***
Leo bersembunyi ketika ia lihat ayahnya keluar dari gerbang rumah Lisa. Ia lihat gadis itu mengantar ayahnya keluar, dilihatnya juga Jiyong mengusap bahunya. Jiyong hanya berterimakasih, karena Lisa sudah membuatnya merasa lebih baik sekarang, dengan ceritanya tentang LSD.
"Kalau kau butuh obat itu lagi, beritahu aku," kata Jiyong, sengaja menjahili Lisa.
"Augh! Tidak! Aku tidak akan butuh obat itu! Pergi, sana pergi," gerutu Lisa, mendorong-dorong Jiyong agar cepat masuk ke dalam mobilnya.
Jiyong tertawa, tapi tidak seberapa lama, sebab Jiyong melaju pergi setelahnya. Lepas melihat mobil Jiyong melaju pergi, Lisa berbalik untuk kembali masuk ke rumahnya. Sempat dilihatnya Leo bersembunyi di balik pagar dindingnya, namun Lisa putuskan untuk berlaga tidak melihatnya. Sebentar ia tunggu gerbang rumahnya bergerak. Berfikir kalau Leo mungkin akan menyusulnya, akan menghampirinya.
Tapi tidak, hari itu Leo tidak menegurnya. Bocah itu marah, kesal karena Jiyong mendahuluinya. Ia yang berencana untuk datang, meminta Lisa membelanya, kini kembali merasa dikhianati. Lisa sudah lebih dulu membela ayahnya— anggap Leo, jadi ia putuskan untuk tidak menemui Lisa.
Baru beberapa hari setelahnya, baru Leo tidak lagi bisa menghindari Lisa. Tidak ada pilihan lainnya, ia ditangkap polisi, di tengah-tengah hari sekolahnya. Lisa sedang bekerja, ketika seorang polisi tiba-tiba meneleponnya. Karena Leo, hari ini Lisa meninggalkan Jeon Jungsoo dan aktor lainnya, bersama staff-staff mereka.
"Maaf sekali, keponakanku kena masalah di sekolah," kata Lisa, berpamitan pada sutradaranya, pergi di tengah-tengah meetingnya.
Tiba di mobilnya, sambil ia bergegas ke kantor polisi dekat sekolah Leo, Lisa menelepon Jiyong. Butuh waktu lama sampai pria itu menjawab panggilannya. Lisa lihat di navigasi mobilnya, sekarang hari Rabu. Ia menghela nafasnya, lalu ia telepon Jiyong sekali lagi.
Lisa tidak tahu, ia bisa dianggap beruntung atau justru sebaliknya. Kali ini Jiyong menjawab teleponnya, tapi hal pertama yang Lisa dengar justru desah seorang wanita yang benar-benar keras. Seolah handphone yang Jiyong pegang berada tepat di sebelah kepala perempuan itu.
Mendengar suara itu Lisa berteriak. Ingin menutupi desah berisik itu dengan suaranya sendiri. Di menit selanjutnya, gerutu kesal seorang perempuan yang terdengar. "Siapa itu? Istrimu?" sinis kesal wanita itu, bersama dengan suara gerak tubuh terburu-buru di atas selimut.
"Ya, pergilah," ketus Jiyong, bicara pada seseorang yang sekarang ada di kamarnya.
"Istri?! Enak saja! Aku sudah punya pacar!" protes Lisa, mendengar obrolan singkat itu.
"Awas saja kalau alasanmu menggangguku sama sekali tidak penting," kata Jiyong, tidak seketus sebelumnya. Pria itu baru bicara setelah ia pakai kembali celananya. Setelah ia buat Lisa mendengar banyak hal tidak perlu, mendengar banyak suara yang tidak pantas di dengarnya.
"Bisa-bisanya oppa bersetubuh siang-siang begini," komentar Lisa, lantas ia beritahu kalau Leo ada di kantor polisi sekarang. "Aku tidak tahu ini penipuan atau bukan, tapi aku pergi ke kantor polisi sekarang. Aku belum mentransfer uang apapun," susulnya.
"Apa yang polisinya katakan?"
"Dia hanya bilang aku harus menjemput Leo di kantor polisi," jawab Lisa. "Apa lebih baik kalau oppa saja yang ke sana? Aku tidak pernah ke kantor polisi. Aku tidak tahu harus melakukan apa di sana. Bagaimana kalau aku salah bicara lalu memberitahu polisi tentang pekerjaanmu?" bingungnya, menyadarkan Jiyong tentang alasan Lisa meneleponnya.
"Akan aku telepon polisinya," jawab Jiyong namun tidak membuat Lisa merasa lebih baik.
"Oppa mau menelepon polisi?! Kenapa?! Untuk apa?! Bagaimana kalau mereka mengenali suaramu lalu-"
"Lisa, apa kau pikir selama ini aku tidak diawasi polisi?" potong Jiyong. "Penjual ayam goreng yang kau suka itu, dia polisi. Aku sudah berkali-kali bilang tidak mau makan di sana, tapi kau tetap memaksaku ke sana," susulnya.
"Dia polisi?! Bohong! Ayam gorengnya enak!"
"Augh! Terserah, aku akan menelepon polisinya dulu, kau datang saja ke sana. Jemput Leo, bawa dia pulang. Bisa-bisanya dia ditangkap polisi," keluh Jiyong, lantas mengakhiri panggilan itu. Akan ia selesaikan masalah Leo sebelum Lisa tiba di kantor polisi.
Tiba di kantor polisi, Lisa baru tahu apa yang terjadi. Leo membolos bersama tiga temannya. Mereka duduk di sebuah gang sepi, merokok di sana karena Leo mencuri stok rokok milik Jiyong di rak dapur. Mereka juga minum bir, tentu dari lemari es di rumah Jiyong. Keempat anak itu bersenang-senang tanpa mengganggu orang lain di gang sepi itu, tapi kemudian ada lima siswa sekolah lain yang lewat.
Leo bersumpah ia akan membagi rokok dan birnya, kalau anak-anak itu memintanya. Menambah lima orang anak sekolah lain ke dalam obrolan mereka bukan ide yang buruk untuk Leo. Ia punya banyak rokok dan bir untuk berbagi. Jiyong pun tidak pernah marah meski tahu satu lusin rokoknya hilang.
Masalahnya, anak-anak yang terlambat datang itu justru berlaga keren, mereka ganggu Leo dan teman-temannya, kemudian perkelahian terjadi. Seorang kasir dari minimarket di depan gang yang menelepon polisi, melaporkan perkelahian itu kemudian sembilan anak yang berkelahi dibawa ke kantor polisi— Leo salah satunya.
Begitu Lisa tiba, Leo langsung diizinkan pulang— meski lima anak dari sekolah sebelah masih ditahan di sana. Leo tidak tahu bagaimana caranya, Lisa pun sama bingungnya. Entah apa yang Jiyong katakan ketika menelepon polisinya, entah apa yang pria itu tawarkan atau bagaimana pria itu mengancam polisinya, keduanya sama-sama tidak tahu. Satu yang pasti Lisa ketahui, Leo merusak lagi wajah tampannya.
Mereka hampir tidak bicara sampai keluar dari kantor polisi. Baru setelah beberapa meter meninggalkan gedungnya, hampir sampai ke tempat parkir tempat Lisa meninggalkan mobilnya, Leo berucap, "aku akan pulang sendiri," katanya, membuat Lisa yang berjalan di depannya, lantas berhenti dan berbalik. Lisa menatapnya sekarang, tanpa senyum, tanpa ekspresi apapun. Seolah ingin menunjukan pada Leo, kalau ia tidak mengharapkan apapun.
"Bajingan berengsek, anak bodoh tidak tahu terimakasih," kata Lisa, tidak bisa menahan diri.
Ia kejutkan Leo dengan kalimat yang tidak pernah anak itu pikirkan sebelumnya. Jiyong yang hanya mengumpat lewat tatapannya, entah bagaimana terlihat lebih baik sekarang. Terlebih ketika Lisa melihatnya, menatapnya dari atas sampai ke bawah lalu kembali lagi ke atas. Tatap sinis penuh kebencian, yang seolah sedang meneriaki Leo untuk pergi jauh-jauh darinya. Tatap jijik, bercampur muak seakan Leo adalah seonggok bangkai yang tidak ingin Lisa dekati.
***