***
Tahu kalau siang ini putranya pergi bersama Lisa, Jiyong jadi tidak terlalu mengkhawatirkannya. Pria itu tahu kalau Leo pulang lebih awal hari ini. Ia berada di halaman belakang, sedang memarahi seorang perempuan ketika Leo datang, mengendap-endap langsung naik ke kamarnya. Ia juga masih berada di sana, ketika Lisa berlari masuk melewati pekarangannya. Saking seringnya Lisa keluar-masuk rumahnya, gadis itu sudah seperti tinggal di sana, Jiyong tidak bisa melarangnya masuk.
Perempuan yang tadi ia marahi, ia pukul dan tendang juga, Jiyong pekerjakan untuk menghibur seorang konglomerat. "Dekati dia, buat dia menyukaimu, goda dia, lakukan apapun untuk menyenangkannya, tapi jangan sampai ada orang yang mengetahuinya," begitu perintah Jiyong padanya. Tapi Nikita melakukan sebuah kesalahan. Pria itu sudah beristri. Sekarang, bukan hanya ketahuan istrinya, tapi hubungan yang seharusnya rahasia itu justru tersebar ke seluruh negeri.
Jiyong menyuruhnya datang, setelah gadis itu sendiri yang menelepon asistennya. Meminta bantuannya karena beritanya terlanjur disiarkan. Karena terlalu malas mandi dan berpakaian, Jiyong menyuruh asistennya untuk mengundang Nikita ke rumahnya. Nikita pikir, ia hanya akan ditegur. Lalu dengan kontrolnya, Jiyong akan menarik semua berita-berita gosip itu. Tapi dugaan gadis itu ternyata salah, Jiyong justru memukulinya. Memarahinya, sembari melampiaskan emosinya yang sedari tadi tertahan.
Hari ini Jiyong sudah cukup kesal karena kedatangan Tuan Wilson ke rumahnya. Mengganggu dirinya yang baru saja mulai bersenggama. Setelah itu Lisa yang datang, dengan semua informasi yang membuatnya kesal, menggerutu padanya, menghakiminya, bahkan merusak sarapannya. Kebetulan Nikita datang setelah membuat masalah, Jiyong jadi punya tempat untuk melampiaskan emosinya.
Seperginya Lisa bersama Leo, dengan tatapan menghakimi mereka, Jiyong menghela nafasnya. Sebentar ia melihat punggung dua orang itu pergi dari rumahnya, lantas ia berpaling, masuk lebih dalam ke rumahnya, merain sebotol air di lemari es dan menenggaknya.
"Kau masih ingin memesan malatang?" asistennya bertanya, setelah hanya ada mereka berdua di sana.
"Tidak, pergilah," suruh Jiyong. Tidak lagi terdengar santai, tidak lagi terdengar bersemangat. Jiyong kelihatan seperti seorang pria kelelahan sekarang. "Hari ini aku tidak akan pergi kemana-mana, gantikan aku pergi ke club, temui CEO gendut itu juga. Katakan kita sudah mengurus selingkuhannya, kalau dia masih rewel, bilang aku akan menemuinya besok," pesannya, sebelum Lee Soohyuk— asistennya— benar-benar pergi.
Sendirian di rumah, setelah mengusir semua orang pergi, membuat perasaan itu jadi semakin jelas baginya— kesepian. Ia tidak bisa menghapus tatap mata Lisa dan Leo ketika mereka pergi tadi. Apa begini perasaan Teo dan Hani ketika itu? Jujur dari dalam hatinya, Jiyong pernah sangat marah ketika Teo dan Hani pergi ke Los Angeles, meninggalkannya sendirian di Bellis. Ia merasa dikhianati saat itu, pasangan suami istri itu bersikap seolah dirinya bagian dari keluarga, tapi mereka meninggalkannya. Suami-istri itu lebih memilih putri kandung mereka, Lisa, daripada dirinya.
Bahkan ketika Teo dan Hani akhirnya meninggal, Jiyong masih menyimpan kebencian itu. Sempat ia berfikir untuk merebut semua yang Lisa warisi. Ia yang susah payah mempertahankan organisasinya, gengnya. Ia yang bekerja keras untuk menjadikan night club serta segala bisnisnya jadi sebesar sekarang, tapi karena awalnya semua itu milik Teo, Lisa yang akan mewarisinya— kenyataan itu tidak terasa adil bagi Jiyong.
Baru setelah Jiyong melihat bagaimana Lisa hancur karena kematian kedua orangtuanya, kebencian itu memudar. Bukan hanya ia yang kesulitan, hidup Lisa bahkan kedua orangtuanya pun sama beratnya seperti miliknya. Terlebih setelah Lisa dan Leo mulai bersekongkol memusuhinya, ia mulai memahami posisi sulit yang selama ini Teo juga Hani tahan.
"Augh! Sialan, jadi orangtua bukan passion-ku," ratap Jiyong, setelah berjam-jam ia beristirahat, meski rasa lelah itu tidak kunjung pergi. Kelelahan karena berkelahi jauh lebih mudah untuk ia atasi, daripada berusaha menghapus ingatannya akan tatapan Lisa dan Leo tadi.
Sementara Jiyong tersiksa dengan kesendiriannya, di rumah Lisa, putranya justru sedang terbahak-bahak. Menertawakan cerita lucu yang Rose katakan. Mendengar lebih banyak tentang pekerjaan gadis itu, sambil mencoba-coba mencari mimpinya.
Lisa menemani Leo di sana, berbincang di ruang tamu, juga bersama Jung Jaehyun yang tetap tinggal. Berbagai kudapan mereka pesan, mengobrol sambil terus tertawa. "Bagaimana kalau aku jadi model? Aku cocok jadi model, iya kan?" kata Leo, menikmati konseling karirnya bersama Rose si model cantik berparas lembut itu.
"Kau tertarik jadi model?" Jaehyun berkomentar, lantas mengatakan kalau ia bisa mendebutkan Leo, jika pria mau, juga kalau bocah itu berhasil mendapatkan izin orangtuanya.
"Jangan," geleng Lisa. "Karirmu akan penuh skandal kalau kau debut," kata gadis itu, lantas ia ledek Leo yang menggoda Ahyeon dengan uang bimbelnya. "Kau menyukai Ahyeon lalu membayar bimbel untuknya, lalu sekarang kau menggoda Rose yang jauh lebih tua darimu, kau sedang belajar jadi laki-laki hidung belang? Ya! Jangan jadi model, kau punya banyak skandal," geleng Lisa, yang juga khawatir kalau Leo benar-benar jadi model. Bagaimana bocah itu bisa menghadapinya nanti, kalau orang-orang tahu dia putra seorang gangster? Terlebih ayahnya seorang bos geng yang sudah berkali-kali masuk penjara? Jalan karir Leo akan terlalu berbatu nanti.
"Ya! Apanya yang jauh lebih tua? Kami hanya beda empat belas tahun," kata Leo, menolak menerima kenyataan yang Lisa tunjukan. "Zaman sekarang, empat belas tahun hanya angka, iya kan, Rosie?" susulnya, dengan senyum semanis gula yang hanya ditunjukannya pada Rose.
"Leo, maaf, aku tidak menyukai pria yang lebih muda," tolak Rose, terkekeh sebab ia pun tahu posisinya. Ia akan disebut pedofil kalau mengencani seorang bocah enam belas tahun— meski Leo punya wajah dan tubuh yang tidak mudah di tolak. Rose yakin, kalau Leo menyatakan perasaannya pada Ahyeon, anak perempuan itu pasti akan menerima cintanya. Begitu juga dengan perempuan-perempuan lain sepantarannya.
"Aku juga tidak suka perempuan yang lebih tua," santai Leo. Terlebih cara bicaranya, yang santai tapi tetap terdengar lembut. Rose yakin, Leo punya sederet teman yang diam-diam menyukainya. "Tapi aku menyukai seorang perempuan cantik, dan kau sangat cantik," katanya sekali lagi. Bahkan Rose yang sudah sering dibilang cantik, tidak bisa menahan senyumnya. Baru beberapa jam mengobrol, Rose sudah bisa mengakuinya, kemampuan Leo menggoda seorang perempuan, perlu diacungi jempol.
"Augh! Itu dialog drama semalam, chessy! Aku tidak tahan mendengarnya," protes Lisa, sama sekali tidak terpengaruh.
"Augh! Lisa! Bagaimana kau akan menikah kalau mendengar begini saja tidak tahan?" balas Leo. "Rosie, kalau kau punya kenalan pria baik, tolong jangan mengencaninya, tunggu aku cukup umur saja. Laki-laki baik itu, kau berikan saja pada Lisa, dia sudah tidak tahan ingin cepat-cepat menikah," katanya, sengaja ingin meledek Lisa, bibinya.
***