11

169 34 6
                                    

***

Lisa tidak lagi kesakitan setelah dokter laki-laki tadi memberinya beberapa obat. Sekarang, sambil menunggu hasil tes lainnya, Lisa dibiarkan berbaring di UGD. Tirai ditutup, mengelilingi ranjangnya tapi Lisa tetap membuka matanya, hanya bisa melamun karena Jennie masih membawa handphonenya. Di saat begini, ia jadi semakin merindukan orangtuanya. Membayangkan bagaimana raut wajah Teo juga Hani saat melihatnya kesakitan membuat Lisa semakin kesepian. Membuat ia sempat berfikir untuk menghubungi Jiyong, merasa kalau Jiyong mungkin akan membantunya menghapus sedikit rasa sepi itu.

Di tengah ratapan itu, Jennie menggeser tirainya lalu melangkah masuk, mengembalikan handphone Lisa. "Radang usus buntu," kata Jennie, memberitahu Lisa hasil pemeriksaannya. "Belum parah tapi akan lebih baik kalau diangkat sekarang," susulnya, dengan raut iba di wajahnya.

Meski bukan seumur hidupnya, tapi Jennie mengenal Lisa. Ia yang mengumumkan kematian orangtua gadis itu, di UGD. Kesepian yang Lisa gambarkan di wajahnya, Jennie menyadarinya. Sekali lagi Jennie menawarkannya— menghubungi ayahnya Leo atau laki-laki yang dulu menemaninya di rumah sakit, saat orangtua Lisa meninggal. Sekali lagi juga, Lisa menolak tawaran itu, dua pria yang Jennie bicarakan adalah pria yang sama, dan sekarang Lisa tidak ingin menghubungi Jiyong.

"Aku masih perlu wali untuk mengangkat usus buntuku sendiri? Kalau iya, tolong jadi waliku, aku tidak ingin menghubungi siapapun," jawab Lisa dan karena merasa tidak berhak memaksa, Jennie menganggukan kepalanya. Mengatakan kalau ia akan menjadwalkan operasinya, hari itu juga.

Jennie akan meninggalkan Lisa lagi, tapi dokter laki-laki tadi sudah lebih dulu membuka tirainya. Tanpa basa-basi pria itu berkata, "jadi aku bisa menyiapkan operasinya sekarang? Ususnya sudah hampir pecah-"

"Ususku bisa pecah?" Lisa menyela pertanyaan itu.

"Bukankah dia harusnya tidur?" bingung Dokter Mino, merasa ia baru saja salah bicara.

"Ya! Kau bilang sakitku tidak parah!" seru Lisa, sekarang menepuk bokong Jennie, sasaran yang paling mudah ia jangkau. "Ususku hampir pecah, itu parah!" katanya, memprotes infomasi dari Jennie tadi.

"Augh! Tidak separah lehermu itu! Bersihkan dulu make up-mu!" kata Jennie, balas mengomel, ia membentak Lisa meski sebenarnya sasaran omelannya adalah Dokter Mino, rekan kerjanya yang asal bicara.

Jennie dipanggil lagi sekarang, ia tinggalkan Dokter Mino dan teman serumahnya di bilik UGD itu. Sekarang giliran Mino menenangkan Lisa. Memberitahu gadis itu kalau ia akan baik-baik saja, jika segera di operasi. Mino menyuruh seorang residen untuk menyiapkan operasinya, sementara ia menarik kursi untuk duduk di sebelah ranjang Lisa.

"Aku pikir lehermu benar-benar ditebas, tadi," katanya, mengajak Lisa mengobrol setelah gadis itu kelihatan lebih tenang.

"Ditebas dengan kapak, dari depan," santai Lisa, menanggapinya. "Omong-omong aku baru melihatmu di sini, dokter baru?" susulnya ingin tahu.

Mino mengangguk, mengatakan kalau ia baru tiga minggu bekerja di sana. Pria itu bekerja di kota lain sebelumnya. Lisa mengangguk, kemudian bergerak untuk duduk dan Mino membantunya. "Aku pengunjung tetap di sini," kata gadis itu, dengan senyum yang terlukis cantik di wajah mengerikannya. Darah buatan, luka buatan dan semua efek lainnya membuat Lisa kelihatan sangat mengerikan sekarang.

"Oh bukan, bukan pasien," geleng Lisa. "Aku hanya datang untuk mengunjungi Dokter Jennie, sekalian belajar anatomi tubuh manusia? Untuk membuat luka-luka seperti ini," ceritanya.

Mino mengangguk lagi, mengiyakannya. "Jadi, kau seorang... Uhm... Seniman? Khusus haloween?" tebaknya, justru membuat Lisa terkekeh.

"Make up artist, tapi hanya mengerjakan make up dan spesial effect yang seperti kostum haloween ini. Kau bisa menghubungiku kalau butuh kostum haloween, Dokter Mino," santai Lisa.

"Kau bisa memanggilku Mino, kau teman dari temanku," balas laki-laki itu.

"Ah! Kau berteman dengan Jennie? Bukan hanya rekan kerja?"

"Kami berteman sejak sekolah. Lama sekali, dari semester satu," ceritanya.

Mereka terus berbincang, sembari Lisa melepaskan satu persatu riasannya. Melepaskan lateks yang merekat di lehernya, menghapus darah palsunya juga. Mino membantunya, meski sesekali pria itu menunjukan wajah jijiknya. Tidak berusaha berbohong, terang-terangan Mino mengatakan ketidaksukaannya. "Rasanya seperti mencabut daging sungguhan, hanya saja lebih kenyal," katanya, lagi-lagi membuat Lisa terkekeh karenanya.

"Di ruang operasi nanti, bisakah kau memotret isi perutku?" sekarang Mino tersedak ludahnya sendiri, karena pertanyaan Lisa. "Aku bercanda, tapi kalau kau sungguhan memotretnya, aku akan sangat berterimakasih. Bukan isi perut orang lain, isi perutku sendiri. Aku ingin melihat ususku sendiri. Selama ini aku memakai usus hewan dan video-video di YouTube untuk referensi, pasti keren kalau aku memakai ususku sendiri," susulnya, sama sekali tidak terdengar seperti sebuah candaan.

"Kau terdengar seperti psikopat," komentar Mino, lalu terkekeh. "Aku bisa memperlihatkan rekaman operasimu, tapi kau tidak boleh menyimpannya. Kau juga harus merahasiakannya," susulnya, mereka terus bicara. Terus berbincang sampai akhirnya harus berpisah karena Mino perlu menyiapkan dirinya sendiri, bersih-bersih dan mengganti pakaiannya sebelum masuk ke ruang operasi.

Operasi dilakukan hari itu juga. Tidak ada banyak kendala selama prosesnya. Mino melakukan pekerjaannya dengan baik dan Lisa pun kelihatan pulih dengan baik setelahnya. Sekarang hari sudah mulai gelap dan Lisa dibiarkan beristirahat sendirian di ruang perawatan. Jennie memesankannya kamar untuk satu orang, jadi Lisa bisa beristirahat dengan tenang di sana. Sesekali gadis itu juga datang, menjenguknya, mengecek keadaannya.

"Kau hanya perlu dirawat beberapa hari. Mino bilang kalau keadaanmu terus begini, kau sudah boleh pulang besok," kata Jennie, datang ke ruang rawat Lisa untuk makan malam di sana.

"Besok? Cepat sekali, aku kira aku perlu tinggal di sini seminggu," jawab Lisa. "Tidak bisakah aku di rawat seminggu di sini?" tanyanya kemudian, tapi Jennie hanya menanggapinya dengan desah malas. Ia juga menggeleng, enggan menanggapi permintaan konyol Lisa.

Malam ini Lisa menginap, Jennie ingin menemaninya tapi Lisa menyuruhnya pulang. Jennie sudah seharian bekerja di rumah sakit, ia perlu pulang dan beristirahat. Meski dengan sedikit berat hati, wanita itu akhirnya pulang. Ia tinggalkan Lisa seorang diri di sana, membiarkannya meratapi kesendiriannya yang sepi.

Tiba di rumah, Jennie melihat Leo berdiri di depan rumahnya, akan menekan bel rumah itu. Jennie membunyikan klakson mobilnya, memberi tanda agar Leo melihatnya. "Kenapa kau datang lagi? Kau tidak punya teman selain Bibimu?" tanya Jennie, melangkah keluar dari mobilnya, tentu setelah ia membiarkan Leo masuk.

"Aku punya teman," santai Leo. "Hanya tidak punya kakak perempuan yang bisa aku ganggu, dan aku tidak sesering itu datang ke sini... Hanya seminggu tujuh kali," katanya, memilih untuk duduk di teras sementara dirinya mengira kalau Jennie akan memanggilkan Lisa untuknya.

"Dia tidak ada di rumah hari ini," kata Jennie.

"Kenapa? Kemana dia pergi? Malam-malam begini?"

"Kencan-"

"Huh?! Akan aku adukan pada ayahku kalau dia menginap di rumah pacarnya, kapan dia pulang?" tanya Leo, penasaran.

"Apa hubungannya dengan ayahmu?"

"Kakak dan adik? Angkat? Bisa juga kakak dan adik tiri?"

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang