49

322 37 6
                                    

***

"Ini aku, buka pintunya," Jiyong mengetuk pintu kamar Lisa setelah beberapa menit berdiri di depannya. Leo berdiri di belakangnya, mengekor karena sekarang ia mengkhawatirkan Lisa. Jisoo, Jennie dan Rose pun sama, mereka berdiri di ujung tangga, melihat apakah Jiyong bisa membuat Lisa keluar dari kamarnya.

Tidak ada jawaban, Jiyong pun merasa canggung karena diperhatikan orang-orang yang khawatir. Beberapa menit Jiyong menunggu, "buka paksa saja, bagaimana kalau Lisa bunuh diri?" Leo berucap, tapi Jiyong tidak menuruti perintah anaknya itu. Jiyong tetap menunggu, lalu di menit selanjutnya, Lisa membuka kunci pintunya.

Jiyong membuka pintu itu sekarang, tidak seberapa lebar, hanya agar tubuhnya bisa masuk ke dalam. Leo berusaha untuk ikut masuk, tapi sang ayah menahannya. Jiyong tidak mengizinkan siapapun untuk masuk, selain dirinya. "Antarkan saja temanmu pulang," suruh Jiyong, sebelum ia menutup lagi pintu kamar Lisa, kemudian mengunci pintunya.

Lisa masih menangis ketika Jiyong melangkah masuk. Gadis itu berbaring di ranjangnya, dengan sebelah tangan yang ia pakai untuk menutupi matanya. Jiyong tidak bersuara, ia dekati Lisa kemudian ikut berbaring di sebelahnya. Jiyong hanya berbaring, menatap ke langit-langit kamar, menunggu Lisa merespon kehadirannya.

"Sudah berbulan-bulan aku mati rasa," kata Lisa, mulai menurunkan tangannya, pelan-pelan menunjukan wajahnya, juga pipinya yang basah karena air mata. Sekarang ia mulai menatap langit-langit kamarnya, seperti yang Jiyong lakukan di sebelahnya.

"Acara makan malam lumayan," komentar Jiyong. "Sedikit membosankan, tapi acara penutupnya, luar biasa, itu bagian terbaik acara malam ini," katanya, berhasil membuat Lisa menatap tajam padanya, melirik sinis ke arahnya.

"Tentu saja, semua orang suka melihat perempuan mengamuk," ketus Lisa, bermaksud menyindir selera Jiyong tentang acara makan malam.

"Aku serius," Jiyong berbalik, tidur menyamping agar ia bisa melihat Lisa di sebelahnya. "Kau tahu kan kalau bayi harus menangis saat baru saja dilahirkan? Semua orang akan panik kalau dia diam saja, sampai punggungnya dipukul kalau dia tetap tidak menangis," katanya, pelan hanya cukup untuk Lisa dengar. Mereka yang menguping di balik pintu, tidak akan mendengar apapun.

"Aku tidak suka nada bicaramu," komentar Lisa, asal bicara, sebab ia tidak tahu bagaimana dirinya harus merespon penghiburan itu.

"Pokoknya, seperti itu rasanya saat kau mulai menangis," balas Jiyong. "Syukurlah si bayi baik-baik saja, masa sulitnya sudah berlalu," katanya, sambil terus ia perhatikan wajah lawan bicaranya.

Lisa ikut menoleh sekarang, balas menatap wajah Jiyong. "Aku bayinya?" tanya gadis itu, dengan suaranya yang pelan dan kembali bergetar. Mereka berdua bicara dengan besar suara yang sama, seperti tengah berbisik.

Jiyong menganggukan kepalanya. Ya, Lisa bayinya. Bayi yang baru saja lahir dan harus dibuat menangis, agar ia bisa bernafas dengan paru-parunya sendiri. Agar ia tidak lagi merasa sesak.

"Ada kalanya kau bisa jadi bayinya, yang harus diperhatikan orang lain," kata Jiyong, bersamaan dengan Lisa yang mengganti posisi tidurnya. Berbaring menyamping, menghadap ke arahnya. "Hhh... Aku sangat menyayangimu, aku akan terus memperhatikanmu," kata Jiyong, tidak terdengar seperti ia yang biasanya, tapi Lisa bisa menerimanya. Gadis itu merasa sedikit lebih baik setelah mendengarnya. Jiyong mengusap lengan Lisa, memeganginya, sambil sesekali menggerak-gerakkan ibu jarinya, mengusap-usap bahu gadis itu. "Wah... Matamu akan bengkak besok," susulnya, masih berbisik. Seakan tidak seorang pun boleh mendengar mereka.

"Heish! Berisik," protes Lisa, kembali ingin menjatuhkan air matanya. Kembali menangis tapi tetap menahan suaranya agar tidak terlalu keras. Jiyong tersenyum mendengar gadis itu menegurnya, lalu ia peluk Lisa bersama dengan air matanya. "Ini kan yang oppa suka?" gerutu Lisa, tetap menangis, dan Jiyong pun tetap tersenyum. Ia memeluk semakin erat kemudian mengecup kening gadis itu, lalu menertawakan tangisannya. Lisa ikut tertawa, tapi di saat yang sama, tangisannya pun belum mau berhenti.

Air matanya tetap mengalir, meski Jiyong sudah memeluknya sekarang. Ia tetap menangis, meski sesak di dadanya pelan-pelan pergi. Ia tetap berada dalam pelukan itu, tapi mereka tidak berhenti mengobrol. "Oppa tidak punya HIV, atau penyakit parah lainnya, kan?" tanya gadis itu, tetap berada di posisinya.

"Uhm... Kenapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Oppa ke rumah sakit hampir setiap minggu... Kenapa? Dialisis? Kemoterapi? Kau sakit parah?"

"Tidak, tidak ada yang seperti itu. Hanya medical check up, sungguhan. Aku sehat, dan bersih," katanya, masih memeluk, sesekali mengusap-usap rambut gadis di depannya.

"Apanya yang sehat?" tanya Lisa, lalu menggerakan tangannya, menekan perut Jiyong.

"Akh! Ya!" protes Jiyong, langsung mendorong Lisa menjauh. "Bilang saja kalau tidak mau dipeluk, kenapa harus menyakitiku," gerutunya kemudian. Pria itu duduk sekarang, ia naikan kausnya, ingin melihat luka tikamnya yang baru saja Lisa tekan. "Aku akan memukulmu kalau jahitannya lepas," ancamnya, kali ini sembari merekatkan lagi ujung-ujung perbannya, memastikan tidak ada yang lepas.

Lisa terkekeh, dengan mata dan pipinya yang masih berair. Gadis itu bergerak, menaikan kepalanya ke pangkuan Jiyong. Berbaring dengan paha laki-laki itu sebagai bantalnya. "Tenang saja, ada dokter bedah di sini, kalau jahitannya lepas, akan aku panggilkan Jennie ke sini," santainya. "Jadi oppa benar-benar tidak sekarat, kan? Kau tidak berencana mati dalam waktu dekat, kan?" tanyanya kemudian, sambil sesekali menghapus air matanya.

"Tidak, justru karena aku tidak ingin mati cepat, aku rutin ke rumah sakit. Sekalian merawat daganganku," jawabnya. "Ibumu yang bilang— kalau kau ingin menjual bunga, jual bunga yang bagus, orang miskin tidak peduli bentuk bunganya tapi yang kaya hanya mau membayar mawar tanpa duri— cantik, bersih, sehat, eksklusif, aku menjual kualitas, jadi-"

"Wah... Kau membicarakan bisnis prostitusimu seperti sedang berbisnis sungguhan," potong Lisa. "Jadi medical check up-nya hanya untuk pelacur-pelacurmu? Oppa hanya mengantar mereka ke sana?"

"Untuk apa aku mengantar mereka? Tentu saja ada orang lain yang mengurusnya," tanya Jiyong. "Aku ke rumah sakit untuk diriku sendiri. Kau tahu aku juga membeli bunga yang aku jual," pelannya, jauh lebih pelan dari bisikan-bisikannya tadi.

"Oppa juga bayar?"

"Tentu saja- ah! Siapa yang membuat rumor aku akan menikah dan Leo akan punya ibu tiri?" tanya Jiyong. "Perempuan itu- siapa namanya? Aku tidak ingat namanya, pokoknya dia, perempuan itu bilang ke orang-orang aku menyukainya. Dia jadi besar kepala, merepotkan, jadi aku harus memecatnya. Padahal service-nya lumayan, dia bisa dijual mahal," katanya, justru membuat Lisa berpaling darinya.

Lisa menutup telinganya sekarang. Ia punggungi Jiyong, enggan melihat wajahnya lagi. Ia baru saja ingat kalau laki-laki yang ada di kamarnya itu benar-benar berengsek. "TMI... Jangan menceritakan itu padaku," rengek Lisa. "Aku tidak mau tahu tentang bisnismu, terlalu kotor," tolaknya, tetap menutup telinganya.

"Lalu cerita apa yang mau kau dengar? Perkelahian? Pembunuhan? Kau suka film action, 'kan?" tawarnya.

"Heish... Apa tidak ada cerita yang normal?" heran Lisa, tapi ini salahnya. Ia yang bersalah karena memilih Jiyong untuk jadi seseorang yang bisa menghiburnya. Harusnya Jisoo yang ia biarkan masuk, gadis itu pasti punya lebih banyak cerita heroik yang normal untuk di dengar, cerita-cerita mengharukan yang bisa menghangatkan hati seseorang.

***
Tamat~
Mungkin bakal ada bonus, tapi belum nemu idenya.

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang