
Pasalnya, pasien yang sekarang berada di atas brakar itu tengah meringkuk kesakitan dengan luka yang luar biasa mengerikan. Lehernya terluka, terlalu besar untuk disebut luka sayatan, dengan darah yang juga terlalu banyak. Baju tidur gadis itu merah kehitaman, dengan beberapa gumpalan darah yang mengendap kering di atasnya. Bahunya basah karena darah yang lengket, dengan wajah pucat dan mulut yang juga mengeluarkan darah.
Keringat membasahi dahi Lisa. Ia meringkuk karena nyeri. Tapi Jennie juga rekannya tidak bisa mendengar apapun. Bagaimana seseorang dengan luka separah ini masih bisa merintih kesakitan? Apa leher gadis ini hampir putus? Bagaimana dia bisa terluka separah ini? Ditebas pisau? Atau kapak?— kedua dokter itu bertanya-tanya.
"Ini make up," paramedis yang beberapa menit lalu juga terkejut bersuara. Menyadarkan Jennie juga rekan dokternya, lantas membawa pasien mereka ke dalam UGD.
Di dalam Lisa diperiksa. Gadis itu ada di rumah sendirian pagi ini. Jennie pergi bekerja, Jisoo belum pulang dan Rose baru saja pergi dengan managernya. Awalnya semua baik-baik saja. Sedari malam, Lisa sudah menyiapkan riasannya. Akan ia potret untuk dijadikan tambahan koleksinya. Tapi belum sempat ia memotret, perutnya terasa luar biasa sakit.
"Sudah beberapa hari perutku memang sakit, tapi hari ini sakit sekali," kata gadis itu, menjawab pertanyaan Jennie yang memeriksanya. "Tapi Jenn- dokter Jennie, bisa kau memotretku dulu?"
"Ya! Kau sedang sakit!"
"Karena itu, sebentar saja... Aku membuat luka bohongan ini semalaman... Foto aku sebentar saja, ya? Mumpung kita di rumah sakit, backgroundnya sempurna, please- akh! Perutku! Sakit sekali!" pintanya, dengan keringat yang bercucuran di wajah pucatnya.
Jennie sempat berfikir. Tapi akhirnya, ia menyerah dan mencari-cari handphone Lisa di saku gadis itu. Dokter yang tadi menemaninya kembali masuk ke ruang pemeriksaan, laki-laki itu menatap heran pada Jennie, bertanya apa yang gadis itu tengah lakukan. Jennie memberitahunya, kalau pasien mereka hari ini ingin di potret, dan laki-laki itu marah. Ia suruh Jennie untuk mengabaikan permintaan bodoh Lisa, karena gadis itu kelihatan sangat kesakitan, tapi Jennie tetap memotretnya.
"Pasien bodoh ini teman serumahku," kata Jennie, asal memotret pasiennya yang terbaring di ranjang kemudian meminta rekannya untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
"Kau tidak mengobatiku? Jennie!" Lisa berseru, sebab Jennie akan meninggalkannya setelah meminta rekannya untuk bekerja. Ia ulurkan tangannya, meraih tangan Jennie yang sekarang masih menyimpan handphonenya.
"Dokter Mino yang akan memeriksamu," kata Jennie, "kau ingin aku menghubungi seseorang? Ayahnya Leo?" susulnya, ingat kalau Lisa datang sendirian hari ini.
"Tidak, jangan menghubungi siapapun," geleng gadis itu, tapi rekan laki-laki yang harusnya bertugas tidak memberi mereka waktu untuk bicara lagi. Dokter Mino menyuruh Jennie untuk mengurusi pasien lainnya, sementara ia mengecek keadaan Lisa, juga mengajukan beberapa tes dan pemeriksaan untuk gadis itu.
***