***
"Apa kita terlambat?" Lisa memajukan kepalanya, mencari-cari tempat parkir kosong di sekolah Leo. Dengan gas mobil yang hati-hati ia injak, baru setelah sepuluh menit berkeliling gadis itu berhasil memarkir mobilnya.
"Aku rasa tidak," santai Leo, melangkah lebih dulu keluar dari mobil. Menyapa beberapa temannya yang baru saja datang, sama sepertinya. "Oh hari ini Bibiku datang, orangtuaku tidak bisa datang, jadi Bibiku yang datang," katanya, mengobrol dengan seorang wanita— ibu dari temannya.
Lisa turun dari mobilnya, tersenyum menyapa mereka yang tengah Leo ajak bicara. Seorang anak perempuan dengan ibunya. "Orangtuamu pasti sibuk, bisa sampaikan terimakasihku padanya? Terimakasih sekali karena sudah membayar bimbel untuk Ahyeon," kata sang ibu, masih berbincang dengan Leo sebab Lisa kelihatan masih sibuk dengan pakaian.
Baru setelah ia yakin pakaiannya pantas— setelan biru dengan rok selutut, berusaha terlihat rapi dan formal— Lisa menyapa wanita itu. Berkenalan dengan Ahyeon dan ibunya Jung Somin. Melihat bagaimana Jung Somin berpakaian— celana jeans dan kemeja, lengkap dengan jaket tebalnya, Lisa merasa ia memilih pakaian yang salah hari ini. Harusnya ia tidak memakai sepatu hak tingginya, sebab beberapa orangtua murid yang datang ternyata melangkah masuk ke sekolah dengan sepatu kets mereka.
"Sudah aku bilang kan? Kau terlihat seperti ibu-ibu sosialita kalau memakai baju itu," bisik Leo, sengaja berjalan beberapa langkah di belakang Ahyeon dan ibunya.
"Kau membayar bimbel kekasihmu? Ayahmu tahu?" balas Lisa, ikut berbisik.
"Jangan memberitahunya," kata Leo, tetap berbisik. "Aku bersihkan rumahmu seminggu, rahasiakan semua yang kau dengar di sini," susulnya, terus berbisik dalam tiap langkah mereka memasuki gedung sekolah. Akan masuk ke ruang kelas tempat Leo biasa belajar.
"Satu bulan," tawar Lisa.
Leo menoleh sekarang. Memelototi Lisa yang baru saja menaikan tarif kerja samanya. Melihat tatapan itu, Lisa menaikan bahunya, "lupakan saja kalau tidak mau, akan aku rekam semuanya dan mengirimnya ke ayahmu," santai Lisa, dengan senyum liciknya.
"Augh! Jahat," gerutu Leo, tapi akhirnya tetap menyetujui syarat dari Lisa. Akan ia bersihkan rumah Lisa selama satu bulan penuh, hanya agar Lisa mau menjaga rahasianya.
Menaiki sederet anak tangga, Leo raih tangan Lisa. Ia letakan tangan gadis itu, agar menggantung di lengannya. Ia bantu Lisa untuk melangkah dengan sepatu hak tingginya, meski gadis itu tidak benar-benar membutuhkan bantuannya. Lisa bisa berlari bahkan menari dengan sepatu hak tingginya, Leo hanya tidak pernah melihatnya.
Beberapa mata menatap mereka, penasaran pada wanita muda yang Leo bawa. Menerka-nerka, siapa wanita itu sebenarnya— seseorang yang Leo bayar untuk berpura-pura jadi ibunya? Kakaknya atau justru teman yang ia minta berakting? Beberapa berisik, menunjukan rasa penasaran mereka. Beberapa lainnya, langsung bertanya, "Leo, siapa dia? Kakakmu?" begitu kata mereka.
Tiba di ruang kelas, Beberapa orangtua murid sudah duduk di kursi anak-anak mereka. Leo mengajak Lisa untuk duduk di kursinya, lantas berpesan agar gadis itu tetap duduk di sana. "Hanya dengarkan saja, lalu pulang, tidak perlu memutuskan apapun, oke?" kata Leo, sebelum ia keluar dari ruang kelas itu, berdiri di lorong bersama teman-temannya yang lain.
Lisa mengangguk. Masih ia perhatikan sekelilingnya. Beberapa ibu berpakaian sepertinya, seperti seorang wanita sosialita— kalau kata Leo. Tapi sebagian lainnya kelihatan sederhana, seperti Jung Somin. Berada di sana membuat Lisa menyadarinya, bukan ia yang salah memilih pakaian tapi kesenjangan memang sangat terasa di sana. Semua orang sudah memakai pakaian terbaiknya, pakaian paling sopan, paling pantas yang bisa mereka temukan di lemari. Hanya harga isi lemarinya saja yang berbeda.
Leo berkata kalau ia akan menunggu di luar, tapi getar handphone Lisa menghentikan mereka. Kwon Jiyong menelepon, lalu dua orang itu bertukar tatap. Lisa membulatkan matanya, melihat pada Leo, begitu pun sebaliknya. "Aku lupa, dia bilang akan mengganti oli mobilku hari ini," kata Lisa, menerka alasan Jiyong meneleponnya.
"Jangan di angkat?" saran Leo dan panggilannya berakhir. Tapi di detik selanjutnya, justru handphone Leo yang bergetar, dan kali ini Jiyong menelepon Leo.
"Jangan di angkat," suruh Lisa, ia melirik jam dinding di belakang kelas, melihat kalau dirinya masih punya waktu lima menit sebelum pertemuannya di mulai. "Aku akan bicara padanya," susul gadis itu, yang sekarang balas menelepon Jiyong.
Lisa melewati Leo sekarang, melangkah keluar dari ruang kelas itu. Berjalan di lorong, sementara Jiyong sudah menjawab teleponnya. Pria itu sudah bertanya dimana Lisa berada sekarang. Merasa kalau berbohong justru akan membuat Jiyong semakin kesal, Lisa mengatakan yang sebenarnya pada pria itu.
"Hari ini ada pertemuan orangtua murid di sekolah Leo, karena oppa sibuk, aku menggantikan-"
"Ya, aku tahu," potong Jiyong. "Kakeknya yang mau datang, kau pulang saja," susulnya kemudian. "Kakeknya sedang dalam perjalanan ke sana," kata Jiyong kemudian.
"Kakeknya? Yang galak itu? Tapi aku sudah terlanjur masuk- akan aku bicarakan dengan Leo dulu, kalau dia mau aku pulang, aku bisa pulang. Jangan khawatir, aku tidak akan menangis kalau kakeknya memarahiku di sini," jawab Lisa, merasa kalau ia tidak bisa meninggalkan Leo sendirian bersama kakeknya di sana.
Panggilan berakhir, secara sepihak karena Lisa enggan mendengarkan perintah-perintah Jiyong. Selanjutnya, Lisa hampiri lagi anak laki-laki itu. Ia beritahu Leo apa yang Jiyong katakan, kalau kakeknya akan datang. Sekarang raut bocah itu berubah. Leo yang sebelumnya kelihatan khawatir, takut bermasalah dengan ayahnya, sekarang kelihatan marah. Leo tidak menyukai kakeknya, sangat tidak menyukainya hingga ia nekat melarikan diri dari rumah kakeknya itu, hanya untuk mencari ayah kandungnya.
"Kita pulang saja," ketus Leo kemudian. Enggan bertemu dengan kakeknya.
"Aku sudah cantik begini, kau mau kita pulang? Oh ayolah... Pertemuan ini untuk karirmu," balas Lisa, ingin membujuk Leo untuk tetap tinggal di sana. "Aku akan duduk bersama kakekmu, apapun yang dia katakan, aku akan membelamu. Kita tetap di sini dan mendengarkan gurumu, ya? Ayolah... Abaikan saja apapun yang dikatakan kakekmu nanti, kita sudah berlatih mengabaikan ocehan ayahmu, yang ini tidak akan seburuk itu, dia tidak akan mengumpat seperti ayahmu kan?"
"Aku rasa akan lebih buruk-"
"Leo Wilson," suara berat seorang pria menyela mereka. Sang kakek yang Leo benci baru saja datang, menggagalkan semua rencana yang sudah Leo siapkan untuk pertemuan hari ini.
***