***
Sepulangnya dari Seattle, Lisa kembali sibuk dengan rencana pernikahannya. Jiyong tidak menunjukan minatnya untuk membantu persiapan itu, tapi Lisa tidak keberatan, sebab ada teman-teman serumahnya yang mau membantu. Sesekali Leo pun bersedia membantunya, kalau bocah itu tidak punya rencana untuk bermain dengan teman-temannya.
Ujian kelulusan Leo sudah selesai. Beberapa temannya bersiap untuk ujian masuk kuliah, sebagian lainnya sudah memutuskan untuk mulai bekerja. Sementara Leo, ia masih tidak menemukan tujuannya. Satu yang pasti, kakeknya ingin ia kuliah di fakultas kedokteran atau hukum. Setiap hari, Leo dijejali pesan dan telepon dari kakeknya, mendesaknya untuk belajar di akademi bersama teman-temannya yang lain.
Meski ada seorang pria paruh baya yang terus mendesaknya untuk menyeret Leo ke kelas bimbel, Jiyong menikmati ketenangan ini. Hanya hari-hari biasa, dengan masalah-masalah sederhana yang tidak perlu ia jadikan beban pikirannya. Semuanya tenang, semuanya nyaman.
Melihat Leo sibuk dengan masa depannya sendiri. Melihat Lisa sibuk mencari kebahagiaannya sendiri, ternyata sudah lah cukup bagi Jiyong. Meski ketenangan itu sesekali membuatnya khawatir, Jiyong bisa menikmatinya. Hanya menjadi pengamat, hanya jadi penonton, dalam hidup dua orang yang harus ia jaga, Jiyong menyukainya.
Leo sudah bangun, lengkap dengan pakaian olahraga dan sepatu larinya ketika Jiyong turun dari kamarnya. Ia lihat bocah itu, bertanya kemana Leo akan pergi pagi-pagi begini, sementara bocah itu tidak lagi pergi ke sekolah. Hanya mereka yang ingin masuk universitas tapi tidak bisa membayar bimbel yang datang ke sekolah.
"Aku baru saja selesai lari pagi, aku baru saja datang," kata Leo, masih melihat-lihat isi lemari esnya. "Aku harus belanja hari ini, Lisa belum selesai memilih gaunnya, dia tidak ingat untuk pergi belanja," lapornya kemudian.
"Memang kau yang harusnya pergi belanja, kenapa Lisa perlu mengisi lemari es di rumah yang bukan rumahnya?" jawab Jiyong.
"Kenapa aku? Bukan aku kepala keluarga di sini?"
"Aku sudah mencari uang, kau yang belanja. Hanya pergi belanja, kenapa mengeluh? Kau bahkan tidak perlu membersihkan rumah, selain kamarmu sendiri," santai pria itu, menunggu gilirannya untuk melihat-lihat sisa makanan di lemari es.
Mereka akan terus berdebat, tentang pergi belanja dan apa saja yang harus dibeli. Tapi untungnya, bel pintu ditekan, sukses menginterupsi debat kusir itu. Bersamaan dengan bel yang ditekan, handphone Jiyong berdering dan Lisa yang meneleponnya. "Oh! Aku tahu, oppa pasti sudah bangun," kata gadis itu, begitu Jiyong menjawab panggilannya. "Aku mengirim belanjaan ke rumahmu, kurirnya meninggalkan belanjaannya di depan rumahmu, tapi ada nugget dan sosis di sana, oppa harus cepat-cepat menaruhnya di freezer," katanya, bahkan sebelum Jiyong sempat menyapanya.
"Ya! Kau ambil belanjaan di luar," suruh Jiyong, menendang pelan bokong Leo yang masih sibuk mengantongi apel busuk di lemari es mereka. Akan membuang apel-apel itu. "Lisa bilang harus cepat, sana pergi," usirnya, masih sembari menelepon, tapi kali ini ia melangkah untuk duduk di meja makan.
"Leo sudah bangun? Kenapa? Dia tidak akan ke sekolah hari ini," komentar Lisa. "Ah... Dia mau ke sekolah untuk menemui Ahyeon? Apa anak-anak seusianya memang selalu mendekati semua perempuan? Dia menggoda Rose, dan teman-temanku juga, augh! Aku malu sekali di LA kemarin, dia menggoda semua anak magang," ceritanya, mengadukan kelakuan Leo selama menungguinya bekerja.
"Daripada kuliah atau bekerja, katanya dia ingin jadi sugar baby saja," kata Jiyong, tidak sengaja mengingat ocehan asal yang sempat Leo katakan beberapa hari lalu. Ketika kakeknya tiba-tiba datang, memarahinya karena tidak mau pergi bimbel. "Dia bahkan bilang, kalau dia sudah punya pacar yang mau menanggung hidupnya," ceritanya kemudian, setelah ia dengar Leo sudah pergi melewati pintu depan. Akan mengambil paket belanjaan yang Lisa kirim.
"Whoa... Bajingan kecil itu," heran Lisa. "Siapa wanita bodoh yang mau memeliharanya?" susulnya kemudian.
"Mungkin seseorang dalam khayalannya, aku juga tidak tahu," kata Jiyong. "Bagaimana persiapanmu? Kau butuh bantuan?"
"Tidak, semuanya lancar, hampir sesuai rencana. Hanya saja Mino tidak bisa ikut memilih gaun, jadi aku sedikit canggung. Tapi tidak perlu mencarinya lalu membuatnya datang ke sini, Mino hanya pergi keluar kota beberapa hari, jadi relawan di pedesaan bersama anak-anak magangnya. Harusnya Jennie yang berangkat, tapi Jennie baru saja sakit, jadi dia menggantikannya."
"Sakitnya parah? Menular?"
"Apa hamil menular?" kata Lisa, balas bertanya.
"Hamil? Whoa... Hamil bukan penyakit," komentar Jiyong. "Tapi kalau dia tidak menginginkan kehamilannya, gugurkan saja? Kalau tidak boleh... Bilang saja dia diperkosa? Mau aku bantu mencarikan pelakunya?"
"Augh! Oppa! Ini masih terlalu pagi untuk membuatku kesal!" gerutu Lisa, tidak menduga respon barusan. "Dia tidak mau mengugurkannya, dia sakit karena dia tidak tahu siapa ayahnya. Dia melakukannya dengan kekasihnya, bertengkar lalu putus. Beberapa hari kemudian dia melakukannya lagi, kali ini dengan rekan kerjanya... yang bahkan tidak pernah dia ajak bicara sebelumnya. One night stand, untuk melupakan kekasihnya. Tapi Mino bilang, akan jauh lebih baik kalau dia hamil karena rekan kerjanya itu, si one night stand. Laki-laki yang itu katanya lebih bertanggung jawab, daripada mantan kekasih Jennie. Namanya Nico, sangat tampan, tidak pernah berkencan, sedikit kutu buku tapi tubuhnya atletis."
"Sangat tampan tapi tidak pernah berkencan? Kau percaya itu? Naif sekali."
"Heish! Kau pikir semua pria sepertimu? Punya jadwal sakral untuk bersetubuh dengan sembarang perempuan?" gerutu Lisa. "Tidak, dia tipe yang gila kerja. Ambisius seperti ilmuan sinting, karena itu Jennie hampir tidak pernah bicara dengannya. Dia sedang mengembangkan obat untuk kanker atau semacamnya, hanya sibuk dengan pasien-pasiennya, obatnya, pekerjaannya, hampir tidak punya waktu untuk berkenalan lalu berkencan. Tapi malam itu, mereka ke bar, Mino yang mengundang semuanya, merayakan pertunangan kami. Kebetulan, Nico baru saja kehilangan pasiennya, Mino memaksanya ikut untuk menghiburnya, tapi Mino tidak menduga soal one night stand-nya, ternyata Jennie yang menghiburnya," cerita Lisa.
Mereka bicara cukup lama di telepon. Sedang Leo, dibuat sibuk dengan semua belanjaan Lisa. Tanpa diberi kesempatan menolak, bocah itu disuruh mengambil juga merapikan belanjaannya. Bukan hanya satu kardus belanjaan, Lisa mengirim sampai empat kardus makanan dan minuman. Mengatakan kalau ia tidak akan sempat pergi ke supermarket sendiri, jadi ia pesan semuanya lewat aplikasi. Mengaku kalau ia harus belanja sebanyak itu agar tidak perlu membayar ongkos kirimnya. Bahkan bir dan rokok, Lisa beli semuanya dalam jumlah banyak. Ia buat lemari es juga rak dapur Jiyong penuh dengan semua stok makanannya.
***