***
Di pinggiran kota Bellis, mereka tiba. Mobil Jiyong berhenti di depan sebuah restoran, tempatnya kelihatan tua, beberapa bagian restorannya sudah berkarat, ada juga yang kelihatan lapuk dan kumuh. Aroma restoran nenek yang kumuh dan tua terasa sangat jelas di sana. Lisa tidak yakin bagaimana rasa makanan di sana, tapi biasanya, restoran yang masih buka meski sudah kelihatan setua ini punya makanan yang luar biasa enak.
Jiyong yang lebih dulu turun, sementara supirnya bergegas membukakan pintu untuk Lisa. Malam sudah larut ketika mereka tiba, Lisa sempat terlelap karena terlalu lama memejamkan matanya dan sekarang gadis itu menghela nafasnya. Ia menatap Jiyong, menunjukan ketakutannya. Sementara pria itu hanya mengangguk, memggerakan kepalanya untuk menunjuk ke dalam restoran dan di sana Lisa melihat pria itu.
Di dalam restoran yang pintunya terbuka itu, Lisa lihat seorang pria tengah duduk di dalam. Laki-laki itu bertubuh sedang, sedikit bungkuk dengan kulit yang cokelat gelap karena matahari. Kantung matanya kelihatan jelas, ia terlihat kelelahan tapi cara makannya luar biasa rakus. Ia masukan sendok demi sendok nasi bercampur sup ke dalam mulutnya. Terus menyuap meski suapan sebelumnya belum ia telan. Melihatnya makan membuat Lisa merasa mual.
Laki-laki itu mengenakan kemeja biru muda yang tidak cocok dengan kulitnya. Warna pakaiannya membuatnya kelihatan semakin gelap. Sangat mengganggu terlebih dengan beberapa tetes sup yang terciprat ke bajunya. Berlaga seolah ia sudah berhari-hari tidak makan. Kesan pertama Lisa tentangnya tidak lah baik. Terlebih karena beberapa cuplikan interview yang sempat dilihatnya siang tadi.
Orang ini terlalu bodoh, terlalu rakus untuk jadi pemimpin— anggap Lisa setelah melihatnya. Kesan pertama yang buruk, kini membuat Lisa enggan untuk duduk di sana. Tapi Jiyong membawanya masuk. Ia rangkul bahu Lisa, dengan tenang memaksa Lisa untuk duduk di depan pria itu.
Ketika mereka duduk, laki-laki itu bersendawa. Lalu ia terkekeh, meminta maaf atas ketidaksopanannya. Tidak terdengar tulus karena tawa yang menyebalkan itu. Terlebih karena Lisa bisa melihat air liur yang terciprat dari mulutnya. Bisa juga melihat sisa-sisa makanan dalam mulutnya.
Lisa menelan ludahnya, menekan dalam-dalam isi perutnya yang memaksa ingin keluar. Tidak bisa ia sembunyikan ketidaksukaannya. "Sulit sekali untuk menemuimu," kata laki-laki itu, bicara pada Jiyong seolah Kwon Jiyong bekerja untuknya. "Siapa wanita cantik ini? Kau membawakannya untukku? Augh! Jiyong! Apa kau kehilangan kemampuanmu? Bagaimana bisa kau membawa hadiah tanpa memakaikannya baju lebih dulu? Kemari lah, duduk di sebelahku," ocehnya, memprotes Jiyong lalu tangannya terulur untuk meraih Lisa. Ingin menyentuh tangan gadis itu, menarik Lisa agar pindah duduk ke sebelahnya.
"Jaga sikapmu," tahan Jiyong, juga mengulurkan tangannya agar laki-laki itu tidak menyentuh gadis di sebelahnya. "Ini bosku, yang mewarisi semua kekayaan Teo," susulnya, terdengar tenang meski ia tidak pernah merencanakannya sebelumnya.
Dalam mobil tadi, Jiyong sempat bimbang. Ia yang mengajak Lisa, berencana untuk menyuruh gadis itu tetap di mobil sementara ia bekerja. Namun Lisa kelihatan tidak bisa duduk tenang di mobil. Mendengar permintaan gadis itu, Jiyong merasa Lisa akan membuat kekacauan kalau ditinggalkan sendirian di dalam mobil.
Sempat Jiyong berfikir untuk menurunkan Lisa di jalan, menyuruh gadis itu kembali dengan taksi. Tapi Lisa bukan seorang yang penurut. Bagaimana kalau gadis itu justru memakai taksinya untuk mengekor? Ia justru akan menambah saksi mata yang harus Jiyong urus. Ia pun sempat menimbang-nimbang, akan menyebut Lisa sebagai kekasihnya, atau ibu dari putranya. Tapi hubungan mereka akan terasa canggung jika ia berkata begitu, terlebih karena Lisa sudah berencana untuk menikahi kekasihnya sekarang.
Karenanya, ia memilih untuk mengatakan yang sebenarnya. Meski tahu Lisa tidak akan menyukainya. Lisa tidak mau menerima geng ayahnya. Ia tidak mau menerima semua bisnis legal maupun ilegal milik Teo juga Hani. Hanya rumah yang ia terima, itupun karena ia tidak punya tempat tinggal dan tidak ingin menetap di rumah Jiyong. Tidak ingin melihat Jiyong bekerja setiap hari.