***
Leo sibuk dengan ujiannya, Jiyong dan Lisa pun sibuk dengan pekerjaan mereka. Sesekali Jiyong masih bertemu dengan gadis itu, hanya saat makam malam. Kalau Lisa sedang tidak harus berkencan dengan kekasihnya. Semua berjalan seperti bagaimana seharusnya. Sangat tenang hingga Jiyong luar biasa menikmatinya. Karena tidak ada masalah apapun di rumah, ia bisa fokus pada pekerjaannya, pada rutinitasnya.
Hari terus berganti, ujian berakhir dan Lisa dengan senang hati mengajak Leo pergi ke Los Angeles bersamanya. Mereka tidak benar-benar pergi bersama, Lisa yang berangkat lebih dulu, bersama rekan-rekan kerjanya sementara Leo masih harus mengurus berkas-berkas keberangkatannya. Sudah delapan hari Lisa bekerja di Los Angeles, merias beberapa aktor untuk film laga yang sedang mereka rekam. Lalu di hari kesembilan, gadis itu mengemudi ke bandara, menjemput Leo di sana.
Beberapa hari mereka tinggal di Los Angeles, Leo perlu menunggu pekerjaan Lisa selesai, agar gadis itu bisa menemaninya pergi ke Seattle. Mendatangi makam ibunya yang sebenarnya sudah lama kosong. Ibunya di kremasi, lalu kakeknya menebarkan abu ibunya ke laut, tanpa seizin Leo sebab dipikirnya Leo masih terlalu kecil untuk mengerti, terlalu muda untuk membuat keputusan.
Mereka bersenang-senang, sesekali menelepon Jiyong hanya untuk memamerkan liburan itu. Kadang-kadang Jiyong menjawab teleponnya, kadang-kadang mereka bisa menghabiskan dua jam hanya untuk berbincang, tapi sebagian besarnya, Jiyong hanya mau meluangkan beberapa detik waktunya untuk bilang kalau dia sibuk.
Lisa berusaha menghadirkan Jiyong dalam semua bagian hidup Leo. Ia beri bocah itu banyak kenangan, sebab dirinya merasa Leo akan sangat sedih, merasa sangat kehilangan, begitu ia menikah nanti. "Setelah menikah, kau akan pindah rumah?" tanya Leo, di restoran dekat sekolahnya.
"Hm..." angguk Lisa. "Rencananya begitu, tapi akan tidak terlalu jauh, kau masih bisa berkunjung," susulnya.
"Rasanya aneh kau tiba-tiba mau menikah," komentar Leo. "Aku tahu kau selalu ingin menikah, tapi selama ini kita sudah seperti keluarga, kau anak pertama lalu aku anak bungsunya dan kita punya seorang ayah yang luar biasa menyebalkan. Rasanya sedikit aneh kalau kita berhenti hidup seperti itu," katanya kemudian.
"Aku anak pertama ayahmu?" heran Lisa. "Kau menganggapku begitu? Bagaimana bisa?"
"Lalu? Kau ingin dianggap kekasih ayahku? Yang benar saja? Dia tidur dengan wanita-wanita berbeda setiap Rabu, kau mau punya kekasih begitu? Augh! Seleramu soal laki-laki benar-benar buruk," ucapnya, tapi suaranya langsung merendah begitu ia ingin mengucapkan kalimat selanjutnya. "Tapi... Orang-orang di pasaraya, di tempat latihan, mereka semua percaya kalau kau kekasih ayahku. Apalagi setelah mereka tahu kalau kau putri bosnya. Sedari dulu aku tahu kalau Teo menyukai Jiyong, tidak mengejutkan kalau Teo ingin menikahkan Jiyong dengan putrinya— begitu katanya," ocehnya sembari menunggu burger pesanannya.
"Ibuku tidak akan setuju," geleng Lisa menanggapi ocehan itu. "Ibuku tidak akan mengizinkanku menikah dengan gangster. Lalu kalau ibuku tidak setuju, ayahku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa membantah ucapan ibuku," katanya kemudian. "Tapi... Aku bibimu, bagaimana bisa kau menganggapku anak pertama ayahmu?" herannya sekali lagi.
"Dia memperhatikanmu seperti sedang memperhatikan anak perempuannya? Semua laki-laki yang kau kencani, dia mengorek semua tentang mereka. Dia bahkan tahu seberapa banyak hutang keluarga mereka, aset mereka, siapa saja paman dan bibinya, bahkan anak haramnya. Aku melihat semuanya di laptop Paman Soohyuk, saat meminjam laptopnya untuk mengirim tugas," cerita Leo. "Semuanya kelihatan berengsek kecuali yang sekarang. Semuanya bersih, karena itu ayahku membiarkan kalian menikah," susulnya.
Sekarang Leo membuat Lisa merasa canggung. Haruskah ia berterimakasih karena semua penyelidikan ilegal itu? Atau haruskah ia marah karena Jiyong hanya bermaksud baik, karena pria itu hanya ingin melindunginya? Marah karena pelanggaran privasi atau berterimakasih karena penjagaan yang tidak pernah dimintanya?
Harusnya aku tidak perlu mengetahuinya— begitu menurutnya. Akhir-akhir ini, ia terlalu banyak menerima informasi yang tidak disukainya. Meski begitu, senyumnya tetap di sana. Senyum itu tidak pernah pergi, sebab begitu caranya membuat semua orang tetap merasa nyaman.
Selesai makan, mereka berjalan di sekitaran restoran itu. Leo bercerita tentang hari-hari di sekolahnya, tentang ibunya, guru juga teman-temannya. Anak laki-laki itu punya banyak hal yang ingin ia bagi, namun tidak seorang pun berada di sisinya untuk menerima bagian itu. Jiyong juga kakeknya, keluarganya, tidak seorang pun penasaran akan ingatannya.
"Meski ayahmu bukan orang baik, bukan ayah yang baik juga, tapi jangan terlalu membencinya," kata Lisa, setelah berhari-hari ia dengarkan keluhan Leo akan ayah juga kakeknya. "Tidak... Benci saja dia. Meski kau membencinya, aku yakin dia tidak akan keberatan, iya kan?" susulnya, setelah mengira-ngira reaksi Jiyong atas kebencian yang ditunjukan padanya.
"Augh! Karena itu aku jadi sulit membencinya," gerutu Leo. "Rasanya jadi seperti... Hanya aku yang rugi karena membencinya? Dia sama sekali tidak terganggu," susulnya, lantas bercerita pada Lisa, bagaimana reaksi Jiyong ketika ia menunjukan emosinya pada pria itu. Jiyong tidak bergeming.
"Kau melakukannya dan dia tidak marah?" tanya Lisa, setelah ia dengar cerita Leo, tentang dirinya yang melempar benda-benda ke ayahnya. "Kalau yang melakukan itu orang lain, aku yakin tangannya pasti patah. Sebelum aku pergi ke Seoul kemarin, dia memukul kepala seseorang dengan mangkuk panas. Kencang sekali sampai aku pikir kepalanya pasti remuk. Dia melakukannya hanya karena laki-laki itu bertanya apa aku bisa mendesah, apa aku tidur dengan ayahmu," cerita Lisa, tentu tidak bilang kalau laki-laki itu si calon walikota yang entah dimana keberadaannya sekarang.
"Sepertinya dia benar-benar ayahmu," komentar Leo. "Kau hanya dihina begitu, tapi dia memukul orang itu untukmu. Tapi saat aku dipukul orang lain, dia justru menyuruhku berlatih dengan Paman Soohyuk. Dia sama sekali tidak peduli padaku," keluhnya, terang-terangan menunjukan kecemburuannya.
"Saat itu kau tidak dipukul di depannya," tenang Lisa. "Kau kelihatan baik-baik saja, bahkan setelah dipukul, kau tidak mengeluh padanya, tidak mengadu padanya, jadi dia... Anggap saja dia diam saja? Lain kali, mengadu lah padanya, siapa tahu dia akan membalaskan dendammu?" katanya, sedikit ragu. Perlukah ia bilang pada Leo kalau Jiyong diam-diam membalas pukulan orang-orang itu? Meski tidak dengan tangannya sendiri.
Leo menggeleng. Bersumpah kalau ia tidak akan melakukannya. Baginya, mengadu pada Jiyong terlalu memalukan untuk bisa ia lakukan. Ia lebih memilih dipukuli berkali-kali daripada harus mengadu dan merengek pada ayahnya.
"Tapi kau tidak malu mengadu dan merengek padaku?" heran Lisa, lantas berdecak, tidak bisa memahami bagaimana otak Leo bekerja. "Ayahmu tidak pernah punya ayah, dia tidak tahu siapa ayahnya, jadi dia tidak tahu bagaimana caranya jadi ayah. Saat masih kecil, ibunya juga meninggalkannya. Karena itu ayah dan ibuku merawatnya, tapi ayahmu tidak dirawat seperti bagaimana orangtuaku merawatku. Ayahmu dirawat untuk dijadikan penerus ayahku? Kalau aku bilang begitu, apa itu membuat ayahku jadi penjahatnya? Pokoknya ayahmu berbakat jadi gangster, mungkin karena semua orang dewasa di sekitarnya begitu. Sedari kecil, dia tidak punya banyak pilihan selain menjadi apa dirinya sekarang. Karena itu, walaupun aku sering kesal padanya, walaupun aku sangat ingin melaporkan semua bisnis ilegalnya, aku tidak melakukannya. Dimana pun akhirnya, ayahku tetap terlibat, ibuku terlibat, sadar atau tidak aku tetap memakai hasilnya," akunya kemudian.
"Ibunya juga meninggal? Dia tidak mencari ayahnya? Sepertiku?"
"Aku tidak tahu soal ayahnya, tapi ibunya masih hidup," jawab Lisa. "Tapi jangan membicarakan wanita itu di depan ayahmu, wanita itu sudah melukainya, sangat parah. Seperti baru saja dijatuhi hukuman mati— mungkin begitu rasanya, untuk ayahmu. Ayahmu yang baik, ayahmu yang manis, sudah mati waktu itu."
"Kapan kejadiannya?"
"Saat aku masih sekolah dasar. Mungkin kelas satu atau awal kelas dua. Saat ayahmu masih sangat kecil, dan masih sangat membutuhkan ibunya."
"Kasihan."
"Tidak memberinya alasan untuk jadi berengsek, tapi... apa boleh buat? Aku terlanjur tahu alasannya jadi seperti sekarang. Aku tidak punya pilihan lain selain memakluminya," jawab Lisa, menaikan sedikit bahunya lalu menghela nafasnya. Rasanya sesak, mengingat bagaimana wajah terluka Jiyong kecil waktu itu. Ketika ibu pria itu, tanpa rasa bersalah mendorong Jiyong ke kaki Hani. "Aku berikan putraku untuk melunasi hutangku, jadi biarkan aku pergi dari sini," bahkan Lisa masih mengingat bagaimana ucapan wanita itu, Jiyong pun pasti masih menyimpan lukanya. Mustahil Jiyong melupakan kata-kata kejam itu.
***