***
Setelah selesai bekerja, Lisa mendatangi rumah Jiyong. Jisoo yang memberitahunya, kalau tadi Leo sempat menunggu lalu tiba-tiba berlari pergi. Jadi, setelah ia meletakan semua barang-barangnya di studio, setelah ia membersihkan tubuhnya, Lisa memakai baju tidurnya— kaus dan celana olahraganya— lalu pergi ke rumah Jiyong.
Saat itu sudah jam sepuluh malam, ketika ia datang hanya dilihatnya Jiyong yang menuruni tangga. Pria itu pun memakai pakaian santainya, hanya celana panjang dengan kaus hitam biasanya. "Oh? Oppa tidak bekerja? Atau sudah pulang? Leo di rumah?" sapanya, sama sekali tidak menunjukan kesedihannya. Tapi Jiyong menyadarinya sekarang— satu pekan terakhir ini, Lisa memalsukan senyumannya. Ia memalsukan kebahagiaannya.
"Aku tidak jadi pergi malam ini," santai Jiyong, lantas ia melangkah ke sofa di ruang tamunya. Ia gerakan dagunya, memberi Lisa tanda untuk mengikutinya.
"Kenapa? Ada apa? Leo berulah lagi?" tanya Lisa, mengekor untuk duduk di sofa. "Tadi dia ke rumahku, katanya ingin membicarakan sesuatu. Kali ini apa yang dia lakukan?" susulnya penasaran.
"Aku dengar kau membatalkan pernikahanmu," kata Jiyong, merubah raut wajah Lisa. Kini gadis itu memalingkan wajahnya, enggan menatap lawan bicaranya.
Lisa menghela nafasnya. Mengatakan kalau ia baru akan memberitahu Jiyong besok. "Aku sibuk sekali minggu ini, ada banyak urusan yang harus aku selesaikan. Besok aku libur, jadi rencananya aku akan memberitahumu besok. Tapi bagaimana oppa tahu? Kau memata-mataiku?" ucap gadis itu, setelah ia bisa mengendalikan raut wajahnya.
"Kenapa semua orang bertanya apa aku memata-mataimu? Tidak, aku tidak melakukannya. Aku juga punya urusanku sendiri, untuk apa aku ikut campur urusanmu," heran Jiyong, lantas ia keluarkan surat dari Mino tadi dari sakunya, mengatakan kalau Leo yang menemukan suratnya itu.
"Ah... Surat itu? Kalian membacanya?" tanya Lisa. Ia sudah tahu jawabannya, tapi tetap bertanya sebab tidak ada reaksi lain yang bisa ditunjukannya. "Tidak perlu memikirkannya, aku baik-baik saja. Ini bukan kali pertama aku gagal menikah, bukan sesuatu yang besar," susulnya, sekarang mengulurkan tangannya untuk menyimpan suratnya itu. "Sekarang aku percaya, tidak semua orang bisa menikah. Aku rasa, aku salah satu yang tidak bisa, aku menyerah sekarang. Aku tidak akan menikah," katanya sekali lagi.
"Tapi kau menyukainya, laki-laki itu," komentar Jiyong, masih melihat pada kertas-kertas yang Lisa pegang. "Kalau kau mau, aku bisa membawanya kembali ke sini, untukmu, aku bisa pergi sendiri ke pulau itu untuk menjemputnya, atau aku juga bisa meminta seseorang yang sudah ada di sana untuk mengantarnya ke sini, kau mau?" tawar Jiyong kemudian.
Lisa berdecak, lantas ia gelengkan kepalanya. Gadis itu tersenyum, tapi bukan karena ia menyetujui tawaran Jiyong. Lisa menertawakannya, tawaran itu. "Lalu oppa pikir dia akan tetap mencintaiku? Kalau kau melakukannya? Meski oppa berhasil membawanya kembali, dia hanya akan takut padaku. Tidak perlu, jangan melakukan apapun, dia punya anak di sana, biarkan saja dia tetap di sana," kata Lisa, bisa membayangkan bagaimana mengerikannya kalau Jiyong ikut terlibat dalam urusan asramanya. Jiyong tidak akan memperlakukan Mino dengan sopan sekarang, laki-laki itu mengerikan.
"Ah... Kau ingin dia tetap di sana?"
"Tidak!" seru Lisa, setengah merengek. "Aku ingin oppa diam saja. Urus saja urusanmu sendiri, jangan ikut campur dengan urusan asmaraku. Biarkan Mino hidup dengan tenang, dimana pun yang dia mau. Jangan melakukan apapun padanya," pinta gadis itu. Berharap Jiyong akan benar-benar menuruti keinginannya. "Aku membencinya, aku marah padanya, tapi dia punya seorang putri sekarang. Aku, oppa juga, kita sangat kesulitan karena tidak punya orangtua, jadi aku tidak ingin merebut orangtua dari anak lain. Lagi pula, kalau aku memang ingin menghancurkan hidup seseorang, aku tidak perlu bantuanmu, aku bisa melakukannya sendiri. Oppa mau tahu bagaimana suasana di rumah wanita itu setelah aku mengganggunya?" ocehnya, tidak benar-benar yakin apa ia sudah mengatakan yang sebenarnya atau hanya ingin terlihat begitu.
Jiyong menghela nafasnya. Lantas ia anggukan kepalanya. Laki-laki itu berdiri sekarang, ia usap puncak kepala Lisa, kemudian berucap, "kau boleh minta bantuanku kalau tidak bisa mengatasinya. Aku tidak akan melakukan apapun kali ini," katanya. "Leo di ruang olahraga, dia marah sekali setelah membaca surat jelek itu. Tulisannya jelek sekali, aku butuh kacamata untuk membacanya," tambahnya.
"Tulisannya memang jelek," kekeh Lisa. "Tapi oppa, kau memang sudah butuh kacamata, sudah tua," susulnya, tertawa meledek Jiyong lalu pergi lebih dulu menghampiri Leo. Meninggalkan Jiyong yang masih menatap punggungnya.
Ini bukan kali pertama Lisa patah hati. Ini bukan kali pertama gadis itu gagal. Sudah Jiyong lihat banyak ekspresi gadis itu, terutama saat Lisa sakit, entah karena jatuh, terluka atau tersinggung, dipukul atau kehilangan, sakit fisik maupun sakit hati, tapi kali ini rasanya asing. Gadis itu terlihat asing sekarang, seakan Jiyong tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Karena Lisa bilang ia baik-baik saja, Jiyong memutuskan untuk mempercayainya. Lebih ia percayai ucapan Lisa daripada perasaannya sendiri. Lisa tetap sama seperti biasanya, semua kesan asing itu hanya karangannya sendiri— begitu keputusan Jiyong sekarang.
Lisa menghampiri Leo sekarang. Dilihatnya pria itu mengabaikannya, sibuk memukuli samsak di depannya. "Aku tidak melihat kemungkinan kau bisa menang dari ayahmu," komentar Lisa, memilih untuk duduk di atas sepeda statis, beberapa langkah di belakang Leo.
Mendengar komentar itu Leo langsung menoleh. Ia tatap Lisa dengan wajah marahnya. Lalu memukul samsaknya sekali lagi, sedikit lebih keras dari sebelumnya. Hanya untuk menunjukan betapa marahnya dia. "Aku pernah melihat ayahmu memukul samsak itu, dan rasanya seperti aku yang sedang dipukul. Dia kuat sekali. Sepuluh kali kekuatanmu sekarang," susulnya, tetap tidak mengakui kekuatan Leo meski sebenarnya Lisa pun yakin, dia akan babak belur kalau Leo memukulnya sekarang. Ia sedang terlalu lelah untuk membela diri sekarang. Ia tidak akan punya tenaga untuk menghindari apalagi melawan Leo.
"Ayo minum bir saja, ada yang ingin aku bicarakan," ajak Lisa kemudian. "Tapi mandi dulu, kau bau," susulnya sengaja melangkah lebih dulu, keluar dari ruang latihan itu.
Sementara Leo masih menggerutu, tapi tetap mengekor, Lisa berdiri di ujung tangga. Ia panggil Jiyong yang ada di lantai dua, berteriak agar laki-laki itu mendengarnya, segera menghampirinya. "Ayo minum-minum di halaman! Malam ini tidak terlalu dingin!" seru Lisa, karena Jiyong hanya balas berteriak, tidak langsung menghampirinya.
Leo naik ke lantai dua, sementara Lisa dan ayahnya berbalas teriakan di sekitarnya. Enggan naik ke atas, Lisa pergi ke lemari es. Ia ambil selusin bir dari sana, meletakannya di meja makan kemudian mencari kudapannya.
"Ya!" seru Jiyong, sekarang berjalan menghampiri Lisa.
"Whoa... Wine? Botolnya lucu!" seru Lisa, segera menghampiri Jiyong untuk mengambil botol merah muda yang pria itu bawa. "Kita boleh minum ini sekarang? Sungguh? Aku mau menyimpan botolnya!" serunya terus memegangi botol merah muda itu, kemudian memberi tanda agar Jiyong membawa bir-birnya ke halaman belakang. Sementara ia mencari gelas yang sama cantiknya dengan botol itu.
"Aku masih punya dua botol di atas, akan aku beri satu nanti, kalau kau suka isinya," kata Jiyong, dengan selusin bir di tangannya.
"Ini barang baru? Hanya ada tiga? Sedunia?" tanya Lisa, mengekor dengan botol juga gelas-gelasnya.
"Mana mungkin," santai Jiyong, mengatakan kalau ia punya banyak di night clubnya. Jiyong menjual minuman itu di clubnya, ia hanya membawa pulang tiga botol untuk diberikan pada Lisa. Tahu kalau Lisa akan menyukai barang-barang manis seperti botolnya. Rencananya Jiyong akan memberikan wine itu untuk bridal shower Lisa nanti, tapi karena pernikahannya batal, ia keluarkan winenya sekarang.
"Ah... Aku pikir spesial, ternyata hanya sampel," komentar gadis itu, dan hanya Jiyong tanggapi dengan decak kecil.
***