***
Ini saatnya sarapan, di meja makan yang semalam Lisa hias dengan lilin dan bunga-bunga mereka duduk. Empat gadis, dengan setengah potong steak di masing-masing piringnya. "Bukankah ini masih terlalu pagi untuk makan steak dan wine?" Jennie, yang baru saja pulang menatap canggung pada tiga gadis lain di hadapannya.
"Sayang kalau dibuang," kata Lisa. "Semalam aku putus, makan malam romantisnya batal. Dagingnya kecil sekali, mau memanaskan nasi?" susulnya, sementara gadis di depannya menguap— Kim Jisoo.
"Apa kita harus selalu sarapan bersama?" Rose yang baru datang membuka suaranya. Ia sudah sempat tidur semalam, sekitar tiga jam setelah menangis bersama Lisa. Namun beberapa menit lalu, ia dibangunkan karena Lisa ingin sarapan bersama, karena ia ingin mengenalkan Rose pada teman-teman serumah lainnya.
"Tidak," geleng Jennie. "Hanya karena kau baru datang, kita sarapan untuk menyambutmu," susulnya.
Jennie mengenal Rose, begitu juga sebaliknya. Beberapa tahun lalu, Rose pernah menjadi pasiennya. Rose terus datang, hampir jadi pelanggan tetap di rumah sakit tempat Jennie bekerja. Karenanya mereka saling kenal dan sempat terkejut beberapa waktu lalu.
"Rumahnya di renovasi, jadi untuk sementara, sampai renovasinya selesai, Rose akan tinggal di sini," begitu yang Lisa katakan, pagi ini setelah ia mengenalkan Rose pada teman-teman serumah lainnya.
Jennie dan Rose berbincang, hanya membicarakan kesehatan Rose. Jennie senang karena Rose tidak lagi jadi pasiennya, karena itu artinya Rose tetap sehat, tapi gadis itu tetap bertanya. Hanya berbasa-basi, sebab belum banyak topik yang bisa mereka bicarakan.
Jisoo bangkit dari duduknya, mengatakan kalau ia akan menghangatkan nasi di microwave. Lisa berkata kalau ia mau semangkuk nasi, sementara Jennie dan Rose menolaknya. Mengatakan kalau sepotong steak yang dibagi dua saja sudah cukup bagi mereka.
"Jadi semalam kau putus?" Jisoo bertanya, sembari berdiri di depan microwave, menunggu nasinya matang.
"Hm..." angguk Lisa, sesekali menyesap winenya. "Padahal aku sudah susah payah menyiapkan semua ini," keluhnya kemudian. "Dia bahkan tidak datang, dia hanya mengirimiku pesan, bilang kalau kita tidak bisa bertemu lagi," ceritanya.
"Kau tidak memasak steaknya kan?" Jennie yang sekarang bertanya, berhenti memotong daging yang sebentar lagi akan dilahapnya.
"Tidak... Aku membelinya," kata Lisa.
"Kau harus hati-hati kalau Lisa memberimu makanan, dia tidak bisa memasak," ucap Jennie, kali ini pada Rose yang tidak bisa mengatakan apapun selain terkekeh canggung. Ia belum terbiasa berada di sana.
Selesai makan, gadis-gadis itu berpisah. Jennie masuk ke kamarnya untuk tidur setelah shift panjangnya, begitu juga dengan Jisoo yang baru menyelesaikan 24 jam shiftnya. Rose kembali ke kamarnya di lantai dua, kembali beristirahat setelah kelelahan menangis sementara Lisa memakai sepatu olahraganya untuk pergi lari pagi.
Gadis itu berlari mengelilingi tempat tinggalnya. Terus naik ke puncak bukit kemudian menekan bel rumah yang ada di sana. Ia tekan belnya dua kali, baru setelahnya ia buka pintu rumah itu dengan sidik jarinya. Lisa melewati gerbang depannya, melangkah melintasi pekarangan dengan mobil-mobilnya. Baru setelahnya ia buka pintu depan rumah itu.
"Oh? Kau masih di rumah? Tidak sekolah?" Lisa berhenti di depan pintunya, menatap pada pria tinggi di depannya. Melihat laki-laki itu memakai celana jeans dan kaus hitamnya, bukan seragam sekolahnya.
Namanya Leo, tingginya hampir dua meter, jauh lebih tinggi dari Lisa, bahkan dari ayahnya sendiri. Lisa yang sebelumnya selalu dianggap tinggi, merasa mungil setiap kali berada di sebelah bocah itu. Terlebih saat anak laki-laki itu menumpangkan tangannya ke kepala Lisa.
"Sstt! Libur," katanya. "Kenapa kau ke sini? Aku baru saja mau ke rumahmu," susulnya, masih memegangi sepatu yang akan dipakainya.
"Bohong. Untuk apa kau ke rumahku?"
"Berkenalan dengan model semalam?"
"Dia masih tidur," jawab Lisa, lantas mendorong Leo, menggeser tubuh bocah itu, mencari celah untuk lewat. "Ayahmu ada di rumah? Dia sudah pulang, kan?" tanyanya kemudian, terus berjalan sampai ke dapur. Ia buka lemari es, mengambil sebuah apel yang ada di sana.
"Sepertinya baru pulang jam lima pagi tadi," Leo mengikuti tamunya, mengekor sampai ke dapur, mengatakan kalau ia menyukai gadis cantik yang semalam dilihatnya di rumah Lisa. Si model yang baru saja mengalami malam beratnya. "Kau punya urusan dengan ayahku? Kenapa makan di sini? Ayo ke rumahmu saja," ajaknya, mencari-cari kesempatan untuk melihat lagi model cantik semalam.
"Dia sedang tidur, kau tidak akan bisa melihatnya," tolak Lisa.
"Dia tidak akan tidur selamanya, dia pasti akan bangun, kan?"
"Kau sengaja bolos sekolah untuk melihatnya? Augh! Kau akan dimarahi ayahmu," geleng Lisa, duduk santai di meja makan, masih sembari memakan apel yang ditemukannya. "Aku sedang patah hati sekarang, aku tidak punya tenaga untuk meladenimu, pergi lah ke sekolah," suruhnya kemudian.
"Sudah terlambat-"
"Lebih baik terlambat daripada ketahuan ayahmu," potong Lisa, menggerakan tangannya, tetap menyuruh bocah itu untuk pergi ke sekolah. "Kalau kau dipukul lagi, lalu merajuk dan kabur dari rumah, aku tidak akan menerimamu di rumahku lagi," katanya, membuat garis sebelum Leo menyeretnya dalam pertengkaran ayah dan anak lagi.
Leo berdecak, tapi tetap ia langkahkan kakinya pergi. Ia hentakan kakinya ke lantai, ingin menunjukan ketidaksukaannya. Namun langkah berisik itu, berubah jadi larian kecil ketika di dengarnya suara pintu dari lantai dua. Leo melarikan diri, tepat sebelum ayahnya turun dari lantai dua, melangkah dengan bathrobe-nya dan rambut yang basah selepas mandi.
"Anak nakal itu sudah pergi?" tanya Jiyong, alih-alih menyapa Lisa yang duduk di meja makannya.
Lisa menggumam mengiyakannya, sekarang matanya mengikuti Jiyong. Memperhatikan pria yang berjalan ke meja dapur, membuka lemari dapurnya dan mengeluarkan sebuah gelas di sana. Dari bentuk gelas yang Jiyong ambil, Lisa bisa menebak kalau pria itu akan minum wine pagi ini. "Aku juga mau," kata Lisa. "Aku belum tidur," susulnya, melaporkan suasana hatinya.
"Aku pun belum tidur, kenapa kau tidak tidur?" tanya Jiyong, sekarang meraih satu gelas tambahan, menuangkan wine miliknya ke dalam dua gelas itu dan mengoper salah satunya pada Lisa.
"Aku merindukan ayah dan ibuku," kata Lisa, menatap lesu pada Jiyong.
"Aku juga merindukan mereka," balas Jiyong, mengulurkan tangannya untuk mengusap rambut Lisa. Hanya sebuah usapan lembut, sebelum pria itu kembali melangkah, meninggalkan Lisa di meja makannya. "Bagaimana makan malammu kemarin?" Jiyong bertanya, meski ia sudah tahu jawabannya.
"Kemana oppa mau pergi? Kau tidak mau minum di sini?" tanya Lisa, harus mengekor agar mereka bisa bicara. "Laki-laki itu mencampakkanku semalam, dia tidak mau menikah denganku," katanya, menjawab pertanyaan Jiyong. "Dia bahkan tidak datang, dia hanya bilang kalau dia tidak mau menikah sekarang. Padahal aku tidak pernah memaksanya harus menikahiku sekarang juga. Kenapa menikah itu sulit sekali? Orang-orang bisa dengan mudah menikah, kenapa aku tidak bisa?" ocehnya, sekarang mengekori Jiyong ke halaman belakang. Ikut duduk, berjemur di bangku panjang tepian kolam renang.
***