***
Sambil menyimpan kedua tangannya di dalam saku celana, Kwon Jiyong berdiri di hamparan tanah luas penuh nisan. Di depannya ada dua nisan makam yang bersebelahan, dengan warna dan bentuk yang sama. Malam ini, ia berdiri seorang diri di sana. Berkali-kali menghela nafasnya, menunjukan seberapa berat bebannya sekarang.
"Ini sudah kelima kalinya," kata pria itu, bicara pada batu nisan di depannya, membayangkan sosok sepasang kekasih tengah duduk di sana. Itu makam Teo dan Hani, orangtua Lisa. "Aku ragu dia punya tipe ideal. Dia hanya asal mendekati pria-pria single lalu meminta mereka menikahinya. Pria yang pertama pecandu, yang kedua mesum, yang ketiga tidak bisa hanya dengan satu perempuan, yang keempat kasar dan yang kelima kali ini punya banyak sekali hutang. Aku berhasil menyingkirkan mereka tapi kalau terus begini, aku tidak yakin berapa lama lagi ini tidak akan ketahuan. Dia harusnya sadar, pria-pria yang dipilihnya selalu kabur sebelum mereka sempat melamarnya," ceritanya. "Tidak bisa kah kalian datang saja ke mimpinya? Atau jadi hantu dan menyuruhnya berhenti? Dia sangat terobsesi ingin menikah, tapi benar-benar payah memilih calonnya," gerutunya kemudian, seakan benar-benar ada yang mendengarkannya.
"Tidak," pria itu terus bicara. "Hari ini aku tidak kesini hanya untuk mengadukannya. Di club tadi sesuatu terjadi. Tidak ada masalah, tapi... membuatku sesak. Sepertinya aku perlu memeriksakan jantungku ke rumah sakit," katanya kemudian berdecak. Keheranan pada dirinya sendiri karena terus bicara pada batu nisan di depannya. "Augh! Apa yang sebenarnya aku lakukan di sini? Aku pergi," pamitnya, setelah disadarinya betapa konyol sikapnya malam ini— datang ke makam yang bahkan bukan makam kedua orangtuanya, lalu mengeluh di sana. Bukan sesuatu yang akan dibayangkan orang-orang.
Ia melangkah menuruni anak-anak tangga di tengah bukit itu sekarang. Berjalan dengan tangan yang masih disimpan ke dalam sakunya, sambil sesekali mengatur nafasnya. Menyembunyikan rasa mengganjal dalam dirinya. Tiba di mobil, seorang dengan setelan hitam membukakan pintu untuknya. Mempersilahkan ia untuk masuk dan duduk di kursi belakang.
Begitu duduk, sebuah pesan masuk ke handphonenya. "Rose sudah baik-baik saja sekarang," begitu pesannya, dari Lisa.
Ah... Jadi nama perempuan itu Rose?— Kwon Jiyong menghela lagi nafasnya, tidak berencana membalas pesannya. Tapi pesan kedua masuk, "apa oppa tahu kalau dia model? Dia terkenal, apa yang terjadi sampai dia diberikan padamu? Berapa banyak hutangnya?" Lisa menghujaninya dengan banyak pertanyaan, tapi ia belum berkeinginan membalas pesan itu. Jiyong tetap mengabaikan pesannya.
"Kita kembali ke club," kata Jiyong, bicara pada supirnya yang sekarang mengemudi.
Jam masih menunjuk pukul dua belas malam sekarang. Merasa kalau ada banyak pekerjaan yang perlu di selesaikannya, meski suasana hatinya tidak seberapa baik, Jiyong tetap memutuskan untuk kembali bekerja. Di sepanjang perjalanannya, Jiyong menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. Ia pejamkan juga matanya, lalu bertemu sosok wanita yang tidak pernah pergi dari ingatannya.
Meski sudah bertahun-tahun lamanya, Jiyong masih mengingatnya. Aroma tubuh wanita itu, pakaian yang dikenakannya, gaya rambutnya, Jiyong mengingat segalanya. Rambutnya selalu digelung, dengan beberapa helai yang dibiarkan terlepas dari ikatannya, melingkar kaku karena hairspray murah di kedua sisi wajahnya. Bajunya berwarna merah, dengan kuku dan bibir yang juga diwarnai senada. Sepatu hak tingginya pun sama, merah terang dengan beberapa sudut yang sudah mengelupas, usang.
Semuanya merah, sangat merah, hampir berlebihan. Tidak ada seorang pun yang akan kelihatan cantik dengan semua barang merah itu, begitu pun ibunya. Tapi ada bagian yang tidak bisa Jiyong pahami— kenapa ada laki-laki yang masih mau tersenyum sambil menggerayangi wanita merah itu?— Jiyong tidak mengerti, baik dulu maupun sekarang.
Dalam gelapnya ia memejamkan mata, Jiyong mendengar lagi suara wanita itu. "Nyonya, tolong biarkan aku pergi. Tolong lepaskan aku. Kau sangat menyukai putraku, akan kuberikan putraku padamu, tolong biarkan aku menukar semua hutangku dengan Jiyong. Kau bisa melakukan apapun padanya. Dia penurut, dia akan sangat berguna untukmu," begitu katanya, menjadi sebuah matra yang mengekang leher Jiyong. Merantai dirinya ke dinding kastil gelap dan tidak bisa pergi lagi. Membuat Jiyong harus terus berada dalam kubangan lumpur hisap yang tidak pernah sudi melepaskannya.
Jiyong membuka matanya setelah merasakan mobilnya berhenti. Dirinya sudah sampai di night club sekarang. Bangunannya besar, tingginya tiga lantai dan ia pun punya dua lantai basement dibawah tanahnya. Lampu-lampu neon menyala di depan gedungnya. 18— begitu nama clubnya, menyala dengan neon putih kekuningan, terpajang elegan di atas dinding halus gedung itu.
Seorang pria membukakan pintu untuknya, lantas ia langkahkan kakinya keluar dari mobil. Ia masih mengancingkan jasnya, belum sempat melangkah ketika suara sirine datang mendekatinya. "Ada apa?" tanyanya, bicara pada petugas kemanan kekar yang baru saja membukakan pintu untuknya.
Sekarang sebuah ambulans terpakir tepat di depannya. Di sebelah mobilnya, dan dua petugasnya melompat turun dari mobil. Jiyong mengenal seorang yang mengemudikan ambulans itu, gadis berambut hitam yang tinggal bersama Lisa. Seingat Jiyong, nama gadis itu Jisoo, keturunan Korea, sama sepertinya. Bedanya, Jisoo pernah benar-benar tinggal di sana, sementara ia hanya pernah berkunjung ke sana, satu kali, beberapa tahun lalu.
"Dua perempuan berkelahi, mereka terluka dan kami menelepon paramedis," jawab si petugas kemanan.
Jiyong mengangguk, sementara dua paramedis tadi sudah lebih dulu pergi, masuk menemui orang-orang yang perlu bantuan di dalam. Biasanya Jiyong tidak peduli, seorang yang ia jadikan manager yang akan mengurus masalahnya. Jiyong hanya perlu menunggu untuk menerima laporannya, nanti. Tapi kali ini pria itu ingin melihatnya, ia penasaran bagaimana teman serumah Lisa akan bekerja.
Dengan santai pria itu melangkah menghampiri kerumunan. Dua wanita bertengkar, seorang wanita mengakui dirinya sebagai istri sah, sementara satu lainnya simpanan seorang pria. Di lorong night club itu, dekat toilet dua wanita itu berkelahi. Saling menjambak, memukul, menyakar, juga menendang. Dua wanita itu berantakan, begitu juga dengan seorang pria yang berusaha melerainya— si hidung belang.
Satu persatu Jisoo melihat mereka yang terluka, bersama rekannya ia memutuskan mana yang lebih dulu harus diobati. Seorang wanita dengan luka cakar di pipi, seorang simpanan dengan gigi yang patah atau pria hidung belang yang terbaring di lantai, dengan hak sepatu runcing yang menusuk perutnya. Tanpa melepaskan tusukan hak sepatu itu, Jisoo membalut lukanya, memastikan tidak ada banyak pendarahan kemudian menaikannya ke brankar, Jiyong menonton sampai paramedis tadi membawa pria tadi ke ambulans.
"Bersihkan sisanya," suruh Jiyong kemudian, bicara pada manager sedari tadi berdiri di sebelahnya. Sedang menunggu-nunggu kesempatan untuk menjelaskan keadaannya. Mencari celah agar ia bisa menenangkan Jiyong, selamat dari teguran karena anak buahnya ternyata gagal mencegah perkelahian di sana.
"Maaf Tuan, hari ini kami-"
"Hari ini ramai, pengunjung yang datang banyak sekali, kalian kekurangan orang, tidak ada yang berjaga di depan toilet jadi tidak ada yang tahu kalau seseorang hampir mati di sini? Berhenti saja kalau kau tidak bisa bekerja," potong Jiyong, melangkah meninggalkan lokasi kejadian tadi, berjalan ke ruang kerjanya di lantai paling tinggi gedung itu.
Jiyong baru masuk ke dalam liftnya, ketika lagi-lagi sebuah pesan masuk ke handphonenya. Kali ini bukan Lisa yang mengiriminya pesan, seorang bocah laki-laki yang mengirim pesan itu, usianya enam belas tahun dan ia duduk di kelas dua belas. "Ada model terkenal di rumah Lisa! Appa sudah tahu?" begitu pesanannya, membuat Jiyong menghela nafasnya kemudian bertanya-tanya, kenapa bocah itu masih berkeliaran tengah malam begini?
***