***
"Bajingan berengsek, anak bodoh tidak tahu terimakasih," kata Lisa, tidak bisa menahan diri. Dilihatnya mata Leo bergetar, tapi ia abaikan keterkejutan itu. "Siapa yang memberimu hak untuk bersikap begitu? Aku bukan ibumu, aku bukan orangtuamu, aku tidak akan memaklumimu kalau kau terus bersikap begini. Ibumu mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri karena kau hidup seperti ini, tapi aku tidak. Aku tidak peduli bagaimana kau akan menjalani hidupmu, bahkan kalau kau dihukum karena berkelahi, itu bukan urusanku. Kau bukan tanggung jawabku, hidupmu bukan urusanku. Tapi kau memberi nomor teleponku pada polisi, kau buat mereka menyuruhku datang ke sini untuk menyelesaikan masalahmu, bukankah kau harusnya berterimakasih padaku? Masuk ke mobil sekarang, jangan buat aku menyesal karena sudah melewatkan meetingku hanya untuk mengeluarkanmu dari sana," omel gadis itu, tidak meninggikan suaranya tapi bagi Leo terdengar cukup menakutkan. Ketenangan yang Lisa tunjukan, membuat Leo bisa membayangkan sosok seekor serigala marah yang tengah mengintainya. Sosok yang akan langsung mencabik-cabik dirinya jika ia tidak menuruti keinginannya.
Dalam diam, Leo melangkah masuk ke mobil Lisa. Ia sudah duduk di sana, tapi Lisa tidak segera menyusulnya. Di sebelah pintu mobilnya, Lisa justru menelepon seseorang— Jiyong. "Aku sudah mengeluarkannya," lapor gadis itu pada pria yang ia telepon. Jiyong bergumam, mengatakan kalau ia sudah mengetahuinya. Polisi yang diteleponnya tadi pun sudah mengabarinya, kalau Leo telah dijemput bibinya.
"Tapi dia benar-benar payah," kata Lisa, sedikit berbisik sambil membelakangi mobilnya. Menghalangi Leo agar tidak perlu tahu isi obrolannya. "Bisa-bisanya dia babak belur lagi? Ototnya itu hanya pajangan? Bahkan aku lebih pintar berkelahi daripada dia. Dimana dia biasanya olahraga? Tidak ada latihan tinju ditempatnya olahraga? Sebagai sesama anak gangster aku malu melihatnya," gerutu gadis itu, dengan suara yang ia tekan serendah mungkin. Memastikan Leo tidak akan mendengar cibirannya.
Jiyong hampir tertawa mendengarnya. "Kau lebih hebat darinya?" tanyanya, ingin Lisa mengulang lagi pendapatnya tadi.
"Setidaknya aku tidak akan membiarkan wajahku terluka," yakin gadis itu, meski ia sendiri tidak pernah berada di posisi perlu berkelahi. Lisa selalu pergi sebelum perkelahian diperlukan.
"Wah... Syukurlah, bebanku berkurang sedikit," kata Jiyong, tentu tidak benar-benar bermaksud menyebut Lisa sebagai bebannya. "Lalu dimana kalian sekarang?" tanyanya.
"Masih di kantor polisi, akan aku bawa dia ke rumah sakit, lalu setelah itu mencari tempat latihan tinju, atau taekwondo? Hapkido? Kungfu? Aku hanya pernah ikut kelas tinju, saat masih kuliah. Mana yang lebih bagus? Oppa ada rekomendasi tempat latihan bela diri?"
"Uhm... Entahlah, aku tidak pernah ikut kursus bela diri," jawab Jiyong. "Bawa saja dia ke tempatku, aku yang akan melatihnya, akan aku kirim alamatnya," susulnya kemudian.
Lisa menuruti Jiyong. Ia bawa Leo ke rumah sakit, kali ini gadis itu tidak perlu memaksa, dalam diam Leo menuruti perintahnya. Omelan Lisa barusan rasanya berhasil menakut-nakuti bocah itu, meski kelihatan tidak senang tapi sekarang Leo terus mengekor. Tidak lagi membantah ucapan juga perintah Lisa.
Bagi Leo rasanya mengkhawatirkan. Bocah itu takut, kalau kali ini ia tidak menuruti Lisa, dirinya tidak akan bisa bertemu dengan bibinya itu lagi. Merasa seolah Lisa akan benar-benar pergi, memutus hubungan dengannya, tidak akan lagi memberinya kesempatan. Leo percaya, Lisa akan benar-benar membencinya, kalau hari ini ia mendorong gadis itu lagi. Hubungannya dengan sang ayah sama buruknya, ia merasa akan benar-benar sendirian kalau Lisa membencinya.
Selesai dari rumah sakit— setelah Lisa mencuri-curi kesempatan untuk menemui kekasihnya. Mencari sedikit pelukan juga ciuman, sementara Leo ia suruh mengantri di kasir— mereka pergi ke alamat yang Jiyong berikan. Tempatnya tidak seberapa jauh dari rumah, tapi Lisa tidak pernah mendatangi lingkungan itu.
"Kenapa kita ke sini?" tanya Leo, akhirnya bersuara sebab ia tidak bisa menahan rasa penasarannya.
Sebuah gedung pasaraya, empat lantai berisi toko-toko lama. Secara keseluruhan, dinding gedung itu sudah berubah abu-abu, lusuh karena terlalu tua. Meski begitu, masih ada beberapa toko yang kelihatan cerah, dipasangi kertas dinding warna-warni. Restoran cina, toko barang bekas, reparasi barang-barang elektronik, penjahit sepatu, toko daging, penjual buah dan sayuran dan banyak toko lainnya ada di sana. Ada banyak orang yang berbelanja di sana, tapi sepintas dilihat gedung itu terasa seperti sarang penjahat.
Setelah turun dari mobil, Lisa mengajak Leo untuk mendekat masuk ke dalam pasaraya itu. Ia lihat lagi handphonenya, sekali lagi membaca alamat yang Jiyong berikan. Mereka berada di gedung yang benar, tapi Lisa tidak bisa menemukan tempat latihan itu. Menurut pesan Jiyong, tempatnya ada di lantai satu, jadi Lisa membawa Leo berkeliling, mencari tempat latihan itu.
Mereka terus berjalan, menerobos masuk sambil mencari-cari tempat latihannya. Jauh ke dalam pasaraya itu, orang-orang tidak lagi berkeliaran. Toko-toko kosong ada di sana, hanya ada beberapa orang yang lewat dengan tubuh bertato mereka.
"Sebenarnya apa yang kau cari?" tanya Leo, tidak bisa menahan rasa kesalnya keluar lewat suaranya. Merasa dibentak, Lisa menatap Leo, melirik tajam ke arahnya. "Maksudnya, beritahu aku apa yang kau cari disini, barangnya atau nama tokonya, aku akan bantu mencari," susul Leo, buru-buru memperbaiki nada bicaranya.
"Diam dan ikut saja," ketus Lisa, meski sebenarnya ia pun ingin meminta Leo mencari tempat itu. Lisa ingin meminta Leo membantunya, tapi kalau bocah itu tahu kemana tujuan mereka, Leo mungkin akan pergi meninggalkannya sendirian di sana.
Jiyong menelepon ketika Lisa dan Leo tiba di sebuah lorong antar toko. Masih sambil melihat-lihat toko yang tutup, Lisa menjawab telepon itu. "Dimana kau sekarang?" tanya Jiyong, mengaku kalau ia ada di mobil yang Lisa tinggalkan. "Sudah aku bilang untuk menunggu-"
Lisa tidak mendengar ucapan Jiyong sampai selesai, di lorong itu beberapa pria berkumpul. Awalnya Lisa berencana untuk bertanya pada mereka, dimana sasana olahraga yang Jiyong bicarakan, tapi begitu mendekat, Lisa sadar kalau ia sudah melakukan kesalahan. Ia harusnya menunggu.
***