18

153 33 2
                                    

***

Jiyong pulang ke rumahnya setelah mengantar Lisa ke rumah sakit. Mengantar Lisa menemui kekasihnya sebab bagi gadis itu, Jiyong tidak seberapa menghibur pagi ini. Tiba di rumah, dilihatnya Leo tengah berdiri di depan lemari esnya. Bocah laki-laki itu membungkuk, mencari makanan yang bisa ia jadikan sarapan.

"Kalau kau sudah merasa lebih baik, pergilah minta maaf pada Lisa," kata Jiyong, menunda kakinya untuk naik ke kamarnya di lantai dua.

Mendengar itu, Leo langsung berbalik. Ia lihat ayahnya, membaca ekspresi yang ditunjukkannya. Jiyong tidak menunjukan perasaan apapun, ia tidak kelihatan khawatir. Tidak juga kelihatan peduli. Anaknya dipukuli, tapi dia tidak kelihatan marah. Anaknya terluka, tapi dia tidak kelihatan penasaran. Meski bagi Jiyong memukul dan dipukuli adalah hal biasa, tapi Leo putranya, bukan kah ia harusnya kelihatan sedikit khawatir? Sedikit peduli— Leo menunggunya untuk khawatir, untuk peduli.

"Dia memberitahumu?"

"Hm..." angguk Jiyong, hanya sembari memperhatikan Leo, tetap tidak terlihat peduli.

"Dia mengatakan semuanya?" tanya Leo sekali lagi, dan kali ini pun masih sama. Jiyong tidak menunjukkan keinginannya untuk jadi seorang ayah yang peduli.

Dalam beberapa detik, Leo membayangkan bagaimana reaksi kakeknya. Tuan Wilson pasti marah, pria itu pasti kesal lalu sekarang bergegas pergi ke kantor polisi. Atau setidaknya ia minta Leo untuk menunjukan luka pukulannya semalam. Tapi Jiyong tidak menunjukan kekhawatiran apapun. Lagi-lagi, pria itu tidak terlihat peduli.

"Ya," jawab Jiyong sekali lagi. "Kau bisa-"

"Aku dipukuli dan kau justru mengkhawatirkan perasaan peliharaanmu? Aku tidak pernah berharap kau akan peduli seperti orangtua lainnya, tapi kau tidak pernah menganggapku anakmu, iya kan?" Leo menyela ucapan Jiyong.

Mendengarnya membuat Jiyong sempat tertegun. Ia yang sebelumnya ingin mengatakan kalau Leo bisa tetap di rumah, beristirahat dan tidak perlu ke sekolah karena sakit, sekarang tidak bisa berkomentar. Jadi orangtua benar-benar bukan keahliannya, setiap hari perasaan itu tumbuh semakin besar dalam dirinya. Menggerogoti Jiyong hingga rasanya ia ingin melarikan diri— meski tidak pernah dilakukannya. Atau tanpa sadar ia sudah melakukannya? Selama ini ia mungkin sudah melarikan diri dengan sikap angkuhnya.

"Tidak perlu berangkat ke sekolah kalau masih sakit, beristirahat lah," kata Jiyong, setelah beberapa menit ia diam. Mencari-cari alasan untuk membela dirinya, namun tidak menemukan apapun. "Pesan saja makanan yang layak, jangan hanya makan itu," susulnya, menunjuk apel yang sedari tadi ada di tangan Leo.

Jiyong berbalik, akan pergi ke kamarnya lalu ia mendengar Leo melempar apel itu ke dinding. Cukup keras hingga apel itu hancur berantakan di lantai. Normalnya, kalau Jiyong tidak menganggap Leo putranya, keluarganya, Jiyong akan marah. Akan ia tarik kerah baju Leo, kemudian memukulinya. Kalau sudah begitu, Leo tidak akan bisa keluar dari UGD seperti semalam. Tulang-tulangnya mungkin remuk, giginya mungkin rontok, isi perutnya akan hancur.

Pria itu tidak melakukan apapun. Ia tahan amarahnya, sekuat mungkin. Tanpa menoleh, Jiyong melangkah naik ke kamarnya. Meski menginginkannya, tidak juga ia banting pintu kamarnya. Ia buat Leo jadi semakin kesal dengan ketenangannya. Ayahnya terlalu tenang, ayahnya tidak merasakan apapun, terlalu pendiam, terlampau tidak peduli dan itu membuat Leo semakin nyeri— dia begitu karena tidak pernah menganggapku putranya.

Lepas hari itu, masalahnya tidak pernah diselesaikan. Jiyong tidak berusaha meraih kembali putranya. Tidak ia jelaskan pada Leo, bagaimana asingnya ia akan hidupnya sekarang. Tidak pernah ada buku manual tentang bagaimana caranya jadi seorang ayah, bahkan meskipun ada, Jiyong tidak pernah membacanya.

Leo yang pernah hidup dengan penuh cinta dari ibu kandungnya, tidak pernah tahu bagaimana Jiyong hidup. Dan akan terus begitu sebab Jiyong pun tidak pernah menceritakannya. Mereka tidak bertengkar sebelumnya, tapi bukan karena keduanya dekat. Bagi Leo, pun untuk Jiyong, selalu ada jarak yang amat lebar diantara mereka. Keduanya sama-sama terlalu canggung, terlalu berhati-hati untuk berinteraksi. Lisa bisa mengurangi jarak itu, sedikit demi sedikit.

Namun sekarang gadis itu marah. Tidak lagi Lisa datang ke rumah, hanya untuk mampir, mengisi lemari es atau menemui Leo. Meski sudah satu pekan, Lisa tetap marah. Gadis itu masih menemui Jiyong— kalau memang perlu— tapi tidak ia temui lagi anak pria itu. Lisa bersumpah, ia tidak akan menemui Leo, tidak akan meraihnya lebih dulu, sebelum anak itu meminta maaf padanya.

Bahkan malam ini, sepulangnya ia dari kantor sang sutradara, Lisa menghentikan taksinya di depan rumah Jiyong. Ia menekan belnya, menunggu beberapa menit sebelum akhirnya ia melangkah masuk. Di pekarangan, ia bertemu dengan Leo yang akan pergi makan malam. Anak laki-laki itu sempat menatapnya, tapi tanpa menunggu Leo bicara, tanpa memberi Leo kesempatan untuk bimbang, Lisa melewatinya begitu saja.

Ia lihat Leo dengan tatap kesalnya, lantas melangkah melewatinya. Seperti biasanya, Lisa mendorong pintu depan, berlari kecil untuk naik dan mengetuk pintu kamar Jiyong. "Aku boleh masuk?" Lisa bertanya, masih sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Jiyong.

"Ya," suara santai Jiyong terdengar dari dalam, maka Lisa dorong pintu di depannya sampai terbuka. Di dalam kamar itu, ia lihat Jiyong tengah berdiri di sebelah ranjangnya. Baru saja memakai kaus hitamnya, sementara ada jaket kulit hitam di atas ranjangnya.

"Oppa mau pergi?" tanya gadis itu, memperhatikan Jiyong dengan pakaiannya, melihat pria yang sekarang duduk di ranjang, akan memaki sepatunya. Sepatu kets berwarna abu-abu, yang kelihatannya ringan untuk berlari.

"Bekerja," jawab Jiyong, tetap menunduk untuk memakai sepatunya.

"Apa harus bekerja setiap hari? Kau tidak punya hari libur?" tanya Lisa, sekarang duduk, hanya sebentar sebab kemudian ia berbaring di sebelah Jiyong, menindih sedikit bagian jaket yang diletakkan di ranjang.

"Hari Rabu?"

"Rabu? Bukannya hari Rabu kau tetap bekerja? Hanya kadang-kadang ada perempuan yang- oh? Sepertinya ada yang salah dengan konsep hari liburmu. Libur tidak sama dengan bersetubuh. Liburan tidak selalu soal seks."

"Memang apa yang kau lakukan saat libur?"

"Tidur, makan enak, pergi kencan, istirahat, pergi jalan-jalan, bermain, olahraga," jawab Lisa, lalu tatap mereka bertemu. Jiyong menoleh, melihatnya lantas menaikan alisnya.

"Aku melakukan semua itu setiap hari," kata pria itu, yang tidak pernah punya jam kerja khusus. Jiyong pergi bekerja sesuai janji yang ia buat, sesuai jam ia bangun dari tidurnya. Kapan pun, ia mau. "Khusus berkencan, hari Rabu," susulnya.

"Berkencan apanya? Kau mengganti teman kencanmu setiap Rabu!" protes Lisa, lepas beberapa detik sebelumnya ia hampir membenarkan ucapan Jiyong. "Augh! Terserah, cukup jaga dirimu, jangan sampai menghamili seseorang atau kena sifilis. Aku tidak peduli soal yang lainnya," gelengnya kemudian, enggan terlibat dalam urusan asmara Jiyong.

Jiyong hanya berdecak mendengarnya. Tidak ia minta Lisa untuk mengkhawatirkannya. Meski gadis itu mengkhawatirkannya sekalipun, Jiyong tidak mau repot-repot untuk peduli. Berharap sikapnya cukup untuk membuat garis yang jelas diantara mereka— jadi kekasih Lisa tidak akan cemburu padanya.

"Jadi kenapa kau datang? Mencari Leo? Dia pergi makan malam," kata Jiyong kemudian.

"Aku melihatnya saat masuk tadi, tapi dia belum minta maaf. Jadi aku mengabaikannya," santai Lisa. "Omong-omong, soal orang yang memukuli Leo, oppa sudah tahu siapa mereka?" tanya Lisa, dan kali ini Jiyong menganggukan kepalanya. Ia sudah tahu sejak beberapa hari lalu, tepat setelah Lisa mengabarinya kalau Leo diganggu orang, Jiyong menyuruh orangnya untuk mencari para perundung itu. "Lalu? Siapa mereka? Apa yang oppa lakukan pada mereka?" tanya Lisa, sekali lagi.

"Aku tidak melakukan apapun," geleng Jiyong. Tapi ia hindari mata gadis di sebelahnya. "Aku hanya meminta seseorang memukul mereka satu kali, aku bahkan tidak menemui mereka. Aku menunggu di mobil."

"Hanya satu kali?"

"Hm... Hanya satu kali, tapi karena mereka membalas, jadi bisa dianggap beberapa kali?"

"Hhhh... Aku yang salah karena bertanya," gumam Lisa, lalu bangun dari posisinya. "Kau sudah akan pergi sekarang? Beri aku tumpangan sampai restoran, beri aku makan juga," pintanya kemudian.

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang