***
Lepas hari itu, bagi Lisa juga Jiyong keadaan dianggap membaik. Leo tidak lagi berkelahi, ia sibuk berlatih sekarang. Anak-anak putus sekolah yang beberapa kali mengganggunya pun tidak lagi muncul— padahal Leo menunggu kedatangan mereka, merasa dirinya bisa balas memukul anak-anak itu, sebab sudah dilatih seorang mantan atlet.
Kadang Leo penasaran, kemana perginya anak-anak itu. Tapi kalau ia coba membayangkan apa yang terjadi, rasa-rasanya bocah itu bisa menebaknya, alasan ia tidak lagi diganggu. Teman-temannya bilang, anak sekolah lain yang tempo hari berkelahi dengannya, masih sesekali mengganggu. Namun Leo tidak punya waktu, tidak juga punya tenaga untuk melayani mereka. Waktu dan tenaganya, ia pakai habis untuk berlatih, berusaha mengalahkan Soohyuk yang hampir tidak bisa ia sentuh.
Hari berlalu, minggu bergulir sampai akhirnya ujian kelulusan ada di depan mata. Seperti hari ini, sesekali Lisa datang ke pasaraya, kalau Leo ada di sana. Kadang-kadang Lisa datang dengan kudapan, sesekali juga ia memesan banyak makanan untuk semua orang di sana. Jiyong melarangnya— menghabiskan gajinya hanya untuk memberi makan anak buahnya— tapi Lisa tidak pernah mendengarkannya.
Hari ini Lisa datang setelah jadwal syutingnya selesai. Ia parkir mobilnya di depan pintu masuk bagian belakang. Beberapa pria yang melihatnya bergegas menghampiri gadis itu. Lisa tidak tahu siapa nama mereka, ia tidak pernah bertanya, orang-orang itu pun tidak mengenalkan dirinya. Adiknya bos, bibinya Leo— begitu mereka mengenali Lisa.
"Hati-hati, ada mainanku di belakang," kata Lisa, memberikan kunci mobilnya pada seorang pria. Ia minta pria itu mengeluarkan kotak-kotak makan siang yang sudah ia pesan dalam perjalanannya tadi.
Mereka mengiyakannya, tapi seorang pria tidak membiarkan Lisa untuk langsung masuk menemui Leo. Ia ajak Lisa berbincang, sekedar bertanya bagaimana kabar gadis itu, juga memberitahu Lisa kalau Jiyong ada di dalam. "Apa yang sedang dia lakukan-" Lisa ingin menanyakan Jiyong pada pria itu, tapi teriakan pria-pria lainnya mengejutkan mereka.
Dua laki-laki dengan tato naga di lengan mereka menjerit, terkejut sampai jatuh di atas tanah tempat parkir. "Aku sudah bilang ada mainanku di sana," kata Lisa, tahu alasan orang-orang itu terkejut. Ada properti syutingnya di mobil, kepala yang terpenggal dan dua mayat pucat yang hampir membusuk.
"Itu hanya boneka, kau pikir aku akan membawa mayat sungguhan di mobilku? Aku bukan Kwon Jiyong," herannya kemudian. "Jangan di sentuh, dia hidup, bisa bergerak, ada rohnya," susulnya, menjahili pria-pria yang sekarang malu karena terkejut. Terlebih karena beberapa orang lain— yang mendengarnya berteriak— sekarang menertawakannya.
Lisa pun terkekeh, tapi ia biarkan mereka memproses keterkejutan itu. Ia tinggalkan mereka, lantas masuk ke tempat latihannya. Mengeluhkan bau keringat di sana, menyuruh beberapa pria untuk membuka jendelanya lebih lebar. Dilihatnya Leo tengah memukuli samsak sekarang. Beberapa waktu lalu, bocah itu masih memakai sarung tangan tinjunya, tapi hari ini ia melepaskannya. Ia pukuli samsaknya, membiarkan tangannya yang halus perlahan-lahan memerah.
"Kau datang?" sapa Leo, berhenti memukul hanya untuk melihat Lisa yang mengunjunginya.
"Hm... Aku bawakan makan siang, makan lah dulu. Mana ayahmu?"
"Di lantai dua."
"Ada lantai dua di sini?" tanya Lisa dan Leo menunjuk pintu kayu di sebelah lemari.
Lisa tidak pernah berkeliling dalam gedung itu. Ia hanya menemui Leo, menonton latihannya sebentar lalu pergi lagi. Ia pikir pintu itu hanya menuju ke ruangan lain, ruang ganti. Ia tidak tahu kalau di dalam ruang gantinya— yang jauh lebih pengap, lebih bau— ada tangga menuju lantai dua. Karena penasaran, Lisa berlari kecil, naik ke lantai dua. Perlahan, ia buka pintunya.
Di dorongnya pintu itu dengan hati-hati, hanya membuat celah kecil agar matanya bisa mengintip ke dalam. Ruangannya lebih redup dari ruang lain. Ada aroma rokok yang jauh lebih menyengat di sana, Lisa yakin orang yang bekerja di sana tidak pernah mau repot-repot membuka jendelanya.
"Aku rasa lima orang saja cukup," Lisa bisa mengenali suara Soohyuk dari celahnya ia mengintip.
Sambil menutup hidungnya, Lisa terus mengintip. Rasa penasaran tidak membiarkannya untuk pergi dari sana. Ia terus menguping, tapi tidak sekali pun ia dengar Jiyong bicara. Laki-laki itu tidur atau bagaimana?— heran Lisa, sebab Jiyong terlalu tenang di dalam sana.
Lewat celah pintunya, Lisa tahu kalau orang-orang di dalam sana sedang membuat rencana untuk menculik seorang calon walikota. Mereka akan menjemput pria itu di restoran, nanti malam. Gadis itu mendengar banyak obrolan, tentang kelima orang yang berjaga di sekitaran restoran. Tentang bagaimana mereka akan menculik si calon walikota. Sayangnya, Lisa tidak bisa memahami detailnya, ada terlalu banyak kata ganti yang tidak dipahaminya. Itu, di sana, mereka, ini, ke sana, kita— tidak ada deskripsi spesifik dalam pembicaraan itu. Entah bagaimana orang-orang di dalam sana bisa memahami obrolan itu.
Selanjutnya Lisa mendengar kursi bergerak. Orang-orang dalam ruangan itu, tanpa aba-aba, bersamaan membungkuk, memberi salam, memberi hormat pada bos mereka. Jiyong akan pergi sekarang— akan keluar dari pintu tempat Lisa mengintip. Tidak ingin tertangkap basah sedang menguping, gadis itu berbalik dan di detik yang sama, di dengarnya suara Jiyong.
"Lakukan dengan benar, dia yang membunuh Teo. Kita selesaikan sebelum Lisa bilang ingin menikah. Aku rasa, dia akan benar-benar menikah kali ini," kata Jiyong, bicara pada Soohyuk, tidak seberapa keras tapi Lisa bisa mendengarnya. Terlebih karena namanya juga ayahnya di sebut dalam pembicaraan itu.
Soohyuk membuka pintu di depannya, untuk Jiyong. Ia buka lebar pintunya tapi langkah mereka tertahan oleh gadis yang berdiri di sana. Mematung, sedang mencoba mengaitkan petunjuk-petunjuk yang ia dengar. Seperti saat-saat ketika ia masih kecil, ia ingin mengintip bagaimana ayahnya bekerja. Kali ini pun sama, ia hanya ingin mengintip, lalu membandingkan gangster yang dikenalnya, dengan karakter-karakter dalam film.
"Lisa," Jiyong sedikit bingung. Ia hampir tidak menunjukan reaksi apapun, tapi matanya membesar, untuk beberapa detik, ia tunjukan keterkejutannya.
"Siapa yang membunuh ayahku?" tanya Lisa, hampir tidak bisa bergerak.
***
