42

124 28 3
                                    

***

Untuk Lisa,

Sayangku, Lisa...

Aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf. Kau berhak mendapatkan lebih dari suratku ini. Surat ini akan jadi hal terburuk yang pernah aku lakukan padamu. Aku minta maaf. Aku menyayangimu, tapi ini salahku, Lisa. Ini tentangku dan ini kesalahanku Lisa, tidak ada yang salah darimu.

Kau tidak melakukan kesalahan apapun, sayangku. Ini tidak ada hubungannya dengan latar belakangmu, apalagi orangtuamu. Ini tidak ada hubungannya dengan kakakmu, apalagi Leo. Mereka sudah menjagamu, melindungimu, aku bersyukur kau punya mereka di sisimu. Aku bersyukur karena bisa bertemu denganmu.

Aku rasa, aku tidak akan menemukan gadis sepertimu lagi. Bagiku, kau luar biasa. Aku suka senyumanmu, tapi bagian yang paling tidak bisa aku lupakan adalah lehermu di UGD waktu itu, ketika kau memintaku memotret isi perutmu. Kau terlihat sangat cantik dengan riasan mengerikanmu waktu itu. Kau terlihat sangat mempesona saat bekerja. Aku suka matamu yang selalu berbinar-binar ketika kita membicarakan tentang pekerjaanmu.

Aku tidak pernah mengatakannya, tapi aku menyukaimu sejak kali pertama aku melihatmu di UGD. Kau membuatku kembali bisa merasakan perasaan itu lagi. Aku kira, aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi, tapi aku salah. Aku jatuh cinta padamu, secepat aku mengatakan "aku tidak mungkin jatuh cinta lagi" ternyata hanya beberapa detik.

Aku mencintaimu, Lisa. Ini akan terdengar tidak adil untukmu, tapi secepat aku jatuh cinta padamu, secepat itu juga aku jatuh cinta pada Izzie, aku minta maaf, Lisa. Aku pergi ke sini untuk menggantikan Jennie, aku benar-benar melakukannya hanya untuk menggantikan Jennie, bukan untuk meninggalkanmu. Bukan untuk menghindarimu. Tapi di sini, aku kembali bertemu dengannya, Lisa. Aku bertemu mantan istriku di sini.

Saat aku bilang, ada pasienku yang tertusuk kaca, itu Somi. Dia dibawa ke sini setelah mengalami kecelakaan besar. Somi tidak sendirian ketika kecelakaan itu terjadi, ada Izzie bersamanya. Umur Izzie satu tahun, dan untungnya dia tidak terluka. Kursi bayi menyelamatkannya. Izzie baik-baik saja.

Izzie putriku, tapi aku berani bersumpah kalau aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku tidak bisa berbohong padamu, Lisa, aku mencintaimu tapi disaat yang sama aku juga mencintai Izzie. Aku tidak bisa berpura-pura tidak menyayanginya. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku tidak bisa meninggalkannya untuk kembali bersamamu. Aku juga tidak bisa mengajakmu ke sini dan memintamu untuk menyayanginya. Aku ingin memberi Izzie sebuah keluarga yang utuh, satu yang tidak pernah aku miliki. Aku berharap aku bisa memilikinya tanpa perlu melukaimu, tapi sekarang aku melakukannya. Aku melukaimu, aku minta maaf, Lisa. Aku benar-benar minta maaf.

Kau berhak mendapatkan semua hal baik yang ada di dunia ini, Lisa. Maaf karena aku tidak bisa menjadi salah satunya. Aku tahu ini tidak akan cukup untuk menutup semua luka yang aku berikan padamu, tapi aku harap kau mau menerimanya. Ini semua yang aku miliki.

Aku berharap kau bertemu seseorang yang lebih baik dariku, Lisa. Terimakasih, aku minta maaf, aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri semua ini.

***

Selain surat permintaan maafnya, Mino memberikan selembar kertas lain untuk Lisa— sebuah cek, berisi hampir dua ratus juta, jumlah yang lebih dari cukup untuk mengganti semua uang yang sudah Lisa keluarkan untuk mengurus rencana pernikahan mereka. Tapi jumlah itu tidak akan pernah cukup untuk mengisi lagi hati yang baru saja Mino tinggalkan.

Ini bukan kali pertama seorang pria mencampakkannya, karenanya Lisa meyakinkan dirinya kalau ia akan baik-baik saja. Ia menyiman surat itu di meja kerjanya, tempat dirinya membaca surat itu. Lalu ia pergi ke kamarnya, berbaring dengan penutup mata hitam miliknya. Masuk ke selimut, berusaha untuk tidur.

Aku akan baik-baik saja, ini tidak lebih menyakitkan dari luka-luka lainnya. Aku bisa mengatasinya. Patah hati begini, aku sudah berulangkali mengalaminya— dalam baringannya, Lisa terus meyakinkan dirinya sendiri.

Sepulang kerja, Jennie mengelilingi rumahnya. Ia cari Lisa yang mungkin tengah menangis sekarang. Ia masuk ke studionya, tapi gadis itu tidak di sana. Lalu ia buka pintu kamar Lisa, dan dilihatnya gadis itu tengah berbaring di sana. Bak melihat seorang yang sedang tidur, Jennie menutup lagi pintu kamar itu. Ia biarkan Lisa tetap terlelap di sana.

Pada malam yang sama, Jennie bertemu dengan Jisoo di kamar mandi. Keduanya berdiri di sana untuk membersihkan wajah mereka, bersiap untuk tidur. "Lisa patah hati lagi," kata Jennie, memberitahu Jisoo mengenai surat yang ia terima siang tadi. Selesai dengan wajahnya, ia ajak Jisoo ke kamarnya, ia tunjukan surat yang Mino kirim padanya.

"Bajingan," kata Jisoo, lepas ia baca surat itu sampai selesai. "Kalau dia mendonorkan spremanya, dia harus siap kalau anaknya akan ada dimana-mana. Apa setiap kali ada wanita yang memakai spermanya dia akan langsung jadi ayah untuk anak itu? Yang benar saja! Ini hanya alasan-"

"Yang kali ini berbeda, Somi mantan istrinya," potong Jennie. "Aku tahu dia berengsek, tapi... Aku tidak bisa memintanya kembali ke sini," sesalnya kemudian, lantas bertanya-tanya bagaimana ia bisa memberitahu Lisa sekarang. Bagaimana ia bisa menghibur gadis itu sekarang. "Aku tidak peduli bagaimana hidup Mino sekarang, itu pilihannya, tapi aku mengkhawatirkan Lisa. Akhir-akhir ini dia punya banyak sekali masalah," susulnya.

"Dia memang selalu punya masalah," pelan Jisoo. "Sekarang apa yang dilakukannya? Menangis?"

"Tidur, sejak sore. Kau pernah melihatnya menangis?"

"Beberapa kali, saat menonton film?" Keduanya mengkhawatirkan Lisa, tapi ketika pagi datang gadis itu keluar dari kamarnya sambil menelepon. Bicara seperti biasanya, bekerja seperti biasanya. Bertingkah seolah surat yang Mino tinggalkan tidak lah menyakitinya.

Jennie memperhatikannya, Jisoo pun sama. Sesekali mereka lirik gadis yang sekarang berdiri di depan lemari es, tengah mengeluarkan kotak susu untuk sarapannya. "Aku bisa ke sana hari ini," kata Lisa pada seorang yang diteleponnya. "Oh iya, soal acaramu, kalau kau belum dapat aula yang cocok, mau memakai milikku? Aku membatalkan pernikahanku," santainya, berhasil membuat Jennie juga Jisoo mengerutkan dahi mereka. Lisa terlalu santai, upayanya untuk menyembunyikan perasaan terlihat terlalu jelas sekarang.

"Bagaimana aku bisa menikah kalau tidak punya mempelai pria? Augh! Dia mati, calon suamiku baru saja mati. Daripada aku mengadakan pesta pemakaman di sana, akan lebih baik kalau kau memakai aulanya lalu memberiku setidaknya setengah dari uang sewanya. Aku sudah melunasi uang sewa gedungnya... Heish! Sial, harusnya aku hanya membayar uang mukanya saja kemarin," gerutu Lisa, mengeluh pada seorang yang ia telepon— temannya sedari sekolah, Jeon Rachel.

Panggilan itu berakhir bersamaan dengan habisnya sereal yang Lisa tuang untuk dirinya sendiri. Sekarang, ia meletakan handphonenya, lalu menatap pada dua teman serumahnya yang ada di sana. Membalas tatap khawatir kedua orang itu, dengan ekspresi santainya.

"Aku tidak jadi menikah," kata Lisa, merasa perlu menjelaskan situasinya. "Mino kembali bersama mantan istrinya. Maaf karena menyebut temanmu sudah mati, dia membuatku kesal, maksudku Mino," susulnya, menatap pada Jennie.

"Kau tidak sedih?" tanya Jisoo, tidak bisa menahan dirinya.

"Tentu saja sedih," angguk Lisa. "Tapi tidak ada waktu untuk meratapinya, ada banyak sekali yang harus aku urus sekarang. Augh! Kepalaku sakit! Harusnya aku menyewa semuanya... Kenapa aku membeli gaun pengantinnya? Ahh... Uangku," rengek gadis itu, lantas melemparkan tatap memelasnya, berharap Jennie juga Jisoo mau membantunya.

***

Shower TalkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang