***
Karena amarah Jiyong, Leo menginap di rumah Lisa. Tanpa tahu alasan ayahnya marah, malam ini anak itu tidur di kamar Lisa. Sementara Lisa akan tidur di studionya, di ruangan sebelah. Sampai tengah malam, Lisa bisa menutup-nutupi kekhawatirannya. Ia tertawa bersama Leo, juga tiga teman serumahnya. Membuat pesta piyama kecil-kecilan, memanggang daging, membuat pasta dan minum beberapa kaleng bir di halaman. Mereka bersenang-senang, lalu pergi tidur setelah lewat tengah malam.
Tapi setelah berbaring di sofanya, senyum gadis itu lenyap. Sekarang, Jiyong muncul dalam ingatannya. Ia kasihani pria yang tengah terluka itu, lalu membatalkan rencananya untuk tidur. Tanpa membangunkan siapapun, Lisa keluar dari studionya, ia pergi meninggalkan rumah lalu mendatangi Jiyong ke rumahnya.
Rumah itu sepi ketika Lisa masuk. Hampir tidak ada lampu yang menyala, mungkin karena Jiyong terlalu sibuk untuk menekan saklarnya. Satu-satunya ruangan yang terang hanya ruang olahraga di lantai satu, bagian belakang dekat dengan pintu ke kolam renang. Di sana Jiyong tengah meninju samsaknya, entah sudah berapa lama.
Tanpa suara, Lisa menghampirinya. Ia duduk di salah satu bangkunya, dekat rak dumb bell. Ia menunggu, tidak mengatakan apapun sampai Jiyong akhirnya berhenti dan melihat ke arahnya. Jiyong sudah menyadari kehadirannya sedari gadis itu mengintip dari pintu ruang olahraganya, ia hanya tidak ingin meresponnya tadi.
"Aku minta maaf," kata gadis itu, memulai pembicaraan sementara Jiyong masih menatap marah padanya. Berdiri di depannya dengan tubuh berkeringat, tangan yang merah, memar karena berjam-jam dipakai memukul samsak. "Saat kami ke Seattle, Leo kelihatan sangat kesulitan. Selama ini dia kesepian, sangat kesepian. Aku sudah berusaha menghiburnya, tapi bukan itu yang diinginkannya. Dia ingin mengenalmu, dia ingin tahu banyak tentangmu, dia ingin memahamimu, jadi aku memberitahunya tentang wanita itu. Tapi aku tidak mengatakan segalanya, aku hanya bilang dia meninggalkanmu. Aku tidak tahu kalau dia akan diam-diam mencari wanita itu," akunya kemudian. "Maaf, aku bisa mengerti kalau oppa marah sekarang. Aku bersalah, kau boleh memukulku kalau itu bisa membuatmu merasa lebih baik, aku tidak keberatan, aku benar-benar minta maaf," susulnya kemudian.
Dengan amarah yang masih tergambar jelas di wajahnya, bahkan di seluruh tubuhnya, Jiyong mendengarkan Lisa. Ia beri Lisa kesempatan untuk menjelaskan kesalahannya. Namun setelah Lisa menjelaskan alasannya, alih-alih merespon, pria itu justru berpaling. Memukul sekali lagi samsaknya kemudian melangkah meninggalkan Lisa. Sekarang Lisa sadar, kalau sepanjang hari tadi, Jiyong memukuli samsak itu, sambil membayangkan wajahnya di sana.
Sekarang Jiyong meninggalkan Lisa di ruang olahraga itu. Sambil melangkah ke kamarnya, ia nyalakan beberapa lampu yang dilewatinya. Lisa mengekor setelah beberapa menit ia menguatkan dirinya, menekan dalam-dalam ketakutannya. Berharap kalau ini tidak akan jadi malam terakhirnya. Berharap kalau Jiyong tidak akan memukulnya, tidak akan menyakitinya.
Dari depan pintu kamar Jiyong, Lisa bisa dengar suara air keluar dari pancuran. Sambil menunggu Jiyong mandi, sekarang Lisa rapikan seprei di ranjang pria itu. Ia ambil seprei barunya dari lemari, kemudian menggantinya. Jiyong keluar saat Lisa belum selesai dengan sepreinya. Namun seolah tahu kalau Lisa ada di kamarnya, Jiyong keluar dengan bathrobe-nya. Ia ambil pakaian di lemarinya lalu kembali masuk ke kamar mandi.
Selesai berpakaian, Jiyong melihat Lisa sedang memasang sarung bantalnya. Pria itu mendekat, ikut memasang sarung batalnya, tapi kali ini ia membuka mulutnya. "Bagaimana reaksinya setelah menemukan wanita itu?" tanya Jiyong, tetap terdengar ketus, belum sudi memaafkan Lisa.
"Marah," jawab Lisa, tidak berani menatap lawan bicaranya. "Sangat marah. Dia berharap akan menemukan wanita itu di panti jompo, atau hospice, sedang sakit keras, mungkin kanker atau alzheimer. Tapi wanita itu ternyata hidup dengan baik, tidak kaya raya tapi kelihatan bahagia, jadi dia marah. Menurutnya itu tidak adil, dia dan ayahnya sangat kesepian, tapi wanita itu sangat memanjakan anak-anaknya. Kalau saja wanita itu tidak meninggalkan ayahnya, mungkin ayahnya tidak akan terlalu keras seperti sekarang, begitu menurutnya jadi dia marah," susul Lisa, melaporkan semua perasaan yang ia tangkap dari Leo seharian ini.
"Lalu soal dia ingin jadi polisi? Karena wanita itu juga?"
"Hm... Anak kedua wanita itu polisi," angguk Lisa. "Wanita itu kelihatan bangga sekali melihat anaknya memakai seragam polisi, jadi Leo ingin melakukannya juga. Dia ingin membuatmu bangga, atau setidaknya menjadi tropi yang bisa kau pamerkan pada wanita itu," katanya, selesai merapikan ranjang lawan bicaranya.
Jiyong sempat diam. Masih memegangi bantalnya. Meremasnya menahan amarah. "Kau jangan melakukan apapun," katanya kemudian. "Jangan ikut campur lagi, apapun yang terjadi pada aku dan Leo. Apapun yang ingin kami lakukan, biarkan saja. Aku tidak lagi bisa membereskan semua kekacauan yang kau buat. Kau hanya membuat keadaannya jadi semakin buruk, karena itu, jangan ikut campur lagi, jangan berpendapat lagi, abaikan semuanya," pinta Jiyong.
Ucapan itu menyakiti perasaan Lisa, tapi di saat yang sama gadis itu pun mulai menyadarinya. Ia terlalu ikut campur dalam urusan di rumah Jiyong. Ia mendesak masuk terlalu dalam, lalu membuat semuanya merasa tidak nyaman.
"Baik," angguk Lisa. "Aku minta maaf, aku tidak akan melakukan apapun lagi, aku tidak akan mengatakan apapun lagi," pelannya kemudian.
"Pergilah," suruh Jiyong kemudian. Lagi-lagi membuat Lisa menganggukan kepalanya.
Sekali lagi gadis itu minta maaf, lalu ia mulai melangkah meninggalkan rumah itu. Dari jendela kamarnya, Jiyong memperhatikan Lisa melangkah keluar. Dilihatnya gadis itu berjalan dipekarangannya. Sepanjang hari ini kesepian menyerangnya. Ingatan akan wanita yang menelantarkannya, menjadi alasan terbesar akan rasa sepi itu. Daripada Lisa, Jiyong lebih membenci wanita itu malam ini. Tapi ia tidak tahu bagaimana harus melampiaskan emosinya, tidak ada wanita itu di sana. Hanya ada Lisa di sana. Hanya Lisa yang bisa ia salahkan sekarang.
Melihat gadis itu akhirnya meraih pagar rumahnya, Jiyong menghela nafasnya. Ia tahu kalau dirinya akan benar-benar sendirian sekarang. Nyeri di dadanya membuat ia tidak bisa berhenti mengepalkan tangan. Menekan kuat-kuat semua perasaan yang mengganggunya.
Lalu di saat yang sama, alih-alih membuka gerbang rumah itu, Lisa justru berbalik. Gadis itu berlari kecil, kembali masuk ke dalam rumah. Kembali menghampiri Jiyong di kamarnya. "Aku tidak mau pergi, aku tidak mau diam saja," kata gadis itu, dengan nafas yang tersengal karena berlari menaiki tangga. "Kalau aku pergi, kalau aku diam saja, kalau aku tidak melakukan apapun, aku harus berdiri sendirian. Oppa juga harus berdiri sendirian, lalu Leo akan semakin kesepian. Aku minta maaf, tapi aku tidak mau pergi, aku mau ikut campur, meski apa yang aku lakukan hanya akan memperkeruh suasana, meski apa yang aku katakan salah, aku tetap ingin berada disini. Meskipun bertengkar, kita bisa berbaikan lagi, kita tidak punya orang lain lagi, kita keluarga. Dianggap anak sulungmu, adikmu, istrimu bahkan anjing peliharaanmu sekalipun, aku tidak peduli, aku tetap ingin berada di sini, kalian tetap keluargaku, aku tidak akan pergi," tuturnya, tidak memberi Jiyong kesempatan untuk mengusirnya lagi.
"Baiklah," singkat Jiyong, merasa sedikit lebih baik tapi tidak ingin menunjukan perasaan itu. Tidak ingin begitu saja memaafkan Lisa, hanya karena pidato panjangnya— yang anehnya sedikit menghibur.
"Kalau begitu aku pulang sekarang," pelan Lisa, kembali menundukan kepalanya. "Tapi aku tidak meninggalkan keluarga ini, aku hanya pulang ke rumahku untuk tidur, besok aku ke sini lagi," susulnya, tidak bisa menebak isi kepala Jiyong.
***