***
Jiyong berdiri di tengah-tengah studio kerja Lisa. Ruangan itu sebesar kamar utama, dengan walk in closet yang tidak Lisa jadikan tempat menyimpan pakaian. Kuas, cat, lateks dan segala perlengkapannya Lisa simpan di dalam walk in closet itu. Tiga meja kerja ada di sudut kamar besar itu, penuh dengan komputer juga kertas-kertas dan perlengkapan kantor lainnya. Tiga meja rias ada di seberangnya, penuh dengan peralatan rias yang kelihatannya tidak pernah di rapikan.
Ada lemari es di dalam ruangan itu, bersebalahan dengan meja kerja dan rak camilan. Lalu di tempat ranjang harusnya berada, Lisa taruh meja kayu besar— untuk meeting kalau ia mengundang rekan kerjanya datang. Sofa pun ada di sana, lengkap dengan bantal dan selimutnya, kalau-kalau Lisa terlalu malas pindah ke kamar tidurnya sendiri.
Jiyong melangkah menghampiri meja kayu besar di sana, melihat sebuah kepala ada di sana. Kepalanya memakai helm perang, tapi berdarah dan terluka. Fokus Lisa berada di lehernya, melukis, membuat bekas-bekas sayatan di sana.
Jiyong baru beberapa kali masuk ke dalam ruang itu, tapi rasanya selalu sama. Sedikit mengerikan berada di sana. Alih-alih memajang tas atau sepatu, rak-rak kaca dalam walk in closet justru Lisa pakai untuk menyimpan kepala berdarah-darah, topeng-topeng monster dengan gigi runcing, juga potongan tubuh yang terlihat sangat nyata. Meski Jiyong sudah banyak melihat orang-orang terluka kemudian meninggal, tapi dinding ruangan itu berada di level yang berbeda. Potret-potret korban penganiayaan, pembunuhan, mutilasi, sampai isi tubuh manusia yang Lisa koleksi terlalu banyak memenuhi dindingnya. Karenanya Lisa selalu mengunci pintu studionya, khawatir seseorang akan pingsan kalau masuk sendirian ke sana.
"Kau masih bisa makan di sini?" komentar Jiyong, melihat semangkuk sereal yang belum Lisa habiskan. Ada tepat di sebelah penggalan kepala yang dikerjakannya.
"Kenapa? Oppa juga memesan malatang setelah memukuli orang sampai berdarah-darah? Darah sungguhan, bukan cat," kata Lisa, kembali duduk di depan mangkuk serealnya. Kembali makan, sambil ia perhatikan Jiyong dengan pakaiannya sekarang— setelan hitam dengan kemeja yang juga hitam. "Oppa mau pergi melayat?" susulnya, berfikir kalau Jiyong ingin menemuinya karena sedang merasa sedih. Mungkin merasa kehilangan karena seseorang baru saja meninggal.
"Hm... Anak rekan kerjaku meninggal, kecelakaan," kata Jiyong.
Lisa sempat diam, tapi ia raih tangan Jiyong. Menggenggamnya, sedikit mengusap sambil berkata, "aku juga masih gemetar kalau mendengar seseorang meninggal karena kecelakaan. Sejak pagi ada berita kalau anak konglomerat kecelakaan kemarin, tabrak lari, saat ayahnya sedang di penjara," ucapnya.
Jiyong berdecak, ia tarik tangannya kemudian mengeluh karena Lisa membuat tangannya ikut kotor oleh cat. Lisa mendengus mendengar keluhan itu, lalu ia oper sekotak tisu agar Jiyong bisa membersihkan tangannya. "Aku akan melayat ke sana, yang kau lihat di berita itu," kata Jiyong, sekarang duduk di sofa, melepaskan sandal rumah merah mudanya lantas berbaring di sana. "Aku hampir memukul Leo pagi ini," susulnya, dan sekarang Lisa berhenti menyendok serealnya. Gadis itu berhenti makan, menoleh dengan tatap terkejutnya, memandangi Jiyong, menunggu penjelasan.
"Aku belum memukulnya," susul Jiyong, hanya untuk memenangkan raut terkejut lawan bicaranya. "Ayahmu pernah memukulmu?" susulnya kemudian, hanya ingin tahu bagaimana Teo ketika jadi seorang ayah.
"Kenapa? Dia membawa seorang perempuan pulang lagi?" tanya Lisa, menarik kursinya untuk lebih dekat dengan Jiyong. Membantu pria itu menghemat tenaganya, jadi Jiyong tidak perlu bicara terlalu keras. "Ayah dan ibuku memukulku, saat latihan atau kalau aku tidak mendengarkan mereka. Tapi tidak separah kau memukul Leo waktu itu, hanya satu tepukan sambil memelototiku, hampir tidak sakit."