***
Ini sudah satu minggu sejak Rose memutuskan untuk menginap di sana, tapi ia masih belum terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan di rumah itu. Kamarnya berada di lantai dua, berjarak dua ruangan dari kamar tidur utama— tempat Lisa beristirahat. Ia tidak tahu apa isi dua ruangan itu, tidak juga pernah ingin mengintip ke dalamnya.
Awalnya Rose pikir ini tidak akan jadi masalah— hanya ada satu kamar mandi di rumah besar itu. Rumah itu adalah rumah lama, bangunannya sudah dibangun sejak belasan tahun lalu, bahkan mungkin puluhan tahun lalu. Pemiliknya, Lisa, kelihatannya juga tidak pernah merenovasi rumahnya. Selusin ruangan hanya dengan satu kamar mandi, Rose tidak pernah mengira kalau itu bisa jadi masalah.
Seingatnya, ia pernah tinggal di tempat yang lebih kumuh, lebih menyedihkan dari rumah besar ini. Ia pernah tinggal di apartemen semi basement, yang kalau malam jendelanya sering dikencingi pria-pria mabuk. Harusnya ia bisa bertahan di rumah ini, harusnya ia bisa berkompromi dengan toilet bersamanya. Dalam series Young Sheldon mereka mengatur jadwal memakai kamar mandinya, bergiliran. Dalam rumah-rumah normal, selalu ada kompromi, menunggu beberapa menit sementara seseorang memakai kamar mandi, mengantre. Tapi di rumah ini, pintu kamar mandinya tidak berguna.
"Kuncinya rusak, aku tidak sempat memperbaikinya," begitu Lisa beralasan. Sama sekali tidak terdengar profesional. Lisa bukan seorang tuan tanah yang baik— nilai Rose.
Rose tengah berada di dalam kamar mandi pagi ini. Sedang ia bersihkan tubuhnya, di bilik kaca dalam kamar mandi, di bawah pancurannya. Ia sudah berhati-hati, ia tempel selembar note di pintu kamar mandinya— jangan masuk, ada orang— begitu yang ia tulis, tapi Kim Jisoo rupanya tidak bisa membaca pesan itu.
Tanpa basa-basi, tanpa permisi, Jisoo mendorong pintu kamar mandinya. "Ya! Ada orang!" Rose berseru, tentu berusaha menutupi tubuh telanjangnya di bawah pancuran. Tapi gadis yang masuk tadi tidak mendengarkannya. Jisoo melepaskan celananya, lalu duduk di atas closet, menyelesaikan urusannya.
"Aku tidak bisa menahannya," Jisoo beralasan, buang air sembari bermain dengan handphonenya. "Aku dengar kau model, untuk majalah atau runaway?" tanyanya kemudian. "Oh dua-duanya... Aku baru saja mencarinya," susulnya tanpa menunggu Rose menjawab pertanyaannya.
Rose mengabaikannya. Cepat-cepat ia selesaikan mandinya. Cepat-cepat ia pakai lagi pakaiannya. Tapi secepat apapun ia berusaha, Jisoo tetap sempat bicara padanya. "Aku pemadam kebakaran, kadang-kadang jadi paramedis juga. Tergantung situasinya, departemenku kekurangan orang. Kalau Jennie, dia dokter Bellis Hospital, kau pasti tahu karena kalian saling kenal. Ah... Pekerjaan Lisa, kalian kenal di tempat kerja? Dia make up artist. Terakhir kali dia merias Song Kang untuk Sweet Home," ocehnya, tidak peduli kalau Rose sekarang tengah terburu-buru memakai pakaiannya.
Rose akan keluar dari kamar mandi. Ia melangkah melewati Jisoo yang masih duduk di atas closet. Akan ia buka pintunya, sudah ia ulurkan tangannya, ketika pintu itu tiba-tiba terbuka. Lisa yang membuka pintunya. "Good morning," sapa gadis itu, berdiri menyamping, memberi jalan untuk Rose keluar dari sana. "Augh! Bau sekali! Apa yang baru kau makan, Kim Jisoo!" herannya, tapi tetap melangkah masuk ke dalam kamar mandi itu.
"Pizza, dengan banyak keju," santai Jisoo. "Kau mau pergi ke suatu tempat? Sudah dapat pekerjaan lain?" tanyanya, sebab ia lihat Lisa melepaskan pakaiannya kemudian masuk ke bilik kaca.
"Aku harus pergi ke sekolah," katanya kemudian. "Kau pernah ikut bimbingan karir di sekolah?" susulnya, mulai menyalakan pancuran di depannya.
"Tentu saja, kau tidak pernah ikut? Ah... Kau tidak sekolah di sini," kata Jisoo, masih di tempatnya berada. "Hanya perlu datang dan mendengarkan gurumu bicara tentang nilai-nilai pelajaranmu- tunggu... Untuk apa kau ikut bimbingan karir?"
"Leo, bukan karirku," kata Lisa. "Ayahnya tidak mau datang. Tidak... Dia tidak meminta ayahnya datang, dia tidak memberitahu ayahnya. Dia memintaku datang, hari ini, tiba-tiba sekali, augh! Bajingan kecil itu benar-benar merepotkan," keluhnya, tapi tetap mandi, tetap bersiap untuk pergi ke sekolah keponakannya.
"Telepon saja ayahnya, suruh ayahnya yang datang," santai Jisoo. "Tapi, siapa sebenarnya ayahnya Leo itu? Kakak kandungmu? Bukannya kau anak tunggal? Yang mana ayahnya? Sepertinya aku tidak pernah melihat ayahnya, dia tinggal di sekitar sini kan?"
"Hidupmu akan lebih nyaman kalau kau tidak mengenal ayahnya."
"Kalau begitu, jangan beritahu aku siapa ayahnya," santai Jisoo. "Tapi Leo benar-benar bukan keponakanmu kan? Maksudku, kau anak tunggal, kan?" tanyanya, penasaran.
"Hm... Aku anak tunggal."
"Kalau begitu, kau bisa jadi ibunya-"
"Ya! Jangan asal bicara! Aku tidak mau jadi ibu tiri!" potong Lisa, menolak keras ide itu kemudian menoleh karena pintu kamar mandi kembali terbuka.
Kali ini Jennie yang melangkah masuk. Ia bawa pakaiannya, menunggu gilirannya memakai bilik kaca dan pancurannya. "Lisa cepat, aku hampir terlambat," katanya, berdiri di depan westafel. Duduk diatas westafel kokoh itu sembari meraih sikat giginya. Akan ia bersihkan dulu gigi dan mulutnya di sana, sembari menunggu Lisa selesai dengan pancurannya.
"Jennie, kau tahu siapa ayahnya Leo?" tanya Jisoo, sekarang menyelesaikan urusannya. Bersiap untuk memakai kembali celananya.
"Tidak, tapi anak itu sudah menunggu Lisa di depan. Di teras," kata Jennie, mengaku kalau ia yang tadi membukakan pintu untuk Leo. Ia juga yang menyuruh Leo menunggu di teras. Menyembunyikan kenyataan kalau mereka memakai kamar mandi bersamaan. Kenyataan itu, bisa jadi fantasi aneh yang mungkin merusak otak seorang anak dibawah umur— anggapnya.
"Kau tahu dimana rumahnya? Kenapa dia sering datang ke sini?" Jisoo kembali penasaran.
"Rumahnya di atas, paling ujung. Kenapa dia sering datang ke sini? Bukannya dia selalu ke sini untuk menemui bibinya? Dia keponakannya Lisa kan?"
"Lisa anak tunggal," kata Jisoo, ingin membuat Jennie meragukan pengetahuannya sendiri.
"Hm... Aku tahu Lisa anak tunggal," angguk Jennie. "Bisa saja Leo itu anak sepupunya Lisa. Tapi kenapa kau membicarakan silsilah keluarganya pagi ini?" tanyanya penasaran.
"Tidak ada yang serius... Tapi daripada Lisa mengencani pria ini dan itu, lalu patah hati karena kekasihnya tidak mau menikah, bukannya lebih baik kalau dia jadi ibu tirinya Leo saja? Anak itu kelihatannya tidak punya ibu."
"Ayahnya Leo duda? Kenapa? Meninggal? Atau bercerai?" tanya Jennie, ingin mendapat lebih banyak informasi.
Lisa menghela nafasnya. Ia selesaikan mandinya, lantas keluar untuk memakai bathrobe-nya. Berganti tempat dengan Jennie yang juga selesai menggosok giginya. "Aku tidak mau jadi ibu tirinya Leo, jangan asal bicara, apalagi di depan Leo, dia keponakanku dan akan terus jadi keponakanku," tegas Lisa, sekarang perlu menggosok giginya, bersama dengan Jisoo di depan cermin besar dalam kamar mandi besar itu.
"Kenapa? Ayahnya sudah tua? Seberapa tua?" tanya Jennie, masih penasaran. "Kau sudah tiga puluh tahun sekarang. Menikah dengan pria lima puluh atau enam puluh tahun kedengarannya tidak buruk, masih normal. Banyak pasangan yang begitu, iya kan?" komentarnya.
"Kim Minhee dan sutradara itu contohnya, umur hanya angka... Leo baru kelas dua belas, dia anak pertama, ayahnya tidak akan setua sutradara itu... Mungkin lima puluh tahun... Tidak apa-apa Lisa, dekati ayahnya Leo saja," saran Jisoo, sementara yang diberi saran hanya bisa menahan dirinya.
Ayahnya Leo itu gangster, aku tidak mau menikah dengan penjahat yang pernah di penjara— Lisa merasa ia tidak boleh mengatakannya.
***